Jaksa Agung Melawan Hukum Dalam Kasus Tragedi Trisakti, Semanggi I & II, Bukti Negara Melanggengkan Impunitas

Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta melalui Putusan Nomor: 99/G/2020/PTUN-JKT menyatakan Jaksa Agung Republik Indonesia melakukan perbuatan melawan hukum karena menyatakan peristiwa Trisakti, Semanggi I & II bukan merupakan pelanggaran HAM yang berat. Putusan ini berawal dari gugatan keluarga korban, Sumarsih dan Ho Kim Ngo yang diajukan bersama Koalisi Untuk Keadilan Semanggi I & II pada Mei 2020 yang tidak terima atas pernyataan Jaksa Agung tersebut karena jelas Komnas HAM menyatakan kuatnya dugaan pelanggaran HAM berat setelah dilakukan penyelidikan.

Majelis Hakim PTUN Jakarta yang terdiri dari Dr. Andi Muh. Ali Rahman, S.H., M.H. selaku Ketua dan Dr. Umar Dani, S.H., M.H. dan Syafaat, S.H., M.H., M.M. selaku anggota menyatakan dalam pertimbangan hukumnya bahwa pernyataan Jaksa Agung pada rapat kerja dengan Komisi III DPR-RI 16 Januari 2020 tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum, mengandung kebohongan (bedrog) dan melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik dan bertentangan dengan nilai hukum Putusan MK No. 18 /PUU/V/2008. tindakan tergugat demikian, cenderung mengabaikan/menyembunyikan fakta mengenai kewajiban yang masih diemban institusi kejaksaan selaku penyidik yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum… …laporan tersebut menjadi preseden buruk bagi keberlangsungan penegakan hukum atas dugaan pelanggaran HAM berat kedepan karena pernyataan tersebut tercatat dalam risalah sidang DPR-RI sebagai dokumen negara yang berpotensi dijadikan dasar atau pedoman bagi tergugat untuk menyikapi permasalahan TSS kedepan sebagaimana Tergugat mengutip hasil Rapat Paripurna DPR RI tanggal 9 Juli 2001. Tindakan Tergugat demikian selain mengandung kebohongan (bedrog) juga melanggar asas kecermatan dari asas-asas umum pemerintahan yang baik karena tidak memperhatikan nilai hukum yang terkandung dalam Putusan MK No. 18/PUUV/2008 tanggal 21 Februari 2008.” (vide Putusan Nomor: 99/G/2020/PTUN-JKT hlm. 113-114).

PTUN Jakarta dalam amar putusannya lalu memerintahkan Jaksa Agung untuk bertindak sesuai hukum, untuk membuat pernyataan terkait penanganan dugaan Pelanggaran HAM berat Semanggi I dan Semanggi II sesuai dengan keadaan yang sebenarnya” untuk menjaga tertib hukum dan transparansi penanganan dugaan pelanggaran HAM berat. (vide Putusan Nomor: 99/G/2020/PTUN-JKT hlm. 115-116)

Koalisi mengapresiasi PTUN Jakarta yang telah memberikan putusan yang adil bagi korban. Putusan ini juga menjadi preseden agar pejabat pemerintahan selalu bertindak hati-hati, sesuai dengan fakta dan kewenangannya serta selalu berpedoman pada aturan hukum dalam menyelesaikan perkara pelanggaran HAM yang berat dan penyelenggaran tugas pemerintahan lainnya.

Di sisi lain, putusan ini juga membuktikan bahwa dalam penyelesaian perkara pelanggaran HAM berat masa lalu Pemerintah melalui Jaksa Agung dengan sengaja tidak menggunakan wewenangnya semaksimal mungkin untuk memberikan keadilan bagi korban. Pemerintah justru melanggar hukum dan mengabaikan fakta sehingga menyuburkan praktik impunitas. Komnas HAM dalam persidangan juga telah menegaskan bahwa “hambatan dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang berat, khususnya kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II bukan teknis hukum, melainkan tidak adanya political will (kehendak politik) untuk menyelesaikan kasus tersebut secara serius” (vide Putusan Nomor: 99/G/2020/PTUN-JKT hlm. 68).

Tidak tertutup kemungkinan, jika pemerintah tak kunjung menyelesaikan perkara pelanggaran HAM berat masa lalu sehingga nasib korban terkatung-katung tanpa keadilan, jalan sempit satu-satunya yang mesti ditempuh adalah meminta komunitas HAM internasional dan lembaga-lembaga HAM antarbangsa untuk turut andil karena sikap “Ketidakmauan” pemerintah menuntaskannya.

Dinyatakannya tindakan Jaksa Agung sebagai perbuatan melawan hukum yang mengadung kebohongan (bedrog) juga seharusnya menjadi catatan serius bagi Presiden untuk mempertimbangkan layak atau tidaknya Jaksa Agung mengemban jabatannya. Hal ini juga diperkuat rapor merah kinerja Jaksa Agung dalam berbagai pelaksanaan wewenangnya yang juga menuai kritik banyak pihak.

Putusan PTUN Jakarta ini seharusnya menjadi alarm keras bagi Pemerintah. Jika Pemerintah tidak segera bertindak, Indonesia akan semakin jauh dari cita-cita pada tuntutan ke-5 reformasi tentang “supremasi hukum” yang telah diperjuangkan dengan nyawa korban.

Koalisi Untuk Keadilan Korban Semanggi I & II
Kontak: Pretty, Isnur