Momentum Hari Kebenaran: Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Harus Dilaksanakan Secara Efektif dan Menyeluruh

Setiap tahunnya, pada 24 Maret, komunitas internasional memperingati Hari Internasional untuk Hak atas Kebenaran tentang Pelanggaran HAM Berat dan Martabat Korban sebagai bentuk penghormatan terhadap pembela hak asasi manusia di seluruh dunia. Peringatan ini juga sekaligus menjadi momentum bagi masyarakat sipil dan aktivis HAM untuk mendesak Pemerintah Indonesia agar segera mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat secara efektif dan menyeluruh. Momentum Hari Kebenaran Internasional harus menjadi pengingat bagi pengemban kewajiban, yaitu Negara, tentang pentingnya melakukan pengungkapan kebenaran sebagai salah satu proses penyelesaian yang diikuti dengan mekanisme penegakan hukum dan pemulihan terhadap harkat dan martabat korban beserta keluarganya.

Negara wajib menyiapkan kebijakan yang strategis untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran (truth), keadilan (justice), dan pemulihan (reparation). Proses yang menyeluruh, dengan prinsip tidak ada jalan tunggal, harus ditempuh oleh Pemerintah Indonesia untuk memastikan terpenuhinya hak-hak korban dan/atau keluarganya yang terenggut akibat peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu. Oleh karena itu, Negara perlu menjamin proses penyelesaian dilakukan dengan memanfaatkan seluruh mekanisme yang ada yakni melalui penegakan integritas Indonesia sebagai negara hukum, pengungkapan kebenaran dan pengakuan, pemulihan martabat dan penghidupan korban, pendidikan dan dialog publik dalam rangka menuju rekonsiliasi, pencegahan keberulangan melalui reformasi kebijakan dan kelembagaan, dan partisipasi aktif korban dan penyintas dalam proses pengambilan keputusan.

Presiden Joko Widodo dalam pidatonya pada Hari HAM Internasional tahun lalu menyatakan akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan dan diakui oleh komunitas internasional untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia. Sebagai perwujudan dari komitmen tersebut, Pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD, juga berencana akan membentuk kembali Komisi Pengungkapan Kebenaran sebagai salah satu proses yang ditempuh untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat tanpa mengabaikan mekanisme-mekanisme lainnya, baik yudisial maupun non-yudisial.

Namun demikian, hingga hari ini belum ada satu langkahpun yang diambil oleh Pemerintah yang sesuai dengan standar-standar universal yang diterima oleh komunitas HAM internasional. Perkembangan terakhir, Direktorat Jenderal HAM, Kementerian Hukum dan HAM RI pada 12 Maret 2021 lalu menyampaikan rencananya untuk membahas kembali Rancangan UU KKR serta Ranperpres UKP yang berfokus pada pemulihan korban pelanggaran HAM berat (http://ham.go.id/2021/03/12/dirjen-ham-rapat-bersama-wamenkumham-dan-menkopolhukam-bahas-perkembangan-terkini-penanganan-dugaan-pelanggaran-ham-berat/). Sayangnya, proses yang sedang berlangsung di Kemenkumham tersebut cenderung tidak terbuka (transparan) dan mengabaikan partisipasi masyarakat sipil dan korban.

Mengacu pada Laporan Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) beberapa waktu lalu, terdapat 15 kasus pelanggaran HAM berat yang hingga kini belum ditindaklanjuti secara menyeluruh oleh Pemerintah Indonesia. Di antara kasus-kasus tersebut, ada yang sudah diselidiki oleh Komnas HAM – namun belum ditindaklanjuti proses hukumnya oleh Jaksa Agung – dan terdapat kasus-kasus yang belum ditangani sama sekali. Kelompok masyarakat sipil menilai bahwa Pemerintah Indonesia harus mengambil langkah-langkah yang akuntabel, transparan, dan partisipatoris untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi. Selain itu, pemerintah perlu memastikan bahwa proses yang ditempuh telah memenuhi standar dan kualifikasi umum yang diatur dalam berbagai instrumen HAM internasional dalam menyelesaikan pelanggaran HAM berat.

