Pergantian Kapolri Harus Jadi Momen Perbaikan Polri

Menjelang masa pensiun Jenderal Polisi Idham Azis pada akhir Januari mendatang, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan [KontraS] menyusun catatan kritis atas situasi keamanan selama satu tahun terakhir yang dapat menjadi pembelajaran maupun pekerjaan rumah bagi Kapolri berikutnya. Catatan ini kami susun menggunakan kerangka HAM guna mengukur sejauh mana institusi kepolisian mampu menghargai, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia.

Pada praktiknya, institusi kepolisian akan melahirkan situasi yang kerap disebut sebagai the paradox of institutional position. Aparat kepolisian bisa memiliki ruang yang besar untuk menjaga keamanan (human rights protector), namun sifat dari keistimewaan ini kerap membuat unsur kewenangan dan kekuasaan dimonopoli dan disalahgunakan, sehingga menghasilkan pelanggaran HAM. Polisi dalam skenario kedua dapat menjadi human rights violator. Paradoks semacam ini biasanya coba dijawab dengan bentuk pendekatan melalui diskresi (kewenangan untuk menafsirkan situasi, kebijakan dan tindakan apa yang tepat dan harus untuk diambil) yang diikuti dengan prasyarat normatif: mulai dari ukuran proporsionalitas, mengukur tindakan berdasarkan kebutuhan mendesak, legalitas hukum, dan akuntabilitas.

Oleh karena itu, catatan kritis ini akan menguji sejauhmana langkah yang diambil oleh institusi kepolisian selama kepemimpinan Jenderal Polisi Idham Azis. Catatan ini kami susun dengan melihat bentuk dan pola kekerasan di ranah kepolisian baik secara verbal maupun nonverbal yang terimplementasikan dalam bentuk kebijakan ataupun tindakan di lapangan.

I. Penggunaan Diskresi yang Sewenang-Wenang

Keleluasaan Polri untuk mengeluarkan diskresi tidak digunakan dengan baik untuk mengisi kekosongan hukum. Terlebih lagi, kewenangan penggunaan diskresi tidak diikutsertakan dengan parameter yang terukur. Pada praktiknya, diskresi ini mewujud dalam sejumlah kebijakan yang pada praktiknya justru membatasi kebebasan sipil bahkan melangkahi wewenang wewenang lembaga legislatif dengan memuat hal-hal yang bersifat mengatur secara umum dan berupa pembatasan hak-hak warga.

Sejumlah peraturan tersebut antara lain, sebagai berikut:

Pertama Surat Telegram Nomor: ST/1100/IV.HUK.7.1./2020 tentang Penanganan Kejahatan di Ruang Siber. Peraturan ini menghidupkan kembali aturan mengenai penghinaan terhadap Presiden  yang sudah dihapus oleh MK melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006. Terlebih, dikeluarkannya Surat Telegram ini dalam konteks penanganan COVID-19 menampilkan perspektif Polri terhadap kritik kepada Pemerintah sebagai ancaman keamanan alih-alih fenomena demokratik yang mana masyarakat memiliki ruang yang substansial untuk terlibat dalam jalannya Pemerintahan, salah satunya dalam bentuk memberikan kritik dan kecaman kepada kebijakan Pemerintah. Pasca dikeluarkannya surat telegram ini pada bulan April, terdapat lonjakan peristiwa penangkapan terhadap orang-orang yang dianggap telah melakukan penghinaan/pencemaran nama baik terhadap Presiden ataupun Polri.

Kedua Surat Telegram STR/645 /X/PAM.3.2/2020 tentang antisipasi unjuk rasa dan mogok kerja buruh pada tanggal 6-8 Oktober 2020 dalam rangka penolakan Omnibus law Cipta Kerja. Dalam Surat Telegram Rahasia ini, Polri mengeluarkan beberapa instruksi yang tidak selaras dengan tupoksi Polri, yakni instruksi untuk tidak memberikan izin kegiatan, termasuk aksi unjuk rasa, instruksi untuk melakukan kontra narasi terhadap isu-isu yang mendiskreditkan Pemerintah, dan melakukan manajemen media untuk bangun opini bahwa publik tidak setuju dengan aksi unjuk rasa di tengah pandemi. Berbagai instruksi ini sudah tidak berada dalam ranah penegakkan hukum, melainkan ranah politik antara masyarakat dengan Negara.

