Rancangan Peraturan Presiden Republik Indonesia Tentang Unit Kerja Presiden Untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Melalui Mekanisme Nonyudisial (RPerpres UKP-PPHB) 2021

Upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang berat di masa lalu tak kunjung menemukan titik terang. Meskipun sudah lima Presiden berganti, akan tetapi upaya penyelesaiannya masih menemui berbagai kendala. Masyarakat yang menjadi korban peristiwa pelanggaran HAM berat tentunya membutuhkan penanganan segera, serta generasi bangsa berhak atas transparansi sejarah. Proses yang menyeluruh, dengan prinsip tidak ada jalan tunggal, harus ditempuh oleh Pemerintah Indonesia untuk memastikan terpenuhinya hak-hak korban dan/atau keluarganya yang terenggut akibat peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu.

Negara dalam hal ini perlu menjamin proses penyelesaian dilakukan dengan memanfaatkan seluruh mekanisme yang ada yakni melalui penegakan integritas Indonesia sebagai negara hukum, pengungkapan kebenaran dan pengakuan, pemulihan martabat dan penghidupan korban, pendidikan publik, pencegahan keberulangan melalui reformasi kebijakan dan kelembagaan, dan partisipasi aktif korban dan penyintas dalam proses pengambilan keputusan. Pemerintah selama ini terus menggaungkan wacana rekonsiliasi atau jalur non-yudisial tanpa dibarengi dengan wacana solid untuk mengedepankan kebutuhan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat.

Presiden Joko Widodo dalam pidatonya pada Hari HAM Internasional tahun lalu menyatakan akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan dan diakui oleh komunitas internasional untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia. Sebagai perwujudan dari komitmen tersebut, Pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD, juga berencana akan membentuk kembali Komisi Pengungkapan Kebenaran sebagai salah satu proses yang ditempuh untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat tanpa mengabaikan mekanisme-mekanisme lainnya, baik yudisial maupun non-yudisial.

Namun demikian, hingga hari ini belum ada satu langkah yang diambil oleh Pemerintah yang sesuai dengan standar-standar universal yang diterima oleh komunitas HAM internasional. Kemudian pada 12 Maret 2021 lalu Direktorat Jenderal HAM, Kementerian Hukum dan HAM RI dalam rapatnya menyampaikan rencana untuk membahas kembali Rancangan UU KKR serta Ranperpres UKP yang berfokus pada pemulihan korban pelanggaran HAM berat (http://ham.go.id/2021/03/12/dirjen-ham-rapat-bersama-wamenkumham-dan-menkopo lhukam-bahas-perkembangan-terkini-penanganan-dugaan-pelanggaran-ham-berat/). RUU KKR telah masuk ke dalam prolegnas 2020 melalui jalur kumulatif dan telah diadakan sejumlah pembahasan terkait naskah akademik maupun draftnya yang cenderung dikesampingkan. Dirjen HAM dalam rapatnya melakukan koordinasi dengan

Wamenkumham dan Kemenkopolhukam menyimpulkan bahwa Ranperpres UKP-PPHB perlu diprioritaskan dan diakselerasi pembahasannya, agar presiden segera menandatanganinya. Dengan kata lain, pembahasan Ranperpres UKP-PPHB ini akan mengenyampingkan RUU KKR yang seharusnya lebih diprioritaskan karena masuk ke dalam prolegnas. Sayangnya, proses yang sedang berlangsung di Kemenkumham tersebut juga sulit diakses masyarakat, terutama korban.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) memberi perhatian khusus terhadap narasi Dirjen HAM mengenai rencana penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu melalui jalur non-yudisial sebagaimana yang telah terkonsep dalam Ranperpres UKP-PPHB. Wacana rekonsiliasi tak lain tak bukan hanya dimaknai sebagai bentuk lain “cuci tangan” yang dilakukan oleh beberapa terduga pelaku pelanggaran HAM masa lalu yang saat ini masih menduduki jabatan publik yang strategis. Selain itu, wacana rekonsiliasi versi pemerintah juga berpotensi melanggengkan praktek impunitas karena tidak mengedepankan aspek akuntabilitas dan juga partisipasi keluarga korban.

