Semanggi Berdarah: Jalan Panjang Menuntut Keadilan

21 tahun telah berlalu sejak tragedi nahas Semanggi II terjadi, namun penyelesaian kasus hak asasi manusia masa lalu belum juga menyentuh garis akhir. Kuatnya kultur impunitas di Indonesia membelenggu hak-hak keluarga korban dalam memperoleh keadilan, kebenaran, dan pemulihan. Peristiwa ini merupakan salah satu catatan kelam pada awal reformasi di Indonesia.

Tragedi Semanggi II adalah kasus penembakan terhadap demonstran di bilangan Semanggi yang menolak disahkannya Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya pada masa pemerintahan B.J. Habibie yang terjadi pada 24 September 1999. Pendekatan represif aparat keamanan mengakibatkan sejumlah orang meninggal dunia, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat 11 orang meninggal dunia dan 217 orang luka-luka. Berdasarkan penyelidikan Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM (KPP-HAM)[1], terdapat bukti-bukti permulaan yang cukup telah terjadi pelanggaran terhadap kemanusiaan dalam tragedi Trisakti, Semanggi I dan II yang selanjutnya dikenal sebagai TSS.

Salah satu faktor kemandekan penanganan kasus TSS ialah rekomendasi Pansus DPR yang menyebut bahwa peristiwa ini bukanlah pelanggaran HAM berat. Pernyataan ini kerap dijadikan “payung hukum” oleh Kejaksaan Agung untuk tidak menindaklanjuti proses penyidikan berkas perkara yang sebelumnya sudah diselidiki Komnas HAM, seperti halnya pernyataan Jaksa Agung saat rapat kerja dengan Komisi III pada 16 Januari lalu. Pernyataan kontroversif ini menuai kecaman dari para pegiat hak asasi karena menghianati perjuangan para penyintas yang tengah menuntut keadilan. Langkah terbaru yang dilakukan korban dan koalisi ialah menggugat pernyataan Jaksa Agung ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dengan alasan menghambat proses hukum untuk penyelesaian kasus HAM masa lalu

Berbagai upaya di masa lalu sudah ditempuh keluarga korban dan Koalisi Masyrakat Sipil demi menuntut ditegakkannya keadilan[2], di tahun 2001 mereka mendesak Komnas HAM untuk menyelidiki peristiwa TSS sebagai bentuk respon atas rekomendasi Pansus DPR. Para penyintas yang ditemani Koalisi juga telah menemui Komisi III dan melobi fraksi-fraksi di DPR berkali-kali untuk segera mencabut hasil Pansus tersebut. Itikad baik sempat terlihat di tahun 2005, ketika itu Komisi III menegaskan bahwa rekomendasi Pansus bukanlah produk hukum, melainkan produk politik sehingga tidak boleh membatasi proses hukum. Bahkan beberapa bulan setelahnya mereka menyepakati pembatalan rekomendasi Pansus, yang selanjutnya akan dibawa ke rapat paripurna. Namun DPR ingkar janji, tidak ada pembicaraan apapun yang menyinggung pencabutan rekomendasi sampai detik ini.

Menguatnya dorongan publik tidak membuat negara serta-merta menerapkan langkah efektif dalam memutus rantai impunitas (kejahatan tanpa hukuman). Bahkan sepanjang Aksi Kamisan ke-650 digelar di depan Istana Negara dan pelbagai kota lainnya belum mampu menyentuh nurani Presiden untuk merobohkan kokohnya benteng impunitas. Kamisan sendiri berdiri dengan tujuan melawan kekebalan hukum para pelanggar hak asasi juga mendesak penyelesaiaan pelanggaran HAM berat masa lalu, salah satunya peristiwa TSS. Mekanisme penyelesaian kasus kekerasan masa lalu sejatinya sudah diatur dalam UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM, akan tetapi hingga saat ini proses pembentukkannya mengalami kebuntuan.

Pelanggaran HAM berat yang mestinya diselesaikan malah terkatung-katung tak tuntas, padahal negara harus dapat menjamin keadilan dan mendorong terciptanya kepastian hukum bagi para keluarga penyintas kasus kekerasan HAM masa lalu. Yang menjadi pertanyaan, berapa lama lagi waktu yang dibutuhkan agar kasus TSS dan kasus-kasus lainnya dapat dituntaskan? Pertanyaan seperti ini rasanya cukup sulit untuk dijawab, pasalnya pergantian pemimpin maupun elite-elite politik di setiap pemilihan umum nyatanya tidak berdampak besar pada penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Kasus-kasus ini hanya sebatas komoditas politik yang dijanjikan para calon pemimpin, selepas pemimpin itu terpilih praktik dan implementasinya jauh panggang dari api. Belum lagi tokoh-tokoh lama yang diduga terlibat dalam peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu masih duduk nyaman di pusat lingkaran Istana.

Ketidakseriusan negara untuk menuntaskan tragedi masa lalu, baik melalui cara yudisial ataupun non-yudisial, menjadi bukti bahwa pemerintah ingin melestarikan kultur impunitas. Andai Presiden memiliki keinginan politik yang kuat, semestinya beliau bisa menginstruksikan Jaksa Agung dengan tegas agar memulai penyidikan kasus hak asasi manusia masa lalu. Sudah saatnya pemimpin eksekutif terpilih menepati janji-janji yang diutarakannya, apalagi di periode pertama Presiden Jokowi tidak meninggalkan legacy dalam pemajuan hak asasi manusia. Apabila situasi ini dibiarkan berlarut-larut, bukan tidak mungkin pelanggaran HAM berat lain dapat terulang kembali dan mereka yang diduga bersalah sulit terjerat oleh hukum.

Bertepatan dengan peristiwa Semanggi II, pemerintah harus menjadikan hari ini sebagai momentum untuk mengambil langkah maju dalam penuntasan kasus-kasus masa lalu. Penyelesaian kasus TSS menjadi tolak ukur pencapaian negara dalam pemajuan, perlindungan, dan pemenuhan terhadap hak asasi manusia di Indonesia. Jangan sampai tragedi kelam masa lalu menjadi beban yang harus dipikul dari generasi ke generasi seterusnya.

[1] https://lama.elsam.or.id/downloads/813335_Ringkasan_Eksekutif_TSS_Semanggi_Komnasham.pdf

[2] https://kontras.org/home/WPKONTRAS/wp-content/uploads/2018/09/KERTAS_POSISI_TSS_2006.pdf