Ketiga, Peraturan Polri Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pengamanan Swakarsa. Peraturan ini mengambil alih bentuk-bentuk pengamanan warga seperti Satkamling ke dalam koordinasi Polri. Terlebih, terdapat ambiguitas pengaturan yakni tidak dibatasinya kelompok yang dapat dikukuhkan sebagai Pamswakarsa, sehingga menempatkannya sepenuhnya di bawah diskresi Polri. Dalam kondisi ini, penghidupan kembali Pamswakarsa memiliki potensi digunakan tanpa akuntabilitas yang jelas ataupun demi kepentingan politik tertentu sehingga dapat berujung pada peristiwa kekerasan dan konflik horizontal.

Keempat, Maklumat Kapolri Nomor Mak/1/I/2021 tentang Kepatuhan terhadap Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam (FPI). Maklumat Kapolri ini berisi aturan kepada masyarakat berbentuk larangan dari keterlibatan dengan segala hal yang berkaitan dengan simbol dan atribut FPI, termasuk mengakses, mengunggah, dan menyebarluaskan konten terkait FPI melalui website ataupun media sosial. Seruan ini mengandung sifat mengatur berbentuk larangan yang sejatinya bukan termasuk dalam cakupan wewenang Polri sebagai pelaksana peraturan perundang-undangan alih-alih pembentuk peraturan yang mengikat masyarakat. Terlebih, dalam konteks kebebasan sipil, Polri seharusnya menempatkan dirinya hanya sebagai pelaksana aturan dan tidak turut menentukan keabsahan dari sebuah ekspresi, termasuk dalam bentuk simbol dan atribut.

Berbagai kebijakan ini, selain membatasi kebebasan sipil juga seakan-akan menempatkan Polri tidak lagi hanya sebagai lembaga penegak hukum yang menjalankan perintah undang-undang, namun juga sebagai lembaga yang turut merumuskan aturan yang mengikat masyarakat umum, yang bukan merupakan bagian dari wewenang kepolisian sebagaimana diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian.

II. Pasif dalam Menanggapi Pelanggaran HAM oleh Aparat Kepolisian

 Berdasarkan seluruh laporan tersebut, kami mendapati bahwa angka kekerasan oleh aparat kepolisian tidak berkurang dan selalu mengalami keberulangan setiap tahunnya. Sebagai contoh, pola pemberangusan kebebasan berpendapat dan penggunaan kekuatan yang eksesif dalam menangani aksi massa yang terjadi dalam penanganan aksi May Day tahun 2019 di Bandung justru direplikasi dan berulang dalam berbagai penanganan aksi massa setelahnya seperti aksi di sekitar Bawaslu Mei 2019, aksi Reformasi Dikorupsi September 2019, dan aksi menolak UU Cipta Kerja Oktober 2020. Keberulangan peristiwa merupakan gejala dari penyakit yang lebih mendasar, yakni adanya pembiaran terhadap pelanggaran HAM yang terjadi sehingga tidak muncul efek jera serta upaya perbaikan kelembagaan untuk menjamin terlindunginya HAM.[1]

Pembiaran terhadap kekerasan tersebut juga dilegitimasi dengan minimnya mekanisme pengawasan, baik secara internal maupun eksternal. Adapun lubang besar di sektor pengawasan terhadap kinerja kepolisian terjadi karena beberapa hal, di antaranya: 1) Proses pembinaan yang tidak maksimal terhadap anggota; 2) mekanisme kontrol dan evaluasi yang tidak berjalan dengan baik; 3) penegakan hukum yang tidak menimbulkan efek jera bagi anggota kepolisian yang melakukan tindakan kekerasan. 4) ketidakpatuhan terhadap peraturan internal yang menaungi kinerja aparat kepolisian 5)resistensi institusi terhadap kritik