KontraS mencatat semenjak tahun 2015, melalui beberapa kali pernyataan Jaksa Agung, H.M Prasetyo, penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu akan diselesaikan dengan jalan pembentukan komite rekonsiliasi yang terdiri dari unsur Komnas HAM, Kejaksaan Agung, Polri, TNI dan Kemenkumham. Perihal ini patut disayangkan karena tim gabungan ini menyimpangi prinsip akuntabilitas dan juga keterbukaan dalam proses penyelesaiannya yang seharusnya bersifat inklusif dengan melibatkan partisipasi korban dan keluarga korban serta masyarakat sipil. Kemudian, kehadiran lembaga negara yang bertugas menjadi penegak HAM dikerdilkan melalui kompromi pejabat publik dan juga pemberlakuan prinsip-prinsip yang tidak mengedepankan standar HAM dalam konteks keadilan transisi.

Secara keseluruhan, Rancangan Peraturan Presiden Republik Indonesia Tentang Unit Kerja Presiden Untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Melalui Mekanisme Non Yudisial (RPerpres UKP-PPHB) ini kurang berperspektif pada korban dan mencoreng rasa kemanusiaan dan keadilan. Pasalnya, dalam mewujudkan keadilan transisi baik dalam proses yudisial dan proses non-yudisial, penyelesaian kasus pelanggaran ham berat masa lalu tidak boleh bertolak belakang pada hak atas kebenaran, hak atas keadilan, hak atas reparasi, dan jaminan ketidak-berulangan kekerasan. Untuk itu, KontraS telah menyusun kertas posisi yang berisi catatan kritis KontraS terhadap kekurangan dalam materi muatan dalam Ranperpres UKP-PPHB ini, diantaranya:

Pertama, secara keseluruhan dilihat dari segi penegakan hukum dikesampingkan. Dalam hal ini, korban memiliki hak atas kebenaran. Mereka berhak untuk tahu mengenai kebenaran di balik pelanggaran HAM yang sudah terjadi. Tetapi, kenyataannya, pemerintah lebih mengutamakan rekonsiliasi tanpa dibarengi dengan pengungkapan kebenaran. Sejak tahun 2015, pemerintah sering menekankan upaya pemulihan dan rekonsiliasi tanpa ada akuntabilitas untuk mengungkapkan fakta kebenaran tentang pelanggaran HAM berat kepada korban dan masyarakat. Penolakan untuk menyuarakan kebenaran tentang apa yang terjadi secara berani dan jujur menjadi salah satu faktor utama mengapa hal ini

terulang kembali. Upaya pengungkapan kebenaran yang dapat dilakukan pemerintah dapat mencangkup pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), membentuk komisi penyelidikan, investigasi oleh Komisi HAM, misi pencarian fakta, investigasi kejahatan, dan penyidikan yang diinisiasi oleh pemerintah lainnya. Pengungkapan kebenaran terhadap apa yang terjadi di masa lampau dapat digunakan sebagai dasar pengembangan hukum dan komunitas agar tidak terjadi keberulangan di masa mendatang;

Kedua, dari segi pemulihan, tidak secara detail dibahas dalam Rperpres UKP-PPHB ini. Pemulihan korban diartikan hanya sebagai pemberian bantuan sosial materialistik yang sifatnya sekali selesai, bukan pemulihan menyeluruh. Mekanisme pemulihan korban pelanggaran HAM berat harus mengacu kepada setidak-tidaknya lima elemen hak atas pemulihan yang diakui oleh komunitas internasional. Kelima elemen tersebut yaitu:

