Pemerintah Harus Terbuka dalam Membahas Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pelibatan TNI dalam Penanganan Terorisme

Saat ini pemerintah melanjutkan pembahasan Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme dan dilakukan secara tertutup. Sebelumnya, pemerintah telah menerima masukan dari DPR RI terkait rancangan tersebut, di antaranya adalah bahwa rancangan perpres harus selaras dengan UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI mengenai penindakan yang dilakukan oleh TNI yang harus dilakukan berdasarkan perintah presiden dan mendapat persetujuan DPR RI. DPR juga memberikan masukan bahwa rancangan perpres tersebut harus mengatur tentang pembentukan tim pengawas penanggulangan terorisme DPR RI.

Koalisi menilai pemerintah mengabaikan tuntutan publik dan masukan dari DPR RI agar pembahasan rancangan peraturan presiden tersebut dilakukan secara terbuka dengan mencermati dan mengakomodir berbagai pandangan dari kelompok masyarakat sipil. Apalagi draft rancangan yang ada banyak dikritik dan ditolak karena berpotensi mengancam kehidupan demokrasi dan penegakan hukum di Indonesia, yakni akan mengubah model penanganan terorisme di Indonesia dari model sistem kontrol kejahatan melalui penegakan hukum (crime control model) menjadi model perang (war model).

Koalisi mencatat beberapa persoalan serius dalam rancangan perpres pelibatan TNI dalam penanganan terorisme, antara lain: pertama, beberapa pasal dalam draft tersebut bertentangan dengan undang-undang yang ada di atasnya, seperti terkait dengan pengaturan pengerahan kekuatan TNI. Dalam UU TNI, pelibatan militer dalam operasi militer selain perang yang salah satunya mengatasi terorisme dapat dilakukan jika sudah ada keputusan politik negara (Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) UU TNI). Yang dimaksud dengan keputusan politik negara adalah keputusan presiden yang dikonsultasikan bersama dengan DPR (penjelasan Pasal 5 UU TNI). Sementara di dalam draft perpres ini, pengerahan TNI dalam mengatasi terorisme dapat dilakukan cukup hanya atas dasar perintah presiden (Pasal 8 ayat (2) draft Perpres) tanpa ada pertimbangan DPR. Perpres ini menghilangkan mekanisme checks and balances antara Presiden dan DPR sebagaimana yang diatur dalam pasal 7 ayat (3) UU TNI.

Kedua, terkait penggunaan anggaran daerah dan sumber lain di luar APBN yang dapat digunakan oleh TNI dalam penanganan terorisme sebagaimana diatur dalam Pasal 14 draft Perpres. Hal ini jelas bertentangan dengan pasal 66 UU TNI. Penggunaan anggaran di luar APBN oleh TNI tidak sejalan dengan fungsi TNI yang bersifat terpusat (tidak didesentralisasikan) sehingga anggaran untuk TNI hanya melalui APBN sebagaimana diatur dalam Pasal 66 UU TNI. Pendanaan diluar ketentuan UU TNI tersebut memiliki problem akuntabilitas dan menimbulkan beban anggaran baru di daerah yang sudah terbebani dengan kebutuhan membangun wilayahnya masing masing.

Ketiga, rancangan perpres tersebut memberikan mandat yang sangat luas dan berlebihan kepada TNI untuk ikut terlibat dalam penanganan terorisme tanpa diikuti pengaturan tentang mekanisme akuntabilitas yang jelas untuk tunduk dalam sistem peradilan umum. Operasi penanganan terorisme oleh TNI kepada warga negaranya sendiri di dalam negeri dengan menjalankan fungsi penangkalan, penindakan dan pemulihan (Pasal 2 draft Perpres) adalah sangat berbahaya jika TNI tidak tunduk dalam sistem peradilan umum. Jika terdapat kesalahan operasi di lapangan yang mengakibatkan hak-hak warga negara terlanggar maka mekanisme pertanggungjawabannya menjadi tidak jelas karena militer masih tunduk dalam yurisdiksi peradilan militer dan belum tunduk dalam yurisdiksi peradilan umum.

Keempat, fungsi penangkalan di dalam draft Perpres tersebut juga sangat luas yakni dengan menjalankan operasi intelijen, operasi teritorial, operasi informasi dan operasi lainnya (Pasal 3). Sementara itu tidak ada penjelasan lebih rinci terkait dengan “operasi lainnya” itu. Dengan pasal yang multitafsir tersebut maka TNI mempunyai keleluasaan untuk melakukan penanganan terorisme di dalam negeri secara luas. Dengan kewenangan yang luas dalam mengatasi aksi terorisme sebagaimana dimaksud dalam draft peraturan presiden pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme maka akan membuka ruang tumpang tindih fungsi dan kerja antara TNI dengan institusi kemanan lainnya yakni dengan Polri, BIN dan BNPT itu sendiri. Hal ini justru akan membuat pola penangana terorisme menjadi tidak efektif dan akan menimbulkan overlapping tugas dan kerja.

Koalisi Masyarakat Sipil menilai draft Perpres masih mengandung sejumlah pasal bermasalah yang dapat mengancam kebebasan sipil, mengganggu kehidupan demokrasi, merusak crimincal justice system dan berpotensi menimbulkan tumpang tindih antar kelembagaan di kemudian hari. Oleh karena itu, kami mendesak pemerintah untuk menunda pembahasan draft Perpres tersebut dan mengakomodir berbagai masukan dari kalangan masyarakat sipil.

Jakarta, 18 Desember 2020

Koalisi Masyarakat Sipil

Elsam, Imparsial, PBHI, KontraS, YLBHI, Setara Institute, HRWG, LBH Pers, YPII, PPHD Univ. Brawijaya, Pusham Unimed, Public Virtue Research Institute, IDeKa Indonesia, Centra Initiatives.