Pembentukan Komponen Cadangan Pertahanan Negara Tidak Mendesak dan Harus Ditunda: Tuntaskan Reformasi TNI

Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 3 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan UU Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara. Sebagaimana diberitakan, dengan dasar Peraturan Pemerintah (PP) tersebut, Kementerian Pertahanan (Kemhan) akan segera memulai proses perekrutan dan pelatihan Komponen Cadangan Pertahanan Negara.

Kami memandang pembentukan Komponen Cadangan Pertahanan Negara merupakan langkah yang terburu-buru mengingat tidak hanya urgensi pembentukannya saja dipertanyakan, tapi kerangka pengaturannya di dalam UU PSDN juga memiliki beberapa permasalahan yang cukup fundamental karena mengancam hak-hak konstitusional warga negara dan mengganggu kehidupan demokrasi.

Jika rencana tersebut tetap dipaksakan, keberadaan komponen cadangan bukannya akan memperkuat pertahanan negara, tapi sebaliknya memunculkan masalah-masalah baru. Dalam konteks ini, pemerintah semestinya mencermati secara serius berbagai kritik dan penolakan publik terkait rencana pembentukan Komponen Cadangan Pertahanan Negara.

Pembentukan Komponen Cadangan memang menjadi bagian tak terpisahkan dalam pembangunan kekuatan pertahanan negara. Namun demikian, pembentukan komponen ini hendaknya dijalankan dengan mempertimbangkan sekala prioritas agenda reformasi sektor keamanan terutama pembangunan TNI sebagai komponen utamanya yang masih menyisakan pekerjaan rumah, seperti modernisasi alutsista yang tertatih-tatih karena anggaran yang terbatas, minimnya kesejahteraan prajurit dan beberapa agenda reformasi TNI yang belum tuntas. Pemerintah seharusnya fokus pada pembangunan TNI, bukan mengeluarkan anggaran untuk pembentukan Komponen Cadangan yang urgensinya masih dipertanyakan.

Kami juga menilai kerangka pengaturan Komponen Cadangan dalam UU PSDN juga memiliki banyak permasalahan serius. Pertama, luasnya ruang lingkup ancaman yang diatur dalam UU PSDN. Pasal 4 Ayat (2) menyebutkan bahwa ancaman terdiri atas ancaman militer, ancaman non-militer dan hibrida. Luasnya ancaman menimbulkan permasalahan tersendiri, di mana Komponen Cadangan yang telah disiapkan dan dibentuk pemerintah dapat digunakan untuk menghadapi ancaman keamanan dalam negeri seperti dalih untuk menghadapi ancaman bahaya komunisme, terorisme, dan konflik dalam negeri yang berpotensi menimbulkan terjadinya konflik horizontal di masyarakat. Padahal, pembentukan dan penggunaan komponen cadangan seharusnya diorientasikan untuk mendukung komponen utama pertahanan negara yakni TNI dalam menghadapi ancaman militer dari luar.

Kedua, narasi bela negara yang dibangun oleh pemerintah inkonsisten. UU PSDN secara eksplisit menyatakan wajib militer menjadi salah satu bentuk bela negara dan komponen cadangan yang dibentuk dipersiapkan untuk tujuan tersebut. Padahal, bela negara dapat dilakukan dengan berbagai cara dan tidak selalu wujudnya berdimensi kemiliteran. Pasal 6 Ayat (2) menyebutkan pelatihan dasar kemiliteran secara wajib menjadi satu dari empat bentuk keikutsertaan warga negara dalam upaya bela negara. Pendekatan ini cenderung militeristik sehingga tidak bisa dihindari adanya dugaan upaya militerisasi sipil melalui program bela negara. Belum lagi konsepsi program bela negara yang ditawarkan juga tidak cukup jelas.

Ketiga, keberadaan komponen cadangan yang tidak jelas–apakah termasuk militer atau sipil–menimbulkan potensi pelanggaran hukum humaniter internasional khususnya prinsip pembedaan (distinction principle). Prinsip ini secara tegas membedakan dua kategori orang dalam situasi konflik bersenjata internasional, yaitu kombatan dan penduduk sipil. Sekalipun UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara juga mengadopsi konsep manunggal, sudah semestinya kita melakukan koreksi terhadap praktik yang bertentangan dengan prinsip pembedaan yang merupakan bagian penting dan tak terpisahkan dari kewajiban Internasional Indonesia sebagai pihak dalam Konvensi Jenewa 1949.

Penggunaan Hukum Militer bagi Komponen Cadangan selama masa aktif sebagaimana diatur pada pada Pasal 46 UU PSDN adalah kekeliruan yang fatal. Di saat reformasi militer tersendat karena belum dituntaskannya kasus pelanggaran HAM masa lalu, serta ketidaktundukan militer terhadap sistem peradilan umum, UU PSDN justru mewajibkan komponen cadangan tunduk terhadap hukum militer. Padahal kewajiban untuk tunduk pada sistem peradilan umum bagi anggota militer merupakan perintah Pasal 3 Ayat (4) TAP MPR VII/2000 dan Pasal 65 Ayat (2) UU No. 34 Tahun 2004. Ketidaktundukan pada peradilan umum ini berpotensi melanggengkan impunitas dan menghambat reformasi peradilan militer.

Keempat, UU PSDN tidak mengadopsi prinsip dan norma hak asasi manusia secara penuh. Pasal 51-56 UU PSDN mengatur pendaftaran komponen cadangan oleh warga negara bersifat sukarela, tetapi ketentuan ini berbeda bagi komponen cadangan selain manusia yakni sumber daya alam (SDA) dan sumber daya buatan (SDB) yang tidak mengenal prinsip kesukarelaan. Terlebih, aturan main penetapan SDA dan SDB sebagai Komcad juga tidak rigid, sehingga berpotensi melanggar HAM khususnya terkait hak atas properti (right to property).

