Tuntutan Oditur Militer Kasus Jusni Melantur

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyayangkan rendahnya tuntutan Oditur Militer terhadap 11 (sebelas) orang anggota TNI dari kesatuan Yonbekang 4/Air atas dugaan praktik penyiksaan yang berujung kematian terhadap Alm. Jusni (24). Pada lanjutan persidangan dengan agenda pembacaan di Pengadilan Militer II/08 Jakarta pada 17 November 2020, dimana Oditur Militer menuntut para terdakwa dengan hukuman dari 1 – 2 tahun penjara dan hanya 2 (dua) orang terdakwa anggota TNI yang diberikan hukuman tambahan berupa pemecatan dari dinas militer. Rendahnya tuntutan ini membuktikan bahwa proses persidangan yang berjalan tidak objektif dan tidak adil.

Kami berpendapat bahwa proses persidangan yang berlangsung di Pengadilan Militer II/08 Jakarta tidak mengungkapkan fakta-fakta yang sesungguhnya terjadi. Hal ini terlihat, yang antara lain:

  1. Bahwa peristiwa yang diungkapkan hanya berfokus pada peristiwa penyiksaan yang terjadi di depan Masjid Jamiatul Islam, padahal masih terdapat 2 (dua) tempat terjadinya peristiwa penyiksaan yang harus diungkap dan didalami dalam proses persidangan yakni peristiwa di Jalan Enggano dan Mess Perwira Yonbekang 4/Air;
  2. Barang bukti yang dihadirkan oleh Oditur Militer tidak sesuai dengan fakta peristiwa, setidak-tidaknya terdapat 2 (dua) barang bukti yang tidak dihadirkan yakni alat menyerupai tongkat dan hanger. Mengenai alat yang menyerupai tongkat, alat itu dipakai oleh salah satu terdakwa pada saat melakukan penyiksaan di depan Masjid Jamiatul Islam, peristiwa ini juga tertangkap oleh CCTV. Selanjutnya yaitu hanger (gantungan baju), alat ini diduga dipakai untuk menyiksa korban dengan cara dicambuk ke areal punggung korban saat di Mess Perwira Yonbekang 4/Air sebagaimana yang disampaikan oleh korban kepada rekannya saat korban dijemput di depan Termbekang-1;
  3. Bahwa dalam proses persidangan, diketahui Oditur Militer tidak berupaya mengurai dan mengungkap rantai pertanggungjawaban komando atas peristiwa penyiksaan ini. Mengingat salah satu lokasi yang diduga menjadi tempat penyiksaan itu berada di area militer, yang mana area tersebut hanya dapat diakses oleh anggota militer dan harus memiliki izin untuk memasuki area tersebut. Berdasarkan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Marabat Manusia sebagaimana telah diratifikasi menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998, apabila pejabat publik khususnya dalam hal ini ialah atasan para terdakwa mengetahui peristiwa penyiksaan namun membiarkannya, maka ia dianggap menjadi bagian dari kejahatan itu dan harus mempertanggungjawabkannya secara pidana;
  4. Upaya-upaya perdamaian yang selalu ditawarkan kesatuan Yonbekang 4/Air melalui Oditur Militer namun pendamping keluarga korban menolak atas tawaran tersebut dan meminta proses peradilan dapat berjelan terus serta menghukum para terdakwa dengan hukuman yang berat;
  5. Rekomendasi keringanan hukuman dari Kapusbekangad dan kemudian Oditur Militer mengabulkannya sebagai hal yang meringankan, hal ini menunjukan ada upaya intervensi terhadap proses peradilan dan menimbulkan konflik kepentingan. Selain itu, hal ini juga membuktikan bahwa ada upaya perlindungan kepada para terdakwa yang melakukan penyiksaan.

Oleh karenanya, berdasarkan penjelasan di atas, maka dengan ini KontraS mendesak:

  1. Terlepas dari ketidaksepakatan kami terhadap ke-11 orang terdakwa tersebut di adili dalam Proses Peradilan Militer, mengingat bahwa tidak ada kerugian yang dialami oleh institusi TNI, dan tanpa bermaksud mengintervensi kami berharap agar Majelis Hakim Pengadilan Militer II/08 Jakarta yang menyidangkan perkara tersebut dapat memberikan putusan maksimal kepada para terdakwa, mengingat institusi TNI telah memiliki aturan pelarangan praktik-praktik Penyiksaan sebagaimana diatur dalam Perpang No 73 IX 2010 tentang Penentangan Penyiksaan dan putusan maksimal tersebut dapat memberikan efek jera terhadap para pelaku, agar kedepan peristiwa serupa tidak terjadi dan dapat dijadikan pembelajaran bagi prajurit-prajurit TNI lainnya;
  2. Tanpa bermaksud mengintervensi proses persidangan, kami berharap agar Majelis Hakim mempertimbangkan kondisi serta kedudukan pelaku sebagai alat negara yang dijadikan dasar pemberatan perbuatan, pidana terdakwa. Dan memberikan rasa keadilan bagi keluarga korban;
  3. Pemerintah harus melakukan reformasi atas peradilan militer dengan segera melakukan revisi atas UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, mengingat sistem peradilan militer selalu memberikan vonis rendah terhadap para pelaku sehingga menjadi sarana impunitas atas kejahatan yang dilakukan oleh anggota TNI.

Jakarta, 18 November 2020
Badan Pekerja KontraS,

Fatia Maulidiyanti
Koordinator
Narahubung: Andi Muhammad Rezaldy (087785553228)