Mendesak Presiden Joko Widodo Segera Audit dan Evaluasi Kepolisian RI secara Menyeluruh!

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) membuka kanal partisipasi publik dalam mendokumentasikan tindak kekerasan kepolisian saat melakukan penanganan aksi penolakan terhadap Omnibus Law: UU Cipta Kerja sejak 6-8 Oktober 2020. Kanal partisipasi publik tersebut kami tujukan agar publik bisa memantau dan terlibat langsung dalam mengawal penanganan polisi saat aksi unjuk rasa. Kami mencatat 1.900 dokumentasi dalam bentuk foto maupun video yang dikirimkan ke kanal pengaduan kami. Dari keseluruhan dokumentasi tersebut, kami lakukan kurasi dengan memastikan keaslian dokumentasi, waktu pengambilan, serta lokasi kejadian. 

Berbagai dokumentasi yang kami terima menunjukkan praktik kekerasan oleh aparat kepolisian yang mengintimidasi dan merepresi massa aksi dengan memaki, menyemprotkan water cannon, menembakkan gas air mata, memukul, menendang, dan berbagai tindakan tidak manusiawi lainnya secara berulang-ulang. Korban brutalitas aparat berasal dari berbagai macam kalangan, mulai dari mahasiswa, aktivis, buruh, jurnalis hingga warga yang tidak ada kaitannya dengan aksi massa (lihat: https://youtu.be/76r6JU5IT24). Kami menilai penggunaan kekuatan oleh Polri bukan lagi sebagai upaya penegakan hukum ataupun menjaga keamanan, melainkan sebagai bentuk relasi kuasa antara negara dengan warga negara dalam bentuk penghukuman tidak manusiawi kepada massa aksi dalam rangka memberangus kebebasan berekspresi, berkumpul, dan menyampaikan pendapat.

Hasil dokumentasi dari publik semakin menunjukkan bahwa Kepolisian Republik Indonesia menjadikan pendekatan represif, penggunaan kekuatan berlebihan menjadi prosedur tetap dalam melakukan penanganan terhadap aksi massa mengingat buruknya penanganan aksi massa oleh Polri dalam berbagai momen pada tahun 2019 seperti aksi May Day di Bandung, aksi di sekitar Bawaslu Mei 2019, sampai aksi #ReformasiDikorupsi yang ketiganya menunjukan pola yang sama yakni penggunaan kekuatan secara eksesif, tindak penghukuman tidak manusiawi, dan tidak adanya pengusutan dan proses hukum yang serius kepada aparat kepolisian pelaku kekerasan sebagai bentuk koreksi terhadap kinerja lembaga kepolisian. Pola lain yang ditemukan di berbagai daerah ialah sulitnya mengakses informasi mengenai keberadaan para peserta aksi yang ditangkap dan ditahan, serta adanya upaya penghalangan akses bantuan hukum oleh kepolisian yang melanggar hak untuk mendapatkan bantuan hukum. Tindakan ini juga mengindikasikan adanya berbagai pelanggaran prosedur yang membuat aparat kepolisian menutup-nutupi proses hukum yang dilakukan dari publik pada umumnya dan pendamping hukum pada khususnya.

Keberulangan peristiwa ini juga ditunjang oleh ketiadaan mekanisme akuntabilitas negara yang efektif dan mampu memberikan keadilan kepada korban ketika mencoba menguji ruang-ruang akuntabilitas internal dan eksternal dari praktik pembubaran paksa terhadap kebebasan berkumpul pada beberapa kasus. Minimnya ruang akuntabilitas serta mekanisme koreksi yang lemah serta tidak efektif mengakibatkan keberulangan pelanggaran HAM di sektor kebebasan berekspresi, berkumpul, dan menyampaikan pendapat. Mekanisme internal yang tersedia pun mengandung berbagai permasalahan yang menyulitkan akses terhadap keadilan bagi para korban (terlampir).

Melalui pemantauan publik serta rekam jejak penanganan kasus yang selama ini didampingi oleh KontraS maka perbaikan menyeluruh di tubuh Korps Bhayangkara harus segera dilakukan. Hal ini mengingat peristiwa kekerasan dalam penanganan aksi massa terus berulang dan tidak mendapat perhatian yang tegas dari presiden. 

