KontraS menyoroti berbagai bentuk hukuman tidak manusiawi yang merendahkan martabat manusia yang dilakukan dengan dalih penegakan protokol kesehatan dalam rangka pencegahan penyebaran COVID-19 di berbagai daerah di Indonesia. Dalam pemantauan KontraS terkait penegakan protokol kesehatan sejak dimulainya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa daerah di Indonesia sejak bulan April 2020, tercatat 10 peristiwa pemberian sanksi yang bersifat memberikan penderitaan dan/atau merendahkan martabat manusia.
Kami menilai bahwa bentuk-bentuk sanksi pemberian penderitaan fisik seperti penganiayaan[1] atau pemukulan menggunakan rotan[2], serta pemberian rasa malu dan takut seperti turut memakamkan jenazah positif COVID-19[3], duduk di dekat keranda mayat dalam mobil jenazah[4], sampai masuk ke dalam peti mati[5] merupakan bentuk-bentuk penghukuman tidak manusiawi yang bertentangan dengan komitmen Negara mencegah terjadinya berbagai perlakuan tidak manusiawi sebagaimana diatur dalam Pasal 16 Konvensi Anti Penyiksaan. Selain itu, hal tersebut juga lebih mengarah pada merendahkan martabat manusia daripada memberikan efek berkelanjutan dalam sosialisasi protokol kesehatan. efektivitas dalam sosialisasi protokol kesehatan harus didukung juga oleh kebijakan pemerintah mulai dari tingkat pusat hingga daerah.
Namun, Absennya kepemimpinan yang memahami keilmuan, memiliki kepekaan krisis, berempati, tanggap dan konsisten dalam membuat dan melaksanakan kebijakan. Sejak awal pandemi sampai hari ini, terlihat jelas bahwa narasi yang didengungkan pemerintah, khususnya pesan-pesan publik yang disampaikan Presiden Joko Widodo, tidak mengutamakan perlindungan kesehatan masyarakat dan tidak menciptakan rasa aman sesuai yang diamanatkan konstitusi. Sebaliknya, narasi yang ada melulu mendahulukan aspek ekonomi dan menjadikan kesehatan sebagai pertimbangan komplementer, bukan yang utama atau mendesak. Narasi ini juga telah menciptakan dikotomi semu antara ekonomi dan kesehatan masyarakat yang turut membuat publik terbelah dan bingung.
Di sisi lain, wacana pelibatan “preman pasar” untuk turut mendisiplinkan protokol kesehatan pencegahan penyebaran COVID-19[6] sebagaimana disampaikan oleh Wakapolri Komisaris Jenderal Polisi Gatot Eddy Pramono hanya akan semakin memperburuk situasi. Adapun catatan kami sebagai berikut:
Kami melihat berbagai pilihan kebijakan dan tindakan tersebut bukan merupakan kebijakan yang didasari dengan data saintifik untuk menekan angka penularan virus COVID-19, melainkan menunjukkan pola pendekatan keamanan yang menghasilkan berbagai bentuk pelanggaran HAM seperti perlakuan tidak manusiawi yang merendahkan martabat manusia. Sementara, berbagai kebijakan seperti tes massal, contact tracing, dan jaminan kebutuhan dasar masyarakat yang terdampak akibat ekonomi COVID-19 yang bersifat lebih substansial dalam penanganan COVID-19 justru tidak diprioritaskan. Akibatnya, angka positif COVID-19 di Indonesia terus meningkat dan menghasilkan rekor-rekor angka positif baru setiap harinya.
Atas dasar tersebut, kami mendesak:
Jakarta, 11 September 2020
Badan Pekerja KontraS
Fatia Maulidiyanti
Koordinator
[1] https://kontras.org/2020/04/17/desakan-pengusutan-tindakan-kekerasan-anggota-polres-manggarai-barat-nusa-tenggara-timur/
[2] https://www.liputan6.com/news/read/4266031/beredar-hukuman-pukul-pakai-rotan-karena-langgar-psbb-ini-penjelasan-polisi
[3] https://jatim.suara.com/read/2020/05/14/211024/hukuman-pelanggar-psbb-sidoarjo-ikut-kuburkan-jenazah-positif-virus-corona?page=all
[4] https://video.tribunnews.com/view/168374/pelanggar-psbb-di-bogor-dihukum-duduk-dekat-keranda-mayat-bupati-ade-yasin-itu-inovasi
[5] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200903135527-20-542397/pelanggar-psbb-di-pasar-rebo-pilih-hukuman-masuk-peti-mati
[6] https://www.merdeka.com/peristiwa/wakapolri-akan-berdayakan-preman-pasar-tegur-pelanggar-protokol-covid-19.html