Pendamping Hukum dan Nelayan Pulau Kodingareng Mengalami Intimidasi Oleh Penyidik Saat Proses Pemeriksaan Berlangsung

Kamis, 01 Oktober 2020, sekitar pukul 10:30 Wita, Nelayan Pulau Kodingareng Lompo, Suaib Pasang didampingi tim Pendamping Hukumnya dari LBH Makassar datang menghadiri undangan klarifikasi Dit. Polairud Polda Sul-Sel.

Suaib Pasang mulai diperiksa pada pukul 10:49 Wita. Saat pemeriksaan berjalan, Suaib Pasang menceritakan bahwa dirinya mengalami kekerasan yang diduga pelakunya adalah oknum Polairud, yang terjadi pada tanggal 12 September 2020. Suaib Pasang lalu dicerca pertanyaan dengan nada tinggi. Melihat itu, tim Pendamping Hukum meminta kepada penyidik untuk tidak memeriksa dengan nada tinggi karena kliennya merasa tertekan. Akan tetapi, Penyidik justru menegur Pendamping Hukum, bahkan memperingatkan akan mengeluarkan Pendamping Hukum dari ruangan pemeriksaan.

Memasuki pukul 11:45 Wita, pemeriksaan ditunda karena waktu Ishoma. Pemeriksaan dilanjutkan pada pukul 13:33 Wita, belum cukup 30 menit, Penyidik menanyakan terkait pemberitaan di media, yang memuat pernyataan dari Suaib Pasang mengenai penggeledahan salah satu rumah nelayan yang diduga dilakukan secara tidak sah. Atas pertanyaan tersebut, Pendamping Hukum meminta penjelasan kepada Penyidik, mengenai hubungan pertanyaan itu dengan kasus yang sedang diperiksa saat itu. Tetapi Penyidik malah membentak Pendamping Hukum dengan suara tinggi dan bersamaan dengan itu, Penyidik memukul meja dan mengusir Pendamping Hukum keluar dari ruangan pemeriksaan.

Dua orang Penyidik di dalam ruangan kemudian menarik baju Pendamping Hukum dan mendorongnya keluar ruangan. Saat berada di luar ruangan, Pendamping Hukum langsung dikerumuni sekitar 10 (sepuluh) orang anggota Polairud dan mendorongnya bahkan mencaci maki dengan bahasa senonoh, mengatakan “tailaso ini pengacara.”

Suaib Pasang yang sedang diperiksa saat itu langsung mengalami tekanan psikologi, badan gemetar dan muka pucat. Melihat keadaan kliennya, Pendamping Hukum meminta Penyidik agar menghentikan pemeriksaan karena terperiksa sudah berada dalam tekanan psikologi. Akan tetapi, Penyidik tetap melanjutkan pemeriksaan. Dan salah satu polisi mendorong Pendamping Hukum, lalu menarik paksa Suaib Pasang yang sedang duduk pojok untuk menjalani pemeriksaan psikologi di klinik yang berjarak 100 m dari tempat kejadian. Saat berada di klinik, Pendamping Hukum hendak masuk mendampingi Suaib pada pemeriksaan di klinik. Namun tidak diperkenankan masuk oleh aparat Polairud.

Sekitar 10 (sepuluh menit) di dalam klinik, Suaib Pasang kemudian keluar dan kembali menjalani proses pemeriksaan yang didampingi oleh Pendamping Hukum. Pemeriksaan tersebut hanya berjalan sekitar 20 menit, kemudian Penyidik mengakhiri pertanyaannya dan meminta Suaib Pasang untuk menandatangani hasil pemeriksaan.

Sekitar Pukul 15:00 Wita, Suaib Pasang bersama dengan tim Pendamping Hukumnya meninggalkan kantor Dit. Polairud Polda Sul-Sel.

Direktur LBH Makassar, Muhammad Haedir menegaskan bahwa dalam peristiwa diatas, tidak ada alasan yang membenarkan tindakan Penyidik tersebut kepada nelayan yang sedang diperiksa, apalagi terhadap Pendamping Hukum. Peristiwa ini semakin menguatkan dugaan kami, bahwa sejak awal penegakan hukum terhadap Nelayan Pulau Kodingareng adalah upaya kriminalisasi dengan motif untuk menakut-nakuti nelayan yang sedang mempertahankan ruang hidupnya/wilayah tangkap dari ancaman kerusakan akibat kegiatan tambang pasir laut oleh kapal Boskalis. Sehingga kedepan, kami meminta Kapolda Sulsel untuk memastikan keamanan nelayan dan Pendamping Hukum dalam setiap pemeriksaan kasus ini, dengan melakukan pengawasan ketat pada setiap acara pemeriksaan.

Menyikapi peristiwa tersebut, Wakil Koordinator KontraS, Rivanlee, mengecam sikap arogansi Penyidik terhadap Pendamping Hukum karena tindakan itu tidak dapat dibenarkan. Akses terhadap Pendamping Hukum bukan hanya akses fisik semata, melainkan penguatan secara psikologis kepada pihak yang didampingi. Arogansi tersebut menunjukkan relasi kuasa antara polisi dan masyarakat, sehingga Nelayan/Suaib Pasang akan selalu merasa tertekan dengan tindakan intimidatif Penyidik. Jika hal ini terus berlanjut, potensi penyalahgunaan wewenang dan penganiayaan akan timbul. Oleh karena itu, kami menuntut Polda Sulsel untuk memanggil Penyidik tersebut guna dimintai pertanggungjawabannya.

Sementara itu, Muhammad Isnur selaku Direktur Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), mengatakan bahwa Pendamping Hukum dilindungi oleh UU Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Dimana bantuan hukum merupakan tanggung jawab negara sebagai wujud akses terhadap keadilan. Maka sesungguhnya Pendamping Hukum mengambil peran dan tanggung jawab negara dalam rangka menjamin hak konstitusional setiap orang untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagai sarana perlindungan hak asasi manusia. Dengan demikian, tindakan Penyidik diatas telah merendahkan hak asasi manusia, juga melukai rasa keadilan masyarakat khususnya nelayan Pulau Kodingareng. Seharusnya Penyidik bersikap professional dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kode etik profesi Polri sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 14 tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri.

Untuk itu, demi menghindari kejadian berulang, maka kami menuntut Kapolda Sulsel Cq. Propam Polda Sulsel untuk memanggil, memeriksa dan meminta pertanggung jawaban Penyidik tersebut dan Direktur Polairud terkait peristiwa intimidatif yang dialami oleh nelayan dan Pendamping Hukumnya.

Makassar, 2 Oktober 2020

Narahubung:

Muhammad Isnur (YLBHI)
Muhammad Haedir (LBH Makassar)
Rivanlee (KontraS)