Berdasarkan hal tersebut di atas, KontraS mendesak Presiden Joko Widodo untuk:,

  1. Menginstruksikan pembenahan di tubuh Polri, dimulai dari instruksi kepada Polri untuk melakukan penegakan hukum terhadap seluruh peristiwa kekerasan dan pelanggaran HAM oleh aparat kepolisian dengan melibatkan lembaga pengawas eksternal, masyarakat sipil, secara independen;
  2. Menginstruksikan dilakukannya penegakan hukum serta memaksimalkan mekanisme koreksi baik internal maupun eksternal pada setiap Kepolisian Daerah untuk mengusut tuntas seluruh kasus kekerasan oleh kepolisian; dan
  3. Mengevaluasi kinerja Kapolri Idham Azis perihal brutalitas aparat kepolisian dalam menangani aksi massa.

Lampiran

  1. Kasus Y, peserta aksi #ReformasiDikorupsi

Y merupakan seorang mahasiswa yang ikut aksi #ReformasiDikorupsi pada tanggal 24 September 2019. Pada pukul 19.20 di sekitar gedung TVRI, Y melihat dari kejauhan ada orang yang digiring oleh polisi. Y tidak tahu pasti apakah itu mahasiswa atau bukan, tetapi banyak yang berteriak kalau ada orang yang ditangkap dan dipukuli oleh polisi itu. Y hanya bisa melihat dari kejauhan kalau orang itu dibawa sambil dipukuli oleh polisi. Banyak mahasiswa yang berteriak untuk membantu orang itu, tetapi tidak ada yang merespon karena banyak sekali polisi di area itu.  Sampai akhirnya, ada satu perempuan dengan baju hitam memanjat pagar pembatas yang mungkin tingginya sekitar 2 meter lebih sambil berteriak “saya wartawan, saya pers, ayok bantu itu temannya yang digebuki polisi.” Y dan yang lain kembali hanya bisa terdiam. Perempuan itu berlari menyusuri tribun lapangan hoki. Keadaan di lapangan hoki tidak terlalu terang, sehingga pencari keadilan tidak bisa melihat dengan jelas. Ketika perempuan itu sampai di ujung lapangan, dia dicegat oleh beberapa polisi, Y melihat polisi melakukan tindakan represif kepada perempuan itu. Perempuan itu didorong hingga terjatuh. Akhirnya Y mencoba untuk menghampiri tempat perempuan itu, melewati sisi seberang dari tribun lapangan hoki. Belum sampai tempat perempuan itu, pencari Y oleh empat orang polisi yang berpakaian hitam lengkap dengan pelindung di seluruh tubuhnya. Y dibentak dan diteriaki “siapa kamu?,” Y berusaha berbicara secara baik-baik dengan polisi itu, ia memberitahu bahwa ia adalah mahasiswa dan membawa lengkap kartu identitas di dalam tas yang ia bawa. Saat itu, polisi langsung mengambil tas Y yang di dalamnya berisi telepon genggam merek samsung tipe M20, dompet lengkap dengan sim A, sim C, STNK, KTP, kartu ATM dan kartu mahasiswa. Setelah polisi itu mengetahui bahwa pencari keadilan adalah mahasiswa, ia langsung dipukuli oleh mereka dan membawanya ke belakang JCC. 

Ketika sampai di JCC, Y langsung dilempar ke kerumunan polisi, kemudian ia langsung dipukul dan ditendang. Y tidak mengetahui benda apa saja yang digunakan untuk memukulnya, dan ia juga tidak mengetahui secara pasti berapa lama ia dipukuli oleh mereka. Mereka baru berhenti ketika ada satu polisi yang datang melerai, polisi itu berkata bahwa Y akan di data, kemudian pencari keadilan dipindahkan ke dalam Gedung JCC. Di sepanjang jalan menuju ke dalam Gedung JCC, Y masih dipukuli dan ditendang oleh polisi. Y adalah orang kedua yang ditangkap saat itu. Y melihat ada satu orang korban sudah tidak sadarkan diri dan mukanya sudah dipenuhi oleh darah. Tidak lama setelah Y masuk, kemudian masuk lagi sekitar dua atau tiga orang mahasiswa yang keadaannya sama parah, muka yang dipenuhi darah dan badannya memar. Salah satu dari mereka mengalami patah pergelangan tangan kiri. Di dalam Gedung JCC, mereka di data sambil menunggu mobil ambulance menjemput. Sampai saat ini, belum ada proses hukum yang berjalan terhadap para pelaku pengeroyokan Y.