III. Represifitas dalam Penanganan Aksi Massa

 Pendekatan yang dilakukan aparat kepolisian dalam menangani aksi massa mengalami kemunduran dalam aspek penghormatan hak atas kebebasan bereksresi. Bentuk-bentuk pemberangusan kerap terjadi pada saat sebelum, saat, sampai sesudah adanya aksi massa. Cara-cara seperti manajemen media untuk membangun narasi penolakan terhadap aksi massa selama pandemi yang tercantum dalam Telegram Rahasia Nomor STR/645/X/PAM.3.2./2020 menyiratkan ketidaknetralan Polri dalam menyikapi dinamika sosial-politik Negara dengan menempatkan aspirasi warga sebagai gangguan keamanan yang harus disikapi secara represif. Represifitas ini ditunjukkan saat penanganan aksi massa yang rentan dengan peristiwa kekerasan eksesif bahkan pemberangusan kebebasan pers dengan menyita dan menghapus dokumentasi oleh jurnalis sebagaimana terjadi di beberapa daerah.[2] Pola-pola tersebut merupakan keberulangan dari pola-pola represif dalam menangani aksi massa sebagaimana telah terjadi dalam tiga momentum besar di tahun 2019 yakni May Day, Aksi Bawaslu, dan Reformasi Dikorupsi. Keberulangan ini diakibatkan oleh dua hal, yakni tidak adanya upaya koreksi dengan sangat minimnya penegakan hukum terhadap aparat pelaku kekerasan secara eksesif, dan pewajaran terhadap pelanggaran dalam bentuk Surat Telegram Rahasia yang substansinya justru melegitimasi pembatasan kebebasan berekspresi oleh aparat kepolisian.[3]

IV. Pembungkaman Kritik, Terutama di Ranah Digital

 Dalam kondisi pandemi yang menggeser ruang publik menjadi lebih dominan di ranah digital, peran Polri dibutuhkan untuk menjamin keamanan dan ketertiban di ranah siber dalam konteks melindungi hak-hak masyarakat, seperti hak atas privasi ataupun perlindungan dari tindak pidana di ranah siber. Belum maksimalnya pelaksanaan fungsi tersebut, Polri justru lebih rentan menggunakan sumber daya nya untuk memberangus kebebasan berekspresi di ranah siber melalui tafsir sepihak terhadap konten-konten yang dianggap merupakan penghinaan ataupun berita bohong melalui pendekatan penegakan hukum pidana. Selama tahun 2020, KontraS mencatat setidaknya 20 peristiwa pemberangusan kebebasan berekspresi di ranah digital oleh Polri melalui tindakan pemidanaan. Penanganan sejauh ini menunjukkan tidak jelasnya parameter yang digunakan oleh Kepolisian dalam membedakan antara kritik, keluhan/amarah, dengan ujaran kebencian ataupun fitnah, terutama terhadap ekspresi yang ditujukan kepada Pemerintah ataupun terhadap Polri itu sendiri.

 

V. Penempatan Jabatan di Luar Struktur Organisasi Polri

Sebagai lembaga penegak hukum yang diberi kuasa oleh negara untuk melakukan berbagai hal termasuk upaya paksa dan penggunaan kekuatan, profesionalitas, netralitas, dan imparsialitas merupakan hal-hal wajib yang harus dijaga dari institusi Polri. Penempatan anggota Polri, terutama yang masih aktif pada lembaga-lembaga lain yang tidak berkaitan dengan fungsi keamanan, rentan dengan adanya konflik kepentingan misalnya ketika lembaga tersebut ataupun pejabat di dalamnya berhadapan dengan hukum. Terlebih, dengan banyaknya penempatan anggota Kepolisian di luar struktur organisasi Polri, maka tidak hanya dapat mengganggu independensi, namun juga berimplikasi pada meluasnya pengaruh dan kuasa Polri dalam tatanan sosial-ekonomi yang merupakan salah satu hal yang tidak boleh terjadi terhadap lembaga di sektor keamanan.

VI. Resistensi terhadap kritik

Kritik terhadap Polri khususnya terkait pelanggaran HAM selama beberapa tahun terakhir telah disuarakan oleh berbagai pihak mulai dari lembaga pengawas eksternal seperti Ombudsman[4] dan Komnas HAM[5], anggota legislatif, sampai berbagai organisasi masyarakat sipil. Terlepas dari berbagai kritik tersebut, tidak terlihat adanya upaya serius dari Polri untuk membenahi berbagai permasalahan dalam institusinya yang berkaitan dengan pengakuan dan perlindungan HAM. Hal ini dilihat dari tingginya angka kekerasan dan pelanggaran HAM oleh anggota Polri setiap tahun yang tidak diproses hingga tuntas serta maraknya keberulangan peristiwa yang berakar dari tidak adanya upaya koreksi yang maksimal. Dalam salah satu peristiwa, Polri justru terkesan tidak legowo dengan kritik yang ditujukan kepadanya dengan menolak temuan Ombudsman RI terkait dugaan maladministrasi dalam penanganan aksi massa 21-23 Mei 2019.[6]