  1. Hak korban atas kompensasi atas segala bentuk penderitaan yang dialaminya, yang mencakup kerugian fisik dan mental, materiil maupun immateriil.
  2. Hak korban atas restitusi untuk mengembalikan harkat, martabat, serta hak-hak korban yang dilanggar, seperti pemulihan hak-hak sipil dan politik korban serta pemulihan hak-hak ekonomi, sosial, dan budayanya.
  3. Hak korban atas rehabilitasi atas penderitaan yang dialami, seperti dalam bentuk pemenuhan layanan sosial dan hukum, serta bantuan medis dan psikologis kepada korban dan/atau keluarganya.
  4. Adanya kepuasan (satisfaction) yang dapat dirasakan secara langsung oleh korban mencakup pengakuan dan/atau permintaan maaf secara resmi dari Negara, pemulihan reputasi korban, memorialisasi, pengungkapan peristiwa secara utuh, dll.
  5. Adanya jaminan ketidak-berulangan sebagai bentuk “pemulihan moral” untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM serupa di masa mendatang, antara lain melalui kebijakan pengarusutamaan HAM, supremasi hukum, sistem peradilan, pendidikan HAM bagi aparatur negara dan publik, serta reformasi sektor keamanan seperti intelijen, polisi dan militer.

Ketiga, melalui Rperpres UKP-PPHB, Pemerintah berpotensi menjadikan aturan ini sebagai bentuk legitimasi dalam penyelesaian kasus pelanggaran masa lalu. Pemerintah akan mengatakan pada publik bahwa kasus pelanggaran ham berat masa lalu telah diselesaikan karena korban telah mendapat bantuan material. Dalam aturan ini, terlihat minimnya political will dari Pemerintah dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat secara yudisial karena dalam aturan ini tidak digambarkan tindak lanjut untuk melakukan proses hukum bagi pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu. Meskipun sebagian kecil hal ini dapat memenuhi hak atas reparasi, namun hak atas keadilan hanya bisa didapatkan melalui pengadilan. Ketiga hak-hak ini bersifat saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan, sehingga penggunaan pemulihan korban harus dimaknai sebagai mekanisme yang bersifat komplementer dengan mekanisme Pengadilan HAM, dan tidak boleh menghilangkan kewajiban negara untuk melakukan proses yudisial yakni dengan menggelar Pengadilan HAM.

Keempat, jaminan ketidak-berulangan dari Pemerintah melalui aturan ini hanya sekedar lip service untuk menyenangkan hati korban. Pasalnya, rekonsiliasi dan pemulihan korban melalui pemberian bantuan material layaknya kompensasi sering tidak sesuai dengan

kerugian yang dialami korban jika tidak dibarengi dengan proses yudisial. Hal ini menunjukan bahwa aturan ini belum dapat secara optimal mencapai tujuannya, yakni memenuhi hak-hak korban atas kebenaran, keadilan, dan reparasi, termasuk memberikan hukuman kepada pelaku. Seperti halnya kasus Timor-Timor, pemberian kompensasi tidak sesuai dan belum mengakomodir korban, ditambah lagi pelaku tetap bebas.

Kelima, dalam rancangan rperpres ini belum diatur secara jelas mengenai sasaran korban atau keluarga korban yang berhak mendapat pemulihan. Kemudian, dalam hal ini dikhawatirkan adanya tumpang tindih data antara LPSK dan Komnas HAM terkait data korban atau keluarga korban. Muatan dalam rperpres ini cenderung tidak mengakomodir seluruh keluarga korban yang ada dan terlebih mengenai nasib pemenuhan hak/pemulihan bagi keluarga korban yang tidak terdaftar.

Keenam, perlu adanya pemisahan yang lebih tegas antara pemulihan dengan rekonsiliasi dan tidak semua kasus dapat ditempuh melalui jalur rekonisiliasi. Cara-cara rekonsiliasi di atas, yang sarat akan kepentingan para terduga pelaku yang menjelma menjadi elit politik patut untuk terus diwaspadai. Hal ini untuk menjamin bahwa kewajiban pemerintah untuk melakukan penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat tidak ditunggangi oleh kepentingan para pelaku dan mengedepankan perlindungan terhadap kepentingan korban dan keluarga korban serta menjamin bahwa tidak akan ada lagi peristiwa yang sama di masa depan. Upaya melalui kebijakan yang dicetuskan di atas juga cenderung lebih berpihak pada terduga pelaku, alih-alih kepada korban dan keluarga korban. Hal ini menyebabkan korban mendapatkan identitas korban kedua atas upaya penundaan akses keadilan (justice delayed) dengan tidak dilakukannya penyidikan oleh Kejaksaan Agung. Berkaca dari tahun 2016, digelar sebuah simposium sejarah nasional untuk tragedi 1965 sebagai upaya penyelesaian peristiwa 65 melalui jalur rekonsiliasi, dengan alasan bahwa barang bukti dan pelaku sudah sulit ditemui. Simposium ini melahirkan sebuah rekomendasi yang menyimpulkan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh negara sehingga perlu adanya permintaan maaf dan juga pemberian rehabilitasi bagi korban. Sayangnya, kesimpulan ini malah diingkari sendiri oleh Menkopolhukam saat itu, Luhut Binsar Panjaitan, yang juga menginisiasi lahirnya simposium. Luhut menegaskan bahwa keterlibatan negara dalam tragedi 1965 masih jauh sehingga negara tidak perlu meminta maaf.