  1. Kasus Penyiksaan terhadap “Anarko” Tangerang

MRR dan RIA merupakan dua orang korban pemidanaan yang dipaksakan atas tindakan membuat mural “anarko” di Tangerang. Dalam peristiwa ini, teman-teman korban yang saat itu berada di lokasi penangkapan memberikan keterangan bahwa pada tanggal 9 April Pukul 20.00 WIB, sekitar 10 orang polisi dari Polres Tangerang yang ketika itu tidak menggunakan seragam datang menemui korban. Saat diminta menunjukan surat penangkapan dan surat tugas, anggota kepolisian hanya menunjukan surat tugas bulanan, sedangkan korban diintimidasi dengan senjata laras panjang. Selain itu, kepala korban juga dipukul menggunakan helm sebanyak dua kali. Kami juga menemukan bahwa penyiksaan dilakukan dari tanggal 9-11 April 2020. Bentuk penyiksaan yang dialami korban berupa dipukul, ditendang, diborgol pakai kabel tie hingga darah membeku dan tangan membengkak. Lebih lanjut, kedua korban dipukul dengan besi di beberapa bagian tubuh dan kepala kedua korban dibungkus dengan plastik hingga tidak dapat sadarkan diri.

  1. Represifitas aparat dalam rangkaian aksi demonstrasi di berbagai wilayah Indonesia tanggal 6-22 Oktober 2020.

Gelombang aksi massa tanggal 6-22 Oktober 2020 di Indonesia dipenuhi dengan berbagai tindakan represif serta pelanggaran HAM oleh aparat kepolisian. Berdasarkan pemantauan masyarakat sipil pada aksi massa di Jakarta, Surabaya, Makassar, Jambi, Yogyakarta, Medan, Lampung, dan Malang, terdapat berbagai peristiwa penembakan gas air mata secara serampangan, sweeping yang disertai dengan pemukulan, penyerangan terhadap relawan medis, perampasan alat dan penghapusan dokumentasi, penangkapan sewenang-wenang, hingga pembiaran kekerasan oleh orang tak dikenal atau Ormas reaksioner. 

  1. Menguji Mekanisme Koreksi Internal Polri (Perkap 14/11)
NoPerkapPeraturan Perundang-undanganCatatan
1Pasal 1 Angka 14 Perkap 14/2011
“Banding adalah upaya yang dilakukan oleh Pelanggar atau istri/suami, anak atau orang tua Pelanggar, atau Pendamping Pelanggar yang keberatan atas putusan Sidang KKEP dengan mengajukan permohonan kepada Komisi Banding Kode Etik Polri melalui Atasan Ankum.”
Pasal 28D Ayat (1) UUD NRI
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”
Dalam Pasal 1 Angka 14 Perkap 14/2011, yang dapat mengajukan banding dalam sidang KKEP adalah pelanggar—dan keluarga serta pendampingnya. Sedangkan, ketentuan mengenai pengajuan banding bagi korban atau keluarga korban tidak termuat. Hal ini tentu bertentangan dengan asas persamaan dihadapan hukum.
Pasal 3 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum.”
2Pasal 21 Ayat (3) Huruf (a) Perkap 14/2011
“Sanksi administratif berupa rekomendasi PTDH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g dikenakan kepada Pelanggar KEPP yang melakukan Pelanggaran meliputi:
a. dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan menurut pertimbangan pejabat yang berwenang tidak dapat dipertahankan untuk tetap berada dalam dinas Polri;”
Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia
“Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberhentikan tidak dengan hormat apabila:
a.melakukan tindak pidana;
b.melakukan pelanggaran;
c.meninggalkan tugas atau hal lain.”
Terdapat inkonsistensi dan celah hukum dalam Perkap yang bertentangan dengan PP, karena meskipun anggota Polri terbukti melakukan pidana, akan tetapi menurut pejabat yang berwenang masih dapat dipertahankan, maka anggota Polri tersebut akan tetap berada dalam dinas Polri. Sedangkan, ketentuan dalam PP hanya menyatakan bahwa PTDH dapat dijatuhkan apabila anggota Polri telah terbukti melakukan tindak pidana.

Jakarta, 13 November 2020
Badan Pekerja KontraS
Fatia Maulidiyanti
Koordinator