55 Tahun Kejahatan terhadap Kemanusiaan 1965-66: Kebenaran dan Keadilan bagi Korban Belum Terpenuhi

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), Asia Justice and Rights (AJAR), The International People’s Tribunal (IPT) 1965, Amnesty Internasional Indonesia, dan Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965-1966 (YPKP 65) menyayangkan terjadinya praktik pembungkaman, penguburan sejarah, stigmatisasi terhadap korban, dan pengekangan kebebasan berekspresi pada korban 1965 maupun setiap orang yang berbicara mengenai kejahatan serius tersebut.

Kejahatan terhadap kemanusiaan 1965-1966—sesuai dengan hasil laporan Komnas HAM—merupakan tragedi yang bukan hanya menjadi catatan kelam sejarah di Indonesia tapi juga peradaban dunia. Menyusul penculikan dan pembunuhan para jenderal pada pagi dini hari 1 Oktober 1965, hingga setidaknya pertengahan 1966, berlangsung serangkaian kejahatan serius yang menjadi keprihatinan umat manusia (menghancurkan norma-norma jus cogens) meliputi penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang, penghilangan paksa mendahului pembunuhan massal lebih dari setengah juta orang (menurut kesepakatan para ahli sejarah sejauh ini) dan disertai penyiksaan, pemerkosaan, pengasingan, serta penahanan ke berbagai kamp kerja paksa. Kejahatan serius tersebut membawa dampak trauma mendalam pada ratusan ribu korban dan keluarganya hingga kini.

55 tahun sejak kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut terjadi, korban dan keluarga korban masih ditimpa berbagai bentuk diskriminasi maupun stigma, bahkan dalam beberapa kasus mengalami persekusi, tanpa upaya penyelesaian apapun oleh pemerintah. Padahal dalam standar hak asasi manusia yang bersifat universal, Negara bertanggung jawab penuh untuk mengembalikan hak-hak korban sebagai warga negaranya, memulihkan harkatnya sebagai manusia serta menghormati hak-hak sipil, politik, serta memenuhi hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Tidak lagi boleh ada diskriminasi, pembubaran pertemuan, kecurigaan, dan gangguan lainnya yang mengarah pada pembungkaman serta kekerasan. Harus ada jaminan legal bahwa kejahatan serupa tidak berulang kini dan di masa datang, serta seluruh hak-hak korban harus dipulihkan.

Namun, hingga saat ini masih belum ada komitmen dari negara untuk menyelesaikan berbagai kejahatan serius yang terjadi dalam peristiwa ini. Negara tak kunjung memberikan hak untuk mengetahui kebenaran (right to know the truth), hak atas keadilan (right to justice), dan hak atas pemulihan (rights to reparation) untuk korban maupun keluarga korban, serta jaminan tidak berulangnya kejahatan serius tersebut. Situasi ini setidaknya tergambar dari gagalnya pengadilan HAM Ad Hoc sebagaimana mandat konstitusi dan UU 26/2000 dalam memenuhi keadilan dan memberikan pemulihan kepada korban.

Meskipun jauh dari memadai dan hanya berdasarkan sampel beberapa kasus, hasil penyelidikan Komnas HAM (2007-2012) tidak ditindaklanjuti oleh Jaksa Agung ke tahap penyidikan. Di lain sisi, dalam lima tahun terakhir, penyitaan buku-buku yang dianggap berideologi kiri, pembubaran acara diskusi dan persekusi terhadap para korban masih terus terjadi. Keadaan ini tidak sejalan dengan program prioritas Nawacita Jokowi-JK pada periode (2014-2019), Kemudian dalam periode kedua kepemimpinan Jokowi-Ma’ruf Amin yang menyertakan kembali hal-hal mengenai penyelesaian kasus kejahatan serius (pelanggaran HAM berat) masa lalu melalui visi dan misi kampanye pemilihan presiden periode (2019-2024).

Berdasarkan hal di atas, kami mendesak:

  1. Presiden mewujudkan janji dan komitmennya untuk menyelesaikan kejahatan serius di masa lalu sebagai prioritas dengan menggunakan seluruh instrumen kenegaraan yang dimiliki;
  2. Presiden dan pemerintah memberikan jaminan rasa aman bagi seluruh masyarakat yang peduli dan memiliki inisiatif untuk memulai dan mengawal langkah-langkah penyelesaian kejahatan serius 1965-1966 dengan membentuk Komisi Kebenaran.
  3. Pemerintah agar segera memenuhi hak atas kebenaran, keadilan, dan pemulihan bagi korban dan keluarga korban.
  4. Pemerintah agar segera menyediakan sarana dan prasarana memorialisasi di tingkat nasional dan daerah yang mengkomunikasikan pembelajaran-pembelajaran dari kekerasan masa lalu dan mendidik publik tentang prinsip-prinsip HAM dan kemanusiaan yang universal.
  5. Pemerintah agar segera meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa dan memberikan kejelasan status atas hilangnya anggota keluarga dalam peristiwa itu.
  6. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia agar melakukan penyelidikan ulang dan/atau lanjutan terhadap kejahatan serius 1965-1966 berdasarkan puluhan hasil riset mutakhir, temuan kuburan massal, serta dibukanya berbagai dokumen resmi Pemerintah AS, dan bukti-bukti pun fakta-fakta baru lainnya yang tidak dicakup dalam penyelidikan Komnas HAM 2007-2012.

Jakarta, 1 Oktober 2020

Narahubung:
Kontras 0812 8585 7871
AJAR 0857 1050 8836
Amnesty Internasional Indonesia 0811 8707 789

unduh kronologi selengkapnya klik di sini