Kembali Berulang: Mengecam Pembungkaman Kebebasan Berekspresi oleh Aparat terhadap Aktivis Papua di Semarang

Aksi pembungkaman pendapat orang Papua oleh aparat keamanan Republik Indonesia kembali terjadi. Pada hari Rabu, 7 April 2021 kemarin, dalam merespon aksi Penolakan Kontrak Karya PT. Freeport Indonesia dengan isu utama Tutup Freeport, Penolakan Otonomi Khusus jilid 2 (Otsus) Papua, dan menuntut penentuan nasib sendiri (right self-determination) di Semarang tepatnya di patung kuda, peleburan Universitas Diponegoro (UNDIP), sebanyak 27 (dua puluh tujuh) orang peserta aksi Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan 1 (satu) orang pendamping LBH Semarang, Ignatius Rhadite direpresi dan ditangkap paksa oleh aparat kepolisian dari Polrestabes Semarang.

Dalam konferensi pers yang diselenggarakan oleh koalisi masyarakat sipil pada 8 April 2021 kemarin, Ney, perwakilan dari AMP KK Semarang mengatakan pada 08.30 WIB pihak Kepolisian sudah memadati titik aksi. Pada 08.45 Kepolisian mendatangi Negosiator aksi agar massa aksi membubarkan diri. Karena menolak membubarkan diri, 100 lebih Personel Kepolisian bersama sekitar 12 Personil TNI mengerumuni 40 massa aksi. Koordinator aksi kemudian mengarahkan massa aksi untuk masuk ke dalam tali rafia agar tetap aman. Pada 09.50 Kepolisian semakin represif, empat poster milik massa aksi dirampas. Karena massa aksi masih memilih bertahan, pada 10.50 Kepolisian mulai menarik paksa massa aksi, dan mengangkut massa aksi ke dalam mobil dalmas. Tidak hanya massa aksi, Pengacara publik LBH Semarang, Ignatius Rhadite yang bertugas untuk mengadvokasi massa aksi juga diangkut ke dalam mobil dalmas.

Ignatius Rhadite mengatakan bahwa peserta aksi ditangkap dan diangkut paksa di tengah melakukan aksi damai. Penangkapan itu sempat diprotes olehnya yang sedang melakukan tugas pendampingan hukum, namun dirinya mengaku malah ditarik paksa oleh aparat kepolisian dan mendapatkan sikutan di leher. Seolah tidak cukup, beberapa orang mengalami serangan fisik dan perusakan alat aksi. Aksi sewenang-wenang itu berlanjut sampai di kantor Polrestabes Semarang. Seluruh massa aksi dipaksa menunjukkan identitas diri dan melakukan swab test. Kepolisian tetap menahan massa aksi, padahal massa aksi yang mayoritas adalah Mahasiswa harus melakukan kuliah online pukul 13.00. Tidak terima, hak atas pendidikan nya diganggu oleh Kepolisian, massa aksi semakin marah dan memaksa untuk memberanikan diri pergi. Akhirnya setelah perdebatan panjang massa aksi dibebaskan pada hari yang sama jam 12.53 WIB rabu, 7 april 2021.

Perwakilan AMP lainnya, dalam kesempatan yang sama, menuturkan kepolisian berdalih jika alasan represi tersebut dilakukan karena adanya aturan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PKM) Pemerintah Kota Semarang dalam meminimalisir penyebaran Covid-19. Namun, menurut perwakilan tersebut, alasan tersebut bertentangan dengan fakta bahwa pihak kepolisian tidak pernah menerbitkan Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP) terhadap setiap pemberitahuan aksi yang disampaikan oleh AMP.

Apa yang terjadi di Semarang pada 7 April 2021 memperbanyak catatan kekerasan yang dilakukan oleh negara terhadap orang Papua dalam waktu belakangan. Sebelumnya, pada 8 Maret 2021, aksi demo Hari Perempuan Internasional (IWD) di Kota Malang yang dihadiri oleh mahasiswa Papua juga diwarnai kekerasan oleh aparat. Aksi kekerasan lain yang terjadi di Jakarta menimpa 2 (dua) anggota AMP yang ditangkap pada 3 maret 2021 karena demonstrasi yang mereka lakukan pada Januari tahun 2021. Di Papua sendiri, kekerasan dan pembungkaman kebebasan berpendapat terjadi dalam derajat yang lebih tinggi. Paling baru pada 27 Maret 2021 lalu di Jayapura, beberapa orang ditangkap hanya karena terlibat dalam penyelenggaraan seminar nasional menyoal pelanggaran HAM di Papua.