Berbagai kategori permasalahan tersebut merupakan hambatan bagi Polri dalam upaya membangun budaya penegakan hukum dan pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat yang humanis dan profesional. Tanpa adanya evaluasi secara segera terhadap kelembagaan Polri, maka tugas mulia berupa penegakan hukum dan pemeliharaan Kamtibmas tersebut dapat digunakan secara bias demi kepentingan-kepentingan eksternal yang dapat merugikan masyarakat dan mengancam HAM.

Kapolri yang baru nantinya harus memulai tugasnya dengan secara serius melakukan pembenahan-pembenahan dalam sektor pemahaman dan perlindungan HAM oleh aparat kepolisian. Aturan-aturan di tingkat Polri yang membatasi kebebasan sipil masyarakat harus segera dicabut karena kewenangan tersebut terletak pada pembentuk UU, bukan Polri sebagai pelaksana UU. Kemudian, kekerasan eksesif dalam penanganan aksi massa harus segera dihentikan dan Polri harus bisa secara tegas memproses hukum anggotanya sendiri yang melakukan pelanggaran berupa penggunaan kekerasan secara tidak selaras dengan prinsip-prinsip HAM universal beserta Perkap Nomor 01 Tahun 2009.

Berikutnya, Polri harus menetapkan panduan yang jelas bagi seluruh jajarannya perihal penindakan hukum terhadap sebuah ekspresi dengan secara jelas dan obyektif mengklasifikasikan parameter ekspresi yang dapat dibatasi berdasarkan standar hukum internasional tentang HAM. Hal ini dibutuhkan untuk meminimalisir disparitas dalam melakukan pemidanaan terhadap orang-orang yang mengemukakan ekspresinya. Dalam hal penempatan anggota Polri pada jabatan di luar struktur organisasi Polri, penting untuk segera mengevaluasi efektivitas dan potensi resiko dari posisi-posisi yang telah ditempati oleh anggota Polri sejauh ini. Terakhir, Polri harus terbuka dan mampu menanggapi kritik dari pihak manapun sebagai bentuk kontrol masyarakat terhadap Polri sebagai aktor kunci sektor keamanan negara. Maka dari itu, bersifat imperatif bagi Kapolri yang nantinya akan dipilih untuk mengutamakan adanya evaluasi menyeluruh terhadap lembaga Polri demi menjamin terjaganya kepolisian yang obyektif, profesional, dan menjalankan tugas dan wewenangnya secara humanis berdasarkan nilai-nilai HAM, demokrasi, dan rule of law.

Jakarta, 10 Januari 2020

Badan Pekerja KontraS

 Fatia Maulidiyanti

Koordinator

[1] Pembiaran dapat dilihat dari sangat sedikitnya peristiwa pelanggaran HAM oleh aparat kepolisian yang diselesaikan hingga tuntas melalui skema sistem peradilan pdana. Lihat laporan hari Bhayangkara 2019 KontraS: https://kontras.org/wp-content/uploads/2019/07/catatan_hari-bhayangkara-ke-73.pdf

[2] https://kontras.org/2020/10/25/temuan-tindakan-kekerasan-aparat-pembungkaman-negara-terhadap-aksi-aksi-protes-menolak-omnibus-law-di-berbagai-wilayah/

[3] https://kontras.org/2020/10/06/polisi-harus-netral-hormati-dan-lindungi-hak-warga-menyampaikan-pendapat/

[4] https://tirto.id/ombudsman-temukan-4-maladministrasi-penanganan-aksi-21-23-mei-ejw9

[5] Komnas HAM menyatakan bahwa Polri merupakan lembaga yang paling sering dilaporkan oleh masyarakat pada tahun 2019. Lihat: https://nasional.tempo.co/read/1351560/catatan-komnas-ham-polri-paling-banyak-dilaporkan-di-2019/full&view=ok

[6] https://nasional.kompas.com/read/2019/10/10/17450041/polri-tolak-temuan-ombudsman-terkait-penanganan-kerusuhan-21-23-mei-2019