Program Pemulihan Kepada Korban Talangsari Harus Dilanjutkan Dengan Penyelesaian Yudisial

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Bersama dengan Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung (PK2TL) mendesak Tim Terpadu Kementerian Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam) untuk tidak menjadikan program pemulihan sebagai upaya untuk menghindari pertanggungjawaban pelaku pelanggaran HAM berat untuk diadili di Pengadilan HAM sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Pada tanggal 16 Desember 2020, Tim Terpadu Kemenko Polhukam menyodorkan sebuah surat Komitmen Bersama antara Tim Terpadu Penanganan Dugaan Pelanggaran HAM yang Berat, Pemerintah Daerah Provinsi Lampung dan Kabupaten Lampung Timur dengan Paguyuban dengan Keluarga Korban Talangsari Lampung (PK2TL) untuk ditandatangani. Isi dari Kesepakatan Bersama tersebut pada intinya berisi perihal pemulihan komunal kepada korban pelanggaran HAM peristiwa Talangsari dengan membangun infrastruktur di lokasi Talangsari dan wilayah sekitarnya.

Sekalipun pada akhirnya ditandatangani oleh perwakilan korban, isi kesepakatan tersebut sempat mengalami bolak-balik perubahan draft. Poin dalam draft yang penting bagi korban justru ditolak oleh Tim Terpadu. Poin tersebut menyinggung soal permintaan kepada Tim Terpadu untuk melakukan penyelesaian kasus Talangsari melalui mekanisme yudisial atau pengadilan HAM berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Selain itu, proses pembuatan Kesepakatan Bersama yang sangat cepat, terburu-buru dan tidak menghendaki pelibatan korban dalam menyusun kesepakatan tersebut merupakan sebuah kejanggalan.

Tim Terpadu Kemenko Polhukam seolah mengulang kembali tindakan yang dilakukan pada bulan Februari tahun 2019 dengan mengadakan Deklarasi Damai Talangsari Lampung yang non akuntabel dan minim keterlibatan kelompok korban. Penting diingat bahwa deklarasi damai yang dilakukan oleh Tim Terpadu tersebut kemudian dilaporkan oleh pihak keluarga korban kepada Ombudsman Republik Indonesia dan kemudian dinyatakan terdapat maladministrasi. 

Selain itu, perlu juga untuk diperhatikan bahwa pemulihan korban merupakan salah satu tanggung jawab negara atas peristiwa pelanggaran HAM berat, bersamaan dengan pengungkapan kebenaran, penegakan keadilan, dan reformasi kelembagaan untuk menjamin ketidak berulangan peristiwa. Atas dasar tersebut, mekanisme pemulihan yang ada tidak boleh dianggap sebagai penuntasan tanggung jawab negara atas peristiwa pelanggaran HAM berat karena Negara tetap memiliki tanggung jawab untuk mengungkap kebenaran, menghukum pelaku, dan menjamin ketidak berulangan peristiwa. 

Atas dasar hal tersebut di atas, kami memberikan desakan:

Pertama, kepada Presiden Joko Widodo harus bisa memastikan bahwa langkah yang dilakukan oleh Tim Terpadu ini tidak berseberangan dengan arahan yang disampaikan Presiden kepada Kejaksaan Agung untuk melakukan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat melalui jalur yudisial atau pengadilan HAM. Pengakuan dari Negara atas terjadinya peristiwa Talangsari dan jaminan atas ketidak berulangan peristiwa tersebut yang terdapat di dalam poin 5 (lima) Komitmen Bersama Tim Terpadu mestinya menjadi dasar bahwa Negara telah mengakui Peristiwa Talangsari merupakan pelanggaran HAM berat masa lalu yang mestinya ditindaklanjuti secara yudisial sesuai dengan Undang-undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Kedua, kepada Komnas HAM untuk segera mengambil Langkah tegas dalam menyikapi manuver dari Kemenko Polhukam ini. Laporan Penyelidikan Komnas HAM untuk kasus Talangsari yang diselesaikan pada tahun 2007, namun masih mengalami proses bolak balik berkas dengan Kejaksaan Agung mengindikasikan bahwa proses hukum terhadap kasus Talangsari masih berjalan. Manuver Tim Terpadu ini semakin menunjukkan bahwa ada proses delegitimasi terhadap kerja-kerja Komnas HAM;

Ketiga, Jaksa Agung harus segera melakukan Langkah penyidikan terhadap kasus Talangsari Lampung. Terlebih, Presiden mengatakan bahwa aktor utama dalam proses penyelesaian kasus pelanggaran HAM adalah Kejaksaan Agung. Berjalannya proses penyidikan adalah bentuk kehadiran nyata Negara dalam melakukan penyelesaian kasus, bukan malah melakukan tindakan pengelabuan dengan membuat sejumlah kebijakan pemulihan yang berujung pada terjadinya impunitas terhadap kasus-kasus HAM di Indonesia;. 

Keempat, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) perlu juga terlibat dalam program pemulihan ini untuk menjamin proses pemulihan yang berkeadilan. Hal ini sesuai dengan mandat dalam Pasal 5 ayat 1 (a) Undang-undang no. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang menyatakan bahwa korban berhak ikut serta dalam memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan dan pada pasal 7 ayat 2 yang menyebutkan bahwa kompensasi dan restitusi diberikan berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Artinya, bantuan rehabilitasi dan psiko-sosial individual yang diberikan oleh LPSK harus berdasarkan keinginan korban dan pengadilan, bukan ditentukan oleh Tim Terpadu maupun lembaga lain yang tidak ada dalam mekanisme pengadilan HAM sesuai amanat Undang-undang no. 26 tahun 2000. Jika rujukan LPSK dalam pemberian rehabilitasi psikososial pada korban adalah Surat Keterangan Korban (SKK) dari Komnas HAM, maka pemberian pemulihan dan rehabilitasi psikososial tersebut tidak dapat memberikan keadilan bagi para korban pelanggaran HAM berat Talangsari secara merata karena tidak semua korban memiliki SKK tersebut. Program pemulihan ini juga harus dengan pengawasan dari Komnas HAM.

 

Jakarta, 18 Desember 2020
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
Paguyuban Keluarga Korban untuk Talangsari Lampung (PK2TL)

 

Narahubung:
Syahar Banu (KontraS)  +62 812-8585-7871/banu@kontras.org
Edi Arsadad  (PK2TL)  +62 853-6641-8500