Ross Tapsell dalam penelitiannya mengenai kerja media di Indonesia, melihat adanya model pembungkaman kebebasan berpendapat yang khas di Papua dalam kerangka otoritarianisme sub-nasional, atau otoritarianisme yang berlaku khusus di satu wilayah, yakni Papua. meskipun kondisi akhir ini oleh banyak akademisi Indonesia disebut sedang mengalami gelombang otoritarianisme, kekerasan dan model pembungkaman kebebasan berpendapat mesti dilihat dalam kerangka yang sama, yakni otoritarianisme sub-nasional. Malahan, dalam kasus kekerasan dan kebebasan berpendapat ini, otoritarianisme tersebut tidak hanya berlaku dalam cakupan wilayah, tapi juga berlaku secara diskriminatif terhadap orang-orang Papua. Sehingga, membicarakan persoalan kekerasan di dan terhadap orang Papua tidak bisa hanya melihat aspek kekerasan dan pelanggaran HAM. 

Selain persoalan klasik tentang proses aneksasi dan demokrasi, koalisi melihat kekerasan yang dilakukan oleh aparat terjadi dikarenakan reformasi kepolisian dan militer berjalan di tempat. Ini terbukti dengan bagaimana kultur impunitas masih terus terjadi dengan tidak adanya proses hukum kepada aparat yang melanggar hukum. Alih-alih menyelesaikan permasalahan Papua secara damai dan membangun dialog yang bermartabat, Negara lebih memilih menggunakan pendekatan keamanan secara terus menerus.

Berbagai aksi damai penyampaian pendapat yang dilakukan oleh orang Papua, termasuk oleh mahasiswa Papua di Semarang pada 7 April 2021 seharusnya mendapatkan perlindungan. Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Tentang HAM, Undang-Undang Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, maka dari itu koalisi menilai tindakan represif dan penangkapan secara paksa terhadap mahasiswa Papua tersebut merupakan tindakan pembungkaman terhadap Orang Papua.

Aksi sewenang-wenang yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap mahasiswa Papua di Semarang sendiri telah melanggar Perkap No. 1/2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian pendapat di Muka Umum dan Perkap No. 1/2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian. Pelanggaran ini melecehkan semangat Kapolri Listyo Sigit Prabowo yang digembar-gemborkan melalui slogan “PRESISI” yang konon ingin mengedepankan aspek humanisme dalam konteks tindakan-tindakan kepolisian.

Untuk itu, berdasarkan berbagai catatan tersebut, koalisi masyarakat sipil mendesak kepada:

  1. Presiden Joko Widodo untuk menempuh jalan damai dengan cara-cara dialog yang bermartabat melibatkan seluruh aktor yang terlibat dalam perjuangan Papua selama ini dan memerintahkan kapolri untuk menilai kembali (review) berbagai prosedur tetap kepolisian, untuk memastikan kesesuaian dan kelayakannya dengan HAM, serta kebutuhan aktual kepolisian, termasuk perlunya pembentukan sejumlah panduan teknis untuk membantu pelaksanaan tugas kepolisian.
  2. Kapolri perlu melakukan evaluasi terhadap kurikulum dan sistem pendidikan untuk seluruh anggotanya, yang menjamin dipahaminya prinsip dan instrumen HAM dalam kerja-kerja kepolisian.
  3. Kapolri untuk memeriksa Kapolrestabes Semarang dan jajaran dibawahnya atas kejadian represifitas terhadap peserta aksi damai di Semarang dan memberikan sanksi tegas kepada oknum-oknum aparat yang terlibat melakukan kekerasan;

Jakarta, 9 April 2021


Koalisi Masyarakat Sipil: LBH Semarang, ELSAM, Imparsial, KontraS, LBH Jakarta


Untuk selanjutnya dapat menghubungi:

  1. Ignatius Rhadite – LBH Semarang
  2. Muhammad Azka Fahriza – ELSAM
  3. Husein Ahmad – Imparsial
  4. Andi Muhammad Rezaldi – KontraS
  5. Saleh Al Ghifari – LBH Jakarta