Ketujuh, secara eksplisit dalam aturan ini terlihat luasnya ruang intervensi politik dalam proses penegakan hukum terhadap pelanggaran HAM berat. Pasalnya, unit kerja yang melaksanakan penanganan peristiwa pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam Rperpres UKP-PPHB ini akan disusun oleh pejabat-pejabat yang berada di lingkar kuasa dan bertanggung jawab pada presiden seperti halnya menkopolhukam dan tokoh-tokoh kenegaraan. Padahal, jika memang pemerintah berkomitmen untuk menyelesaikan pelanggaran ham berat masa lalu pemerintah perlu melibatkan partisipasi publik maupun korban di dalamnya.

Rperpres UKP-PPHB ini menjadi sebuah polemik bagi masyarakat sipil, khususnya bagi korban, penyintas maupun keluarga korban pelanggaran HAM berat di Indonesia, karena hanya akan menjadikan mereka sebagai korban lagi dengan alih-alih mendapatkan hak-hak mereka yang terampas. Dalam proses rekonsiliasi, korbanlah yang paling menderita karena

korban sebagai pihak yang paling terbebani untuk melakukan rekonsiliasi. Jalan non-yudisial bisa dikedepankan untuk terlebih dahulu memperhatikan aspek pemulihan kepada korban yang memang menjadi hal paling dasar untuk dipenuhi oleh Negara. Namun, rekonsiliasi dapat dilakukan jika proses pengungkapan kebenaran sudah diselesaikan supaya membawa rasa keadilan bagi korban. Sementara, menurut tafsir pemerintah, rekonsiliasi saat ini dikonsepkan tanpa ada pengungkapan kebenaran.

Dalam proses transisi, hak atas kebenaran (right to truth) merupakan hak yang fundamental untuk memastikan dibangunnya kembali tatanan moral, hukum, dan penyembuhan (healing) dari pengalaman traumatik masa lalu. Tujuan penataan kembali “tata moral” dan “tata keadilan” dapat diperoleh tidak hanya dari jalur pengadilan (tribunal process) karena memang jalur pengadilan merupakan mekanisme yang sangat rumit dan cenderung lebih menyasar untuk penghukuman pelaku (retributive justice) dibandingkan untuk menyasar perbaikan hak-hak korban (restorative justice). Untuk mengakomodir pemulihan terhadap korban agar supaya integral dengan agenda penyelesaian di jalur pengadilan, maka dibutuhkan mekanisme pendamping yang bisa ditempuh melalui jalur non yudisial untuk melakukan kerja-kerja pemulihan terhadap korban yang diakui secara global yakni melalui pengungkapan kebenaran.

Pengungkapan dan juga penyingkapan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu memang kerap kali membawa rasa sakit, kebencian, sakit hati dan konflik-konflik vertikal maupun horizontal di tengah masyarakat. Sehingga dibutuhkan satu keseriusan dan juga komitmen terlebih dari pemerintah sebagai bentuk pertanggungjawaban negara (state responsibility). Proses penyelesaian ini sudah jelas akan membongkar kembali memori kelam para korban, namun proses ini akan berdampak secara katarsis bagi korban untuk membantu dirajutnya jalan penyelesaian secara berkeadilan yang juga akan berdampak luas untuk jalan pengakuan (acknowledgement) negara terhadap kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang bermuara terhadap ketidak-berulangan kasus di masa mendatang.