Hentikan Tindakan Intimidatif Polairud terhadap Masyarakat Pulau Kodingareng

Aliansi Selamatkan Pesisir mengecam serangkaian tindakan intimidatif anggota Polairud Sulsel terhadap sejumlah nelayan di Kelurahan Kodingareng, Kecamatan Kepulauan Sangkarrang, Kota Makassar. Tindakan intimidatif itu mulai muncul sejak PT Royal Boskalis Internasional melakukan penambangan pasir laut di wilayah tangkap nelayan. Aktivitas penambangan tersebut berjarak sekitar 8 Mil dari Pulau Kodingareng Lompo dengan daya rusak seluas 4 Mil. Pasir tambang tersebut digunakan untuk timbunan reklamasi proyek strategis nasional Makassar New Port (MNP). Di sisi lain, sejak awal diakui oleh pihak perusahaan dan pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan bahwa mereka tidak pernah melakukan sosialisasi dan konsultasi publik mengenai rencana penambangan tersebut kepada masyarakat Pulau Kodingareng.

Kemudian saat ini, hasil pemantauan dan kajian Aliansi Selamatkan Pesisir dan nelayan Kodingareng bahwa kegiatan penambangan oleh PT Royal Boskalis Internasional telah merubah dan merusak wilayah tangkap nelayan di perairan Galesong Utara. Air laut menjadi keruh, gelombang tinggi, dan kerusakan ekosistem laut. Akibatnya, selama enam bulan terakhir hasil tangkapan nelayan berkurang drastis bahkan dalam satu harinya sama sekali tidak mendapat ikan. Masyarakat Pulau Kodingareng yang mengetahui wilayah tangkap ikan tersebut bermasalah melakukan sejumlah protes terhadap kegiatan pertambangan, namun bukan jawaban yang mereka dapatkan melainkan penangkapan bahkan tindakan kekerasan dari Polairud Polda Sulsel.

Aliansi Selamatkan Pesisir bersama Koalisi Selamatkan Laut Indonesia mencatat 6 (enam) praktik intimidatif baik secara verbal maupun nonverbal oleh Polairud Polda Sulsel yang terjadi sejak Juli – September 2020. Praktik tersebut diikuti dengan tindakan kekerasan hingga penangkapan dan penahanan masyarakat/nelayan Kodingareng. Sejumlah peristiwa tersebut terjadi ketika nelayan dan sejumlah masyarakat Kodingareng melakukan aksi penolakan terhadap kegiatan penambangan PT Royal Boskalis Internasional guna mempertahankan ruang hidup mereka.

Adapun dari serangkaian praktik intimidatif tersebut, kami menemukan beberapa pola yang terjadi selama ini di Kodingareng, pertama, pola pembatasan atau penanganan aksi masyarakat dan nelayan Kodingareng menggunakan restriksi aparat penegak hukum yang tidak terukur; kedua, penanganan aksi diarahkan secara khusus kepada masyarakat dan nelayan Kodingareng, serta aktivis dan pers mahasiswa yang sebenarnya tengah menggunakan hak konstitusinya untuk bersolidaritas dan melindungi lingkungannya; ketiga, langkah yang diambil oleh Polairud Polda Sulsel tidak memperhatikan peraturan hukum yang semestinya. keempat, tindakan intimidatif Polairud Polda Sulsel yang mendatangi tempat tinggal nelayan membuat nelayan takut untuk bertindak dan beraktivitas. Kelima, sejumlah peristiwa tersebut bertujuan untuk membungkam kebebasan sipil nelayan yang sedang melindungi wilayahnya. Keenam, tidak memberikan akses kepada para pendamping hukum yang menangani kasus kriminalisasi.

Bahwa dari serangkaian tindakan intimidatif dari Polairud Polda Sulawesi Selatan ini telah menutup problem penambangan pasir yang merugikan kehidupan nelayan secara sistemik. Kehadiran Negara, melalui aparatnya, yang diharapkan dapat mengambil langkah yang tepat untuk mencegah, menyelidiki, menghukum, atas praktek kejahatan bisnis dan penyalahgunaan kewenangan yang diduga dilakukan oleh Gubernur Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah bersama koleganya saat penerbitan izin terkait aktivitas tambang pasir laut maupun pembangunan proyek Makassar New Port, malah menjadi bagian dalam mendukung perusakan lingkungan dan membungkam suara masyarakat melalui praktik kriminalisasi dan intimidasi.

Di lain sisi, hak untuk tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata karena memperjuangkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, dilindungi oleh Pasal 66 UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Serangkaian aksi protes nelayan Kodingareng mesti dipandang sebagai wujud perjuangan untuk mempertahankan lingkungan hidup yang baik dan sehat, oleh karena kegiatan tambang pasir telah nyata merusak ekosistem laut dan menghilangkan ruang hidup dan mata pencaharian utama nelayan tradisional.

Bahwa didasari pada penjelasan di atas, kami mendesak sejumlah pihak:

Pertama, Kapolda Sulawesi Selatan untuk segera memerintahkan Kepala Direktorat Polair Polda Sulsel untuk menarik seluruh anggotanya dari Pulau Kodingareng.

Kedua, Kapolda Sulawesi Selatan untuk melakukan audit dan evaluasi secara menyeluruh terkait dengan sejauh mana operasi dan penindakan terhadap anggota Polairud untuk tidak melanggar hak seseorang serta dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

Ketiga, Kapolda Sulawesi Selatan untuk menjamin akses baik informasi maupun pendampingan hukum terhadap nelayan yang menjadi korban kriminalisasi.

Keempat, Propam Polda Sulawesi Selatan melakukan pemeriksaan terhadap anggota-anggotanya yang diduga melakukan pelanggaran etik maupun pidana atas tindakannya melakukan intimidasi terhadap masyarakat dan nelayan Kodingareng. Pemeriksaan tersebut harus juga menyasar pada Kepala Direktorat Polair Polda Sulsel untuk mengetahui sejauh mana intensi atasan langsung perihal operasi yang dilakukan di Pulau Kodingareng.

Kelima, Lembaga Pengawas Eksternal seperti Kompolnas, Komnas HAM, dan Ombudsman RI agar menggunakan kewenangan sesuai mandat masing-masing lembaga untuk melakukan pemantauan terhadap sejumlah peristiwa tersebut agar berjalan secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

Koalisi Selamatkan Laut Indonesia – Aliansi Selamatkan Pesisir

Jakarta – Makassar, 28 September 2020