32 Tahun Ketiadaan Komitmen Negara untuk Menuntaskan Pelanggaran HAM Berat Peristiwa Talangsari 1989

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) bersama-sama dengan Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), Panguyuban Keluarga dan Korban Talangsari Lampung (PK2TL), dan Ikatan Wartawan Online (IWO) Lampung, menyayangkan bahwa selama 32 tahun peristiwa Talangsari Lampung, pemerintah masih menunjukkan ketiadaan komitmen dan kemauan untuk menuntaskan penyelesaian peristiwa Pelanggaran HAM Berat masa lalu melalui mekanisme Judisial. Khususnya yang terkait dengan penyelesaian kasus peristiwa Talangsari, Lampung.

Hal tersebut terlihat jelas dalam beberapa agenda yang ditawarkan terhadap korban, semisal upaya yang dilakukan oleh Tim Terpadu Penanganan Dugaan Pelanggaran HAM yang Berat bentukan Kemenko Polhukam yang lebih menekankan proses penyelesaian melalui mekanisme non-judisial dengan menekankan melalui pemulihan terhadap infrastruktur dan Sebagian kecil korban. Dari sisi lain, sejatinya secara tidak langsung pemerintah sebenarnya telah mengakui bahwa peristiwa Talangsari Lampung merupakan peristiwa pelanggaran HAM Berat, sehingga sudah sepatutnya komitmen tersebut harus dilakukan bersamaan dengan proses pengungkapan dan penyelesain melalui mekanisme yudisial.

Banyak hal yang sebenarnya bisa ditindaklanjuti oleh Pemerintah khususnya jika pemerintah berkomitmen untuk mengungkap peristiwa pelanggaran HAM Berat masa lalu dalam peristiwa Talangsari Lampung melalui mekanisme yudisial, yang mana kami ingin mengingatkan antara lain:

  1. Pada tahun 2014 terdapat pernyataan Jendral (Purn) Hendropriyono yang menyatakan diri siap menjalani sidang Pengadilan HAM Ad Hoc atas dugaan keterlibatannya pada peristiwa Talangsari dalam sebuah wawancara dengan Jurnalis Amerika Serikat bernama Allan Nairn, yang kemudian dipublikasikan secara terbuka dan dapat diakses oleh publik;
  2. Rekomendasi Ombudsman Republik Indonesia (ORI) yang menyatakan bahwa adanya maladministrasi dalam deklarasi damai kasus Pelanggaran HAM Berat Talangsari yang tidak sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik dan tidak sesuai dengan Undang-Undang (UU) No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM;
  3. Hasil penyelidikan projustisia Komnas HAM yang telah menyatakan bahwa Peristiwa Talangsari, Lampung adalah peristiwa pelanggaran HAM yang berat yang harus ditindaklanjuti ketahap penyidikan dan penuntutan di Pengadilan HAM, sebagimana yang diperintahkan UU 26 tahun 2000.

 

Pemerintah harus segera menghentikan upaya-upaya pemaksaan kehendak untuk penyelesianan dan penuntasan kasus pelanggaran HAM Berat masa lalu, khususnya peristiwa Talangsari, Lampung melalui mekanisme non judicial, mengingat banyak satuan-satuan tugas dan tim-tim terpadu yang dibentuk oleh pemerintah terlihat tidak efektif dan terkesan “rumit” dalam proses penyelesaiannya

Oleh karenanya kami menuntut kepada pemerintah agar:

  1. Pemerintah untuk menyelesaikan peristiwa pelanggaran HAM berat dalam peristiwa Talangsari, Lampung melalui mekanisme judisial, hal ini tidak hanya didasari oleh hasil rekomendasi penyelidikan projustisia Komnas HAM. Namun juga didasari atas Surat Komitmen Bersama antara Tim Terpadu dengan PK2TL,  yang mana dalam surat tersebut jelas secara eksplisit dapat dimaknai bahwa secara tidak langsung pemerintah melalui Tim Terpadu telah mengakui bahwa peristiwa Talangsari merupakan peristiwa pelanggaran HAM berat sehingga perlu dilakukan pemulihan terhadap peningkatan dan kualitas taraf hidup masyarakat serta korban peristiwa Talangsari, sebagimana yang tertuang dalam surat komitem bersama yang dikeluarkan oleh Tim Terpadu dan PK2TL;
  2. Komnas HAM aktif berpartisipasi dalam pemenuhan hak korban peristiwa Talangsari dengan pemberian Surat Keterangan Korban Pelanggaran HAM untuk pengakuan keberadaan korban serta akses untuk bantuan psiko-sosial dan medis dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban;
  3. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) perlu juga terlibat dalam program pemulihan ini untuk menjamin proses pemulihan yang berkeadilan. Bantuan rehabilitasi dan psiko-sosial individual yang diberikan oleh LPSK harus berdasarkan keinginan korban dan pengadilan, bukan ditentukan oleh Tim Terpadu maupun lembaga lain yang tidak ada dalam mekanisme pengadilan HAM sesuai amanat Undang-undang no. 26 tahun 2000. Jika rujukan LPSK dalam pemberian rehabilitasi psikososial pada korban adalah Surat Keterangan Korban Pelanggaran HAM (SKKPHAM), maka pemberian pemulihan dan rehabilitasi psikososial tersebut tidak dapat memberikan keadilan bagi para korban pelanggaran HAM berat Talangsari secara merata karena tidak semua korban memiliki SKK tersebut. Program pemulihan ini juga harus dengan pengawasan dari Komnas HAM.

 

 

Narahubung

Syahar Banu (0812-8585-7871 banu@kontras.org)
Edi Arsadad (0853-6641-8500)