Prinsip kesukarelaan harus dipandang secara luas, tidak hanya sebatas pada pilihan-pilihan absolut dalam hal ini ketika warga negara mendaftar secara sukarela dan terikat selamanya tanpa ada peluang untuk mengubah pilihannya. Prinsip ini juga memberikan peluang bagi warga negara yang sudah mendaftar secara sukarela mengubah opsi mereka jika dilakukan mobilisasi berdasarkan kepercayaannya (conscientious objection).

Sebaliknya, UU ini justru mengancam dengan sanksi pidana terhadap anggota komponen cadangan untuk menolak panggilan mobilisasi meski itu dilakukan berdasarkan atas kepercayaan dan keyakinannya (Pasal 77 ayat (1)). Tiadanya pasal yang mengatur pengecualian bagi mereka yang menolak penugasan militer karena hal tersebut bertentangan dengan kepercayaannya merupakan pelanggaran Pasal 18 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang melindungi hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Hal ini telah ditekankan oleh Komisi Hak Asasi Manusia PBB dalam Komentar Umum No. 22 dan pendapat-pendapat lainnya yang dibuat untuk menanggapi prosedur petisi maupun laporan penerapan Kovenan yang diserahkan oleh negara pihak. Sebagai negara pihak Kovenan tersebut, Indonesia wajib untuk memastikan adanya pasal yang mengatur pengecualian tersebut.

Kelima, mekanisme pembiayaan dalam UU PSDN bermasalah karena bertentangan dengan prinsip sentralisasi anggaran pertahanan. Dalam UU PSDN Pasal 75 huruf b dan c disebutkan bahwa pembiayaan pengelolaan sumber daya nasional melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat di samping dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN), telah menyalahi prinsip sentralisme pembiayaan anggaran pertahanan negara. Pasal 25 ayat (1) UU No. 3/2002 tentang Pertahanan Negara menegaskan “Pertahanan negara dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara”. Sementara pada Pasal 25 ayat (2) menyebutkan “Pembiayaan pertahanan negara ditujukan untuk membangun, memelihara, mengembangkan, dan menggunakan Tentara Nasional Indonesia serta komponen pertahanan lainnya”.

Bidang pertahanan negara merupakan salah satu bidang pemerintahan pusat yang kewenangan pengelolaannya tetap berada di tangan pemerintah pusat sebagaimana yang ditegaskan dalam konstitusi (UUD 1945), UU Pertahanan Negara (Pasal 13 ayat 1), UU TNI dan UU Pemerintahan Daerah. Keterpusatan penyelenggaraan sektor pertahanan negara sejalan dengan pembagian wewenang antara pemerintah pusat dan daerah sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 9 dan Pasal 10 UU No. 23/2014 tentang Pemerintah Daerah yang menyebutkan bahwa bidang pertahanan merupakan urusan pemerintahan pusat secara absolut. Terlebih lagi, pemusatan anggaran merupakan mekanisme kontrol terhadap sektor keamanan, tidak hanya untuk mengawasi efektivitas penggunaan anggaran namun juga kontrol terhadap TNI.

Akomodasi pembiayaan pertahanan dari APBD dan sumber lainnya jelas berpotensi menimbulkan masalah serius karena kontribusi bantuan anggaran tersebut sulit untuk dikontrol. Selain itu, hal tersebut akan juga memperumit proses pertanggungjawaban sehingga membuka peluang terjadi penyalahgunaan dan penyimpangan.

Berangkat dari bacaan di atas, kami mendesak:

  1. Pemerintah salah kaprah dan jelas melakukan militerisasi dengan mempercepat implementasi lewat PP No. 3 Tahun 2021 tentang PSDN. Seharusnya, Presiden melakukan legislative review terhadap UU ini sebelum UU ini diimplementasikan;
  2. Pemerintah fokus untuk memperkuat komponen utamanya yakni TNI dalam hal penguatan alutsista, peningkatan kapasitas profesionalisme TNI, dan peningkatan kesejahteraan prajurit di tengah kondisi anggaran pertahanan yang terbatas;
  3. Jika ingin didorong, pembentukan komponen cadangan sebaiknya fokus melibatkan pegawai negeri sipil saja dan tidak perlu menjadikan masyarakat secara umum sebagai bagian objek dari pelatihan dasar kemiliteran. Jumlah PNS yang cukup besar dapat menjadi potensi untuk komponen cadangan, serta kontrol terhadap PNS pasca pelatihan juga lebih terukur ketimbang masyarakat secara umum.

Jakarta, 25 Januari 2021

Koalisi Masyarakat Sipil
(Imparsial, ELSAM, LBH Pers, SETARA Institute, HRWG, KontraS, PBHI, IDeKA Indonesia, Centra Inisiative)

Untuk informasi lebih lanjut silakan menghubungi:

Gufron Mabruri (Direktur IMPARSIAL), telepon: 081213340612;
Gustika F. Jusuf (Peneliti IMPARSIAL), telepon: 087876236076;
Wahyudi Djafar (Direktur Eksekutif ELSAM), telepon: 081382083993;
Al Araf (Ketua Badan Pengurus Centra Inisiative), telepon: 081381694847;
Ade Wahyudin (Direktur LBH Pers), telepon: 082146888873;
Ikhsan Yosarie (Peneliti SETARA Institute), telepon: 082286389295;
Muhamad Hafiz (Direktur Eksekutif HRWG), telepon: 081282958035;
Fatia Maulidiyanti (Koordinator KontraS) telepon: +6281913091992;
Julius Ibrani (Sekjen PBHI), telepon: 081314969726.