Polda Kalimantan Timur Harus Segera Lakukan Penyidikan terhadap Dugaan Penyiksaan Mengakibatkan Kematian oleh Anggota Polresta Balikpapan KontraS, 2021

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam keras segala bentuk penyiksaan berujung kematian yang dilakukan oleh anggota kepolisian terhadap masyarakat sipil, bentuk pelanggaran ini merupakan pelanggaran terhadap aturan internal kepolisian, yakni Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian, dan beberapa peraturan perundang-undangan lainnya, seperti Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, maupun Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat.

Penggunaan cara-cara penyiksaan dalam memaksa pengakuan terduga tindak pidana merupakan praktik kejam peninggalan masa otoriter yang seharusnya telah lama ditinggalkan oleh Polri secara kelembagaan. Temuan kami setiap tahunnya yang masih menunjukkan minimnya penurunan angka penyiksaan oleh aparat kepolisian, khususnya dalam memaksa pengakuan, menunjukkan bahwa penyiksaan masih menjadi permasalahan sistemik pada tubuh Polri, yang berakar dari tidak efektifnya mekanisme oversight baik secara internal oleh Propam Polri maupun secara eksternal oleh Kompolnas ataupun lembaga pengawas lainnya. Terlebih, impunitas juga masih menjadi salah satu isu faktor yang mempengaruhi awetnya angka penyiksaan, dengan ditunjukkan oleh tidak transparannya aparat kepolisian dalam melakukan proses baik secara internal melalui Kode Etik Profesi Polri (KEPP) maupun secara hukum pidana.

Kasus kematian herman yang diduga dilakukan oleh anggota kepolisian adalah satu dari sekian banyak kasus yang seringkali terjadi di ruang tahanan polisi.[1] hal ini semakin menjadi momok ketika kepolisian resisten terhadap kritik, sehingga perbaikan sulit sekali terjadi. Terlebih lagi, model penyelesaian kasus seperti ini kerap berujung pemberian uang kerahiman dan berhenti pada mekanisme etik semata, dan jarang didorong ke mekanisme peradilan umum (pidana) yang sejatinya dapat menjadi ruang untuk pembenahan.[2] Apabila internal kepolisian tidak tidak dapat ataupun tidak mau mengupayakan perbaikan melalui mekanisme peradilan umum tersebut, maka sudah sepantasnya lembaga pengawas eksternal yang memberikan desakan.

Penyiksaan, sebagai masalah sistemik, membutuhkan perombakan secara sistemik pula, mulai dari perumusan delik penyiksaan dan penghukuman tidak manusiawi lainnya sebagai tindak pidana, penguatan mekanisme NPM, perombakan sistem penegakkan aturan internal dalam tubuh Polri, sampai perombakan Kompolnas sebagai lembaga oversight terhadap Polri yang lebih independen. Menuju perombakan sistemik tersebut, langkah pertama yang dapat dan wajib dilakukan adalah memastikan peristiwa penyiksaan yang terjadi memberikan konsekuensi hukum kepada para pelaku dalam bentuk sanksi pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang dijatuhkan melalui sistem pemidanaan yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan.

Proses hukum yang berkeadilan terhadap pelaku penyiksaan, selain bentuk komitmen Negara dalam mempertanggungjawabkan dilanggarnya hak untuk tidak disiksa yang merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, merupakan realisasi komitmen Indonesia kepada dunia internasional sebagai Negara yang telah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan melalui UU Nomor 5 tahun 1998. Maka dari itu, KontraS mendesak:

  1. Kapolri menginstruksikan kepada seluruh Kapolda, Kapolres hingga Kapolsek untuk melakukan kontrol, pengawasan dan evaluasi secara menyeluruh kepada para anggotanya, agar tidak terjadi kembali tindakan penyiksaan dan penggunaan kekuatan yang berlebihan dalam bertugas. Serta meminta menindak tegas secara pidana bagi setiap anggota Polri yang diduga melakukan penyiksaan, supaya dapat diproses melalui mekanisme peradilan umum;
  2. Kapolda Kalimantan Timur memerintahkan Direktur kriminal umum Polda Kaltim agar segera melakukan penyidikan terhadap seluruh aparat kepolisian yang diduga terlibat dalam peristiwa penyiksaan terhadap Herman di Polresta Balikpapan, termasuk atasan komando yang memerintahkan, membiarkan, ataupun gagal mengawasi bawahannya. Tidak terkecuali melakukan pemeriksaan kepada Kasat Reskrim dan Kapolresta Balikpapan;
  3. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia segera mendalami peristiwa dugaan penyiksaan yang terjadi, dengan cara melakukan pemeriksaan dan peninjauan di tempat kejadian;
  4. Kompolnas RI melakukan monitoring dan pengawasan perihal upaya penindakan terhadap para terduga pelaku penyiksaan agar penyelidikan/penyidikan yang dilakukan dapat berjalan secara akuntabel dan transparan.

 

 

Jakarta, 08 Februari 2021
Badan Pekerja KontraS

 

Fatia Maulidiyanti
Koordinator

[1] Berdasarkan pemantauan KontraS, selama tiga bulan terakhir terdapat 9 kasus tewasnya tahanan polisi baik karena penyiksaan (Herman), kekerasan sesama tahanan, masalah kesehatan, sampai bunuh diri. Hal ini merupakan dampak dari semangat pemidanaan oleh Polri yang tidak diimbangi dengan transparansi dan akuntabilitas yang jelas.

[2] Dalam kasus tewasnya Herman, Kasat Reskrim Polresta Balikpapan menyatakan bahwa ayah korban sudah ikhlas dan tidak menyatakan tidak akan menuntut pihak manapun. Narasi seperti ini kerap muncul dalam kasus-kasus penyiksaan sebagai upaya untuk menghindari pertanggungjawaban pidana. Padahal, dalam konteks pelanggaran pidana yang mengandung relasi antara negara dengan pelanggar hukum, maka proses hukum wajib dilakukan bukan hanya untuk korban, melainkan juga demi kepentingan umum.

Lampiran 

Kronologi Peristiwa

Menurut informasi yang kami dapatkan, pada hari Rabu, 2 Desember 2020 sekitar pukul 21.00 WITA, Herman didatangi oleh 3 orang pria tidak dikenal yang diduga dari anggota kepolisian Polresta Balikpapan di kediamannya, tak berselang lama kemudian Herman diamankan dan dibawa masuk ke sebuah mobil, menurut pihak keluarga, dugaan Herman dijemput paksa oleh anggota kepolisian Polresta Balikpapan atas pencurian ponsel pintar dengan sejumlah barang bukti.

Di hari berikutnya, Kamis, 3 Desember 2020, sekitar pukul 22.00 WITA, keluarga Herman menerima telepon dari Polresta Balikpapan, yang menyampaikan bahwa Herman meninggal dunia, di saat yang sama pihak keluarga pun mendatangi Polresta Balikpapan, sesampainya di sana, salah satu anggota Polresta Balikpapan menjelaskan bahwa sebelum kematiannya Herman sempat bolak-balik kamar mandi untuk buang air dan muntah-muntah, kemudian menghembuskan nafas terakhir dalam perjalanan menuju rumah sakit. Pihak keluarga merasa janggal dengan kematian Herman, mereka menduga Herman disiksa selama ditahan di Polresta Balikpapan, kemudian mereka meminta kepada pihak kepolisian untuk melihat jenazah Herman di rumah sakit, namun pihak kepolisian mempersulit dengan alasan tidak ada dokter yang berjaga karena sudah lewat tengah malam. Pihak kepolisian sempat mengatakan kepada keluarga Herman, bahwa jenazah akan diurus oleh polisi, namun keluarga menolak karena ingin mengebumikannya.

Pada tanggal 4 Desember 2020, pukul 08.30 WITA, pihak keluarga menerima jenazah Herman dari kepolisian, saat itu pun keluarga dikagetkan dengan kondisi jenazah Herman karena terdapat luka dan lebam yang tersebar di paha hingga jari kaki Herman, kulit tubuh bagian belakang menghitam disertai luka goresan yang terbuka, dan telinga kiri yang nyaris putus.

Di pertengahan bulan Januari pihak keluarga melaporkan kasus kematian Herman ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Samarinda, dan pada tanggal 4 Februari LBH Samarinda mengajukan pengaduan resmi ke Direskrimum Polda Kalimantan Timur dengan tembusan Propam Polda Polda Kalimantan Timur. Hingga saat ini sudah ada 6 anggota Polresta Balikpapan yang sedang menjalani proses pemeriksaan oleh Propam Polda Kalimantan Timur.