Surat Terbuka: Jaksa Agung Harus Melaksanakan Perintah Presiden untuk Menyelesaikan Kasus Pelanggaran HAM Masa Lalu lewat Jalur Yudisial

Dengan Hormat,

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan koalisi korban pelanggaran HAM berat masa lalu yang terdiri dari Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965, IKAPRI (Ikatan Keluarga Korban Tanjung Priok) 1984, Orangtua Korban Semanggi I dan Semanggi II, IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia), Paguyuban Keluarga Mei 1998, IPT (International People Tribunal) 1965, dan PK2TL (Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung, meminta Kejaksaan Agung untuk bertindak cepat dalam melakukan proses penyidikan dan penuntutan terhadap 13 kasus pelanggaran HAM berat yang telah rampung dilakukan penyelidikannya oleh Komnas HAM. Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa Kejaksaan Agung merupakan aktor kunci dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dan meminta kepada Kejaksaan Agung untuk segera melakukan proses penyelesaian terhadap beberapa kasus pelanggaran HAM berat. Perintah yang disampaikan pada rapat Presiden dengan Kejaksaan Agung di Istana Negara pada Senin (14/12/2020) itu adalah bukti bahwa Presiden Joko Widodo berharap kasus pelanggaran HAM masa lalu dapat diselesaikan lewat jalur yudisial.

 

Pertemuan dengan Kejaksaan Agung itu mestinya menjadi penegasan atas pidato Presiden pada hari HAM Internasional yang menyatakan bahwa kasus pelanggaran HAM berat masa lalu harus diselesaikan dengan cara terbaik dan melibatkan semua elemen yang berkepentingan. Kejaksaan Agung harus bersinergi juga dengan Komnas HAM untuk dapat melakukan proses penegakan hukum yang holistik dan terbebas dari setiap intervensi politik maupun intervensi-intervensi yang justru menghambat proses pencapaian keadilan bagi korban dan keluarga korban. 

 

Klaim Jaksa Agung bahwa pelanggaran HAM Tanjung Priok, Timor Leste, dan Abepura yang dianggap selesai adalah bagian dari praktek impunitas karena seluruh terduga pelaku yang diputus bersalah di pengadilan HAM ad hoc dinyatakan bebas di tahap kasasi dan beberapa aktor kunci dalam rangkaian rantai komando belum pernah tersentuh hukum dan tidak pernah dihadirkan dalam pengadilan HAM ad hoc. Selain itu, kewajiban negara untuk melakukan pemulihan kepada korban dan keluarga korban tidak kunjung dilakukan hingga kini. Hal ini menunjukkan bahwa negara belum benar-benar menyelesaikan secara optimal kasus Tanjung Priok, Timor Leste, serta Abepura. 

 

Sedangkan pelanggaran HAM berat masa lalu lain yang belum diselesaikan adalah Peristiwa 1965-1966, Talangsari 1989, Penembakan Misterius, Kerusuhan 13-15 Mei 1998, Penculikan Aktivis 1997/1998, Tragedi Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, Tragedi Simpang Kertas Kraft Aceh (KKA), Tragedi Jambu Keupok, Tragedi Rumah Geudong dan Pos Satis lainnya, Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998, Peristiwa Wasior, Peristiwa Wamena, dan Peristiwa Paniai.

 

Terhadap 13 kasus tersebut, selama ini Jaksa Agung melakukan bolak-balik berkas penyelidikan dengan Komnas HAM dan tidak pernah ada itikad untuk membantu dan memberikan arahan yang jelas dalam proses pengembalian berkas. Tindakan itu justru hanya menampilkan ego sektoral institusi bahwa hasil penyelidikan Komnas HAM tidak memenuhi unsur formil dan materiil sehingga mengharuskan Komnas HAM tidak menindaklanjuti ke Pengadilan HAM ad hoc. Hal ini ditambah dengan tidak kooperatifnya Jaksa Agung dalam proses penyelesaian kasus. Tahun ini, Jaksa Agung melakukan pernyataan yang sesat bahwa Kasus Semanggi I dan II bukan merupakan pelanggaran HAM berat pada Rapat Kerja dengan Komisi III DPR RI. Pernyataan ini kemudian mempunyai implikasi hukum dan pada 4 November 2020 lalu, Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta menyatakan bahwa Jaksa Agung melakukan kebohongan (Bedrog) dan memberikan ketidakpastian hukum karena menyatakan bahwa tragedi Semanggi I dan Semanggi II bukan pelanggaran HAM berat. 