Masyarakat sipil menilai proses pembahasan Ranperpres UKP pemulihan yang dilakukan oleh Pemerintah selama ini tidak terbuka dan berpotensi mengabaikan hak-hak korban, serta bertentangan dengan prinsip-prinsip pemenuhan hak atas pemulihan korban. Ada sejumlah catatan yang perlu direfleksikan oleh Pemerintah dalam membahas Ranperpres UKP pemulihan yang tengah berlangsung:

Pertama, proses pembahasan Ranperpres UKP pemulihan harus dilakukan dengan terbuka, transparan, akuntabel, serta melibatkan partisipasi masyarakat sipil, termasuk kelompok korban pelanggaran HAM berat. Hal ini untuk memastikan substansi mekanisme pemulihan tidak mengenyampingkan hak-hak korban atas kebenaran dan keadilan, yang telah dijamin di dalam prinsip hukum HAM internasional.

Kedua, pembentukan mekanisme pemulihan bagi korban harus ditempatkan dalam kerangka pelaksanaan kewajiban Negara untuk memenuhi hak korban atas reparasi yang efektif dan menyeluruh, yang dilakukan bersamaan dengan mekanisme penyelesaian lainnya yaitu pengungkapan kebenaran dan proses penegakan hukum yang adil, serta reformasi kelembagaan untuk mencegah keberulangan.

Ketiga, mekanisme pemulihan korban pelanggaran HAM berat harus mengacu kepada setidak-tidaknya lima elemen hak atas pemulihan yang diakui oleh komunitas internasional. Kelima elemen tersebut adalah:

  1. Hak korban atas kompensasi atas segala bentuk penderitaan yang dialaminya, yang mencakup kerugian fisik dan mental, materiil maupun immateriil.
  2. Hak korban atas restitusi untuk mengembalikan harkat, martabat, serta hak-hak korban yang dilanggar, seperti pemulihan hak-hak sipil dan politik korban serta pemulihan hak-hak ekonomi, sosial, dan budayanya.
  3. Hak korban atas rehabilitasi atas penderitaan yang dialami, seperti dalam bentuk pemenuhan layanan sosial dan hukum, serta bantuan medis dan psikologis kepada korban dan/atau keluarganya.
  4. Adanya kepuasan (satisfaction) yang dapat dirasakan secara langsung oleh korban mencakup pengakuan dan/atau permintaan maaf secara resmi dari Negara, pemulihan reputasi korban, memorialisasi, pengungkapan peristiwa secara utuh, dll.
  5. Adanya jaminan ketidakberulangan sebagai bentuk “pemulihan moral” untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM serupa di masa mendatang, antara lain melalui kebijakan pengarusutamaan HAM, supremasi hukum, pendidikan HAM bagi aparatur negara dan publik, serta reformasi sektor keamanan.

Keempat, kebijakan pemulihan harus ditempatkan secara komplementer sebagai bagian dari mekanisme penyelesaian melalui pendekatan keadilan transisional (transitional justice) yang meliputi mekanisme penyelesaian dengan jalan yudisial dan non-yudisial mencakup pengungkapan kebenaran, proses penegakan hukum, dan reformasi institusional. Artinya, keberadaan kebijakan pemulihan tidak boleh menegasikan proses penyelesaian yang lainnya.

Momentum Hari Kebenaran Internasional tahun ini harus menjadi titik tolak bagi Pemerintah Indonesia untuk segera mengambil langkah-langkah yang tepat, strategis, dan menyeluruh untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Langkah penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat yang menyeluruh harus dimulai sesegera mungkin, karena dalam waktu seperempat abad ke depan, eksistensi dan legitimasi negara akan sangat bergantung pada sejauh mana pemerintahnya mampu menyelesaikan persoalan masa lalunya.  

Jakarta, 24 Maret 2021

Anggota Koalisi untuk Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK)

Unsur Organisasi Masyarakat Sipil:

KontraS, ELSAM, AJAR, IKOHI, KontraS Surabaya, Pamflet Generasi, Indonesia untuk Kemanusiaan, Paduan Suara Dialita, SKP-HAM Palu Sulteng, KontraS Aceh, Rumah Belajar Poso, SPKP HAM Aceh.

 

Unsur Individu:

Kamala Chandrakirana, Pratiwi Febry, Evie Permata Sari, Utjikowati, Roichatul Aswidah, Nancy Sunarno, Sri Lestari Wahyuningroem, Miryam Nainggolan.