Hentikan Kriminalisasi dan Lindungi OAP Mengevaluasi 20 Tahun Otsus

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam tindakan penangkapan, pembubaran dan juga absennya aparat kepolisian dan Bupati setempat ketika Majelis Rakyat Papua (MRP) berencana akan menyelenggarakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada 17-18 November 2020 di 5 wilayah adat guna mendengar pandangan Orang Asli Papua (OAP) mengenai evaluasi penerapan 20 tahun Otonomi Khusus (Otsus) di Papua. Padahal pelaksanaan RDP adalah mandat Pasal 77 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua.

RDP seharusnya merupakan ruang diskusi yang aman, dijamin dan dilindungi undang-undang bagi OAP untuk bebas mengutarakan pendapatnya. Namun sejak tanggal 15-17 November 2020 di Merauke (wilayah adat Anim-Ha) terjadi pembubaran paksa dan penangkapan terhadap 55 orang yang hendak mengikuti RDP oleh kepolisian. Penangkapan tersebut tepatnya terjadi di tiga titik, yakni Kelapa Lima sebanyak 27 orang, Hotel Valentine sebanyak 13 orang, dan di Hotel Mandala sebanyak 15 orang. Semuanya dibawa ke Polres Merauke dengan tuduhan akan adanya pembicaraan mengenai referendum Papua dan terdapat barang bukti yang menjurus ke perbuatan makar. Berdasarkan informasi yang diterima KontraS, anggota MRP dan OAP yang ditangkap diinterogasi sejak Selasa, 17 November 2020 pukul 9.00 WIT hingga dilepas pada Rabu, 18 November 2020 pukul 15.00 WIT. Kami tidak melihat adanya satu dasar hukum pun yang memperbolehkan kebebasan warga dihilangkan selama 30 jam, baik berdasarkan penangkapan apalagi “pengamanan”–yang sangat jelas tidak sesuai dengan KUHAP. Terlebih polisi juga melakukan intimidasi serta ancaman kepada anggota MRP yang diamankan agar pihak MRP menyetujui kelanjutan Otsus dan pemekaran Provinsi Papua Selatan.

Di Jayawijaya (wilayah adat La Pago) pada tanggal 15 November 2020 terjadi gelombang penolakan RDP dalam bentuk demonstrasi yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat di Bandara Wamena. Aksi tersebut mengakibatkan 62 orang anggota MRP dan peserta RDP tidak bisa keluar dari Bandara Wamena dari pukul 09.00 hingga 16.37 WIT, akhirnya rombongan MRP terpaksa kembali ke Jayapura. aksi yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat tersebut dilakukan tanpa adanya Pemberitahuan oleh pihak kepolisian setempat dan disaat yang bersamaan pihak Kapolres dan Bupati Jayawijaya tidak menjawab panggilan ketika dihubungi oleh Aktivis HAM yang berada di lapangan.

Di Dogiyai (wilayah adat Meepago) pada tanggal 17 November 2020, RDP batal dilaksanakan karena dihadang maklumat yang dikeluarkan oleh Polda Papua dan surat Asosiasi Bupati Meepago, meskipun masyarakat adat turun aksi menanti dilaksanakannya RDP MRP dan akhirnya tetap berkumpul menolak perpanjangan Otsus Papua.

Kami memandang penangkapan, pembubaran dan juga absennya aparat kepolisian yang seharusnya mengamankan RDP yang merupakan forum lembaga negara dan dijamin UU ini, namun malah mengkriminalisasi partisipannya adalah tindakan sewenang-wenang dan bertentangan dengan hukum, sebab peraturan perundang-undangan telah menerangkan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan mengungkapkan pendapat, berserikat, dan berkumpul secara damai sebagaimana di atur dalam :

  1. Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945;
  2. Pasal 19 ICCPR yang telah diratifikasi dalam UU No. 12 Tahun 2005;
  3. Pasal 24 Ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Berdasarkan hal di atas, kami mendesak Kepolisian untuk :

  1. Hentikan diskriminasi, kriminalisasi dan pelanggaran HAM terhadap OAP yang ingin mengadakan, mengikuti, dan menyampaikan Pendapat dalam RDP. Berpartisipasi dalam RDP adalah hak masyarakat adat Papua yang dilindungi hukum dan bukan tindakan kriminal;
  2. Bertindak aktif mengamankan kebebasan berpendapat dalam digelarnya RDP MRP agar dapat terlaksana sesuai dengan amanat UU, dengan menjaga semua pihak tetap kondusif dengan pihak lain yang juga mengekspresikan pendapatnya menolak RDP.

Jakarta, 21 November 2020
Badan Pekerja KontraS,
Fatia Maulidiyanti
Koordinator

Narahubung: Adelita Kasih (081311990790)