 

Selain Jaksa Agung yang sering bermasalah dalam menangani kasus pelanggaran HAM, perintah Presiden pada Jaksa Agung itu dimentahkan oleh Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko. Alih-alih mengamini visi presiden soal penyelesaian lewat jalur yudisial dengan Kerjasama antara Kejaksaan Agung dan Komnas HAM, Moeldoko justru mengatakan bahwa pemerintah akan menyelesaikan lewat jalur non yudisial. Jika yang dimaksud Moeldoko adalah Deklarasi Damai Talangsari, perlu diketahui bahwa cara-cara non yudisial seperti itu dinyatakan maladministrasi oleh Ombudsman Republik Indonesia. Apalagi Indonesia sudah memiliki alur penyelesaiannya kasus pelanggaran HAM berat lewat jalur yudisial dengan undang-undang 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM, terutama dalam pasal 21 (3) tentang penyidikan yang menjadi mandat Komnas HAM dan Pasal 23 (2) tentang “penuntutan” yang menjadi mandat Kejaksaan Agung.

Presiden juga harus memastikan bahwa arahan dan visi soal penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat secara yudisial dapat dipahami dan dilaksanakan oleh kabinet kementerian serta jajaran pejabat di bawahnya. Hal ini untuk memastikan bahwa tidak ada lagi kebijakan seperti Tim Penyelesaian Kasus-kasus Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Komite Gabungan Pengungkap Kebenaran dan Rekonsiliasi, Tim Terpadu Penanganan Dugaan Pelanggaran HAM Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan [Kemenkopolhukam], Dewan Kerukunan Nasional (DKN), dan Deklarasi Damai yang ditentang oleh kelompok korban dan masyarakat sipil karena tidak transparan, tidak akuntabel dan tidak menghendaki partisipasi kelompok korban dan masyarakat lain sehingga berpotensi untuk menguatkan kultur impunitas dalam penegakan HAM. 

 

Oleh sebab itu, kami mendesak agar:

  1. Jaksa Agung segera melaksanakan perintah Presiden untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu lewat jalur yudisial dengan menindaklanjuti laporan penyelidikan Komnas HAM ke tingkat penyidikan dan penuntutan;
  2. Jaksa Agung agar segera mencabut gugatan banding dalam sidang Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta melawan keluarga korban Semanggi I dan Semanggi II sebagai bentuk tindakan kooperatif untuk melakukan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat dan menghadirkan keadilan bagi korban dan keluarga korban;
  3. Presiden segera menetapkan arahan untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat melalui jalur yudisial dengan menerbitkan sebuah Keputusan Presiden (Keppres) terkait dengan mekanisme penyelesaian kasus yang melibatkan Kejaksaan Agung dan Komnas HAM;
  4. Presiden harus memastikan bahwa visi penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat melalui jalur yudisial dipatuhi oleh jajaran kementerian lain sehingga tidak ada lagi upaya manuver dari beberapa kementerian untuk melakukan upaya-upaya non yudisial yang tidak transparan, akuntabel dan berpotensi menyuburkan impunitas;
  5. Kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu diselesaikan sesuai mekanisme yang diatur di dalam Undang Undang Pengadilan HAM, mengingat impunitas yang semakin kuat di kekuasaan. Hal ini merupakan penanda buruk terhadap penegakan HAM.
  6. Kepada Presiden Joko Widodo untuk segera menginisiasi sebuah mekanisme pemulihan dan pengungkapan kebenaran kepada korban dan keluarga korban. Meskipun mekanisme pengadilan ad hoc untuk kasus Tanjung Priok 1984, Timor Timur, dan pengadilan HAM Abepura sudah ada, pemerintah masih mengabaikan pemulihan hak-hak korban yang dirugikan atas terjadinya peristiwa pelanggaran HAM berat dan upaya pengungkapan kebenaran tersebut. Pemulihan dan pengungkapan kebenaran bagi korban adalah bagian dari hak asasi korban pelanggaran HAM berat yang wajib dipenuhi oleh negara.

 

Demikian hal ini kami sampaikan. Atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan terima kasih

 

Selasa, 15 Desember 2020

Badan Pekerja Kontras,

 

 

 

 

Fatia Maulidiyanti

 

Narahubung: Syahar Banu 081285857871