Diskusi Publik “Menilik Draft Rancangan Peraturan Presiden tentang Pemulihan Korban”

Direktorat Jenderal HAM, Kementerian Hukum dan HAM RI pada 12 Maret 2021 lalu menyampaikan rencana untuk membahas kembali Rancangan UU KKR serta Ranperpres UKP yang berfokus pada pemulihan korban pelanggaran HAM berat(http://ham.go.id/2021/03/12/dirjen-ham-rapat-bersama-wamenkumham-dan-menkopolhukam- bahas-perkembangan-terkini-penanganan-dugaan-pelanggaran-ham-berat/). Sayangnya, proses yang sedang berlangsung di Kemenkumham tersebut sulit diakses masyarakat, terutama korban.

Mengacu pada Laporan Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) pada 1 Maret 2021, terdapat 12 kasus pelanggaran HAM berat yang hingga kini belum ditindaklanjuti secara menyeluruh oleh Pemerintah Indonesia. Masyarakat menilai bahwa Pemerintah Indonesia harus mengambil langkah-langkah yang akuntabel, transparan, dan partisipatoris untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi. Selain itu, pemerintah perlu memastikan bahwa proses yang ditempuh telah memenuhi standar dan kualifikasi umum yang diatur dalam berbagai instrumen HAM internasional dalam menyelesaikan pelanggaran HAM berat.

Supaya proses pembahasan Ranperpres UKP pemulihan yang dilakukan oleh Pemerintah tidak mengabaikan hak-hak korban, serta selaras dengan prinsip-prinsip pemenuhan hak atas pemulihan korban, untuk itu Kontras mengadakan Diskusi Publik dengan tema “Menilik Draft Rancangan Peraturan Presiden tentang Pemulihan Korban” yang diadakan pada hari Kamis, 08 April 2021. Diskusi ini dilakukan secara virtual melalui zoom cloud meeting yang disiarkan secara langsung lewat YouTube KontraS. Diskusi publik ini menghadirkan 5 pembicara yaitu Amiruddin dari Komisioner KOMNAS HAM RI, Hasto Atmojo dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Sri Lestari Wahyuningroem yang merupakan seorang Akademisi, Ir. Timbul Sinaga, M.Hum dari perwakilan Kemekumham RI, Tioria Pretty dari KontraS dan Pak Paian Siahaan dari perwakilan Keluarga Korban Penghilangan Paksa 1998 sebagai penanggap dalam diskusi ini, serta diskusi ini di moderatori oleh Dieqy Hasbi dari Tirto.

Diskusi ini digagas untuk memberikan pendidikan