Adili Oknum TNI Pelaku Kekerasan dan Pembunuhan di Intan Jaya, Papua dalam Peradilan Umum!

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) sebelumnya mengapresiasi pihak TNI, dalam menindaklanjuti rekomendasi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) terkait beberapa peristiwa kekerasan dan yang terjadi di Kabupaten Intan Jaya. .Dalam konferensi persnya pada tanggal 23 Desember 2020 Komandan Pusat Polisi Militer Angkatan Darat Danpuspomad) Letjen Dodik Wijanarko menyampaikan update terkait 4 kasus peristiwa kekerasan, yang antara lain:

  1. Kasus pembakaran rumah Dinas Kesehatan di Hitadipa pada 19 September 2020, ditetapkan 8 orang tersangka anggota TNI, melanggar Pasal 187 (1) jo. Pasal 55 (1) KUHP;
  2. Kasus hilangnya 2 orang bernama Luther Zanambani dan Apinus Zanambani yang ditahan di Koramil Sugapa pada 21 April 2020, ditetapkan 9 tersangka anggota TNI dan 3 anggota lainnya masih dalam pendalaman, melanggar Pasal 170 (1), 170 (2) ke-3, 351 (3), 181 KUHP, Pasal 132 KUHPM jo. Pasal 55 (1) ke-1 KUHP;
  3. Kasus kekerasan dan pembunuhan terhadap Pendeta Yeremia Zanambani pada 19 September 2020, belum ditetapkan tersangka;
  4. Kasus penembakan terhadap Gembala Gereja Katolik di sekitar Bandara Sugapa pada 7 Oktober 2020, belum ditetapkan tersangka;

Informasi tersebut setidaknya membuat sejumlah perkara peristiwa kekerasan yang terjadi di Kabupaten Intan Jaya menjadi terang, terutama terkait dengan hilangnya Sdr. Luther Zanambani dan Sdr. Apinus Zanambani yang sejak ditahan Koramil Sugapa pada 21 April 2020 hingga sekarang tidak diketahui nasib dan keberadaannya. Sebelumnya diketahui keduanya ditangkap oleh prajurit TNI di Sugapa dalam sweeping pemeriksaan pemenuhan protokol kesehatan Covid-19. Alasan ini sebagaimana diketahui para saksi di lokasi sweeping, dan juga yang diketahui oleh keluarga pada saat itu. Namun rilis Danpuspomad menyatakan lain. Keduanya ditangkap karena dicurigai sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Dalam interogasi, yang kemudian diduga dilakukan praktik-praktik  penyiksaan hingga menghilangkan nyawa Sdr. Luther dan Sdr. Apinus Zanambani. Guna  menghilangkan jejak, para terduga pelaku yang merupakan anggota TNI  membakar kedua mayat korban dan membuang abunya ke Sungai Julai di Distrik Sugapa.

Beberapa hal yang menjadi kekuatiran kami adalah sebagai berikut:

Pertama, pentingnya menempatkan kelompok kriminal bersenjata sebagai pelaku tindak pidana di negara hukum Indonesia dengan demikian diproses melalui aturan KUHAP. Hal ini berarti mencakup penangkapan dan penahanan yang harus berdasarkan bukti permulaan yang cukup, bukan hanya berdasar pada “kecurigaan” dan juga standar hukum yang harus dipenuhi untuk memberitahu kepada orang yang ditangkap dengan jelas terkait dengan alasan penangkapan tanpa pembohongan dan juga pemberitahuan yang layak dan transparan kepada keluarganya. Adanya stigma baik di TNI/Polri, Pemerintah atau masyarakat pada umumnya bahwa Orang Asli Papua (OAP) adalah bagian dari KKB, demi menjustifikasi berbagai kekerasan dan pembunuhan di luar hukum yang dilakukan aparat terhadap OAP adalah menyesatkan dan harus ditolak.

Kedua, menghilangkan, membunuh dan membakar mayat orang yang belum terbukti bersalah adalah tindakan keji, tidak bermoral dan sungguh tercela terlebih dilakukan oleh aparat Negara yang seharusnya melindungi warga negara apalagi tidak bersenjata.

Dari ke-dua hal diatas dan sebagaimana yang telah disampaikan dalam siaran pers oleh pihak TNI, tidak ada satu alasan apapun untuk tidak membawa para terduga pelaku kekerasan dalam  peristiwa diatas untuk dibawah keranah proses peradilan umum, hal ini tidak hanya didasari dari visi mereformasi peradilan militer sejak 22 tahun lalu, akan tetapi dalam aturan UU Peradilan Militer Pasal 200 ayat (1) cukup jelas kerugian yang ditimbulkan dari dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh anggota TNI dalam peristiwa tersebut terletak pada kepentingan umum, sehinggan mekanisme proses di Peradilan Umum lebih tepat dibandingkan dilakukan melalui mekanisme Peradilan Militer.

Hal ini penting dilakukan, mengingat  penyelesaian kasus di peradilan militer cenderung tertutup. Berdasarkan pemantauan KontraS sepanjang tahun 2020, setidaknya dari 196 kasus yang berhasil masuk Pengadilan Militer, terdapat 114 tindak pidana umum yang diadili oleh Pengadilan Militer mulai dari narkoba, penipuan, penggelapan, KDRT, kesusilaan dan lainnya dengan sanksi mayoritas dibawah satu tahun. Hal ini tentu menunjukkan disparitas pemidanaan yang tinggi bila dibandingkan dengan sanksi yang diberikan untuk tindak pidana serupa bagi pelaku masyarakat sipil di peradilan umum.

Oleh karena itu, kami mendesak agar:

  1. PihakTNI agar dapat melanjutkan proses penyelidikan dan penyidikan guna  mengusut tuntas dan menetapkan para tersangka yang telah melakukan tindakan kekerasan dalam peristwa diatas sekaligus  harus memastikan bahwa para pelaku diproses secara hukum dengan adil dan transparan;
  2. Jaksa Agung dan Oditur Jendral agar dapat mengusulkan  untuk menuntut dan mengadili perkara tersebut dalam peradilan umum. Bersama Bawas Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial mengawasi proses peradilan dan indepensi hakim yang memeriksa perkara sejak awal hingga akhir;
  3. Komisi I dan III DPR memprioritaskan dan mulai mengagendakan pembahasan revisi UU Peradilan Militer No. 31 Tahun 1997 yang jelas belum disesuaikan dengan semangat reformasi Negara sejak 1998;
  4. Pemerintah Indonesia mengambil kebijakan yang komprehensif dengan memperhatikan akar permasalahan di Papua guna mencegah berlanjutnya praktik kekerasan yang membahayakan keselamatan warga sipil, termasuk melakukan evaluasi atas pendekatan keamanan yang selama ini telah menjadi fokus Pemerintah Indonesia di Papua;

Jakarta, 24 Desember 2020
Badan Pekerja Kontras,

Fatia Maulidiyanti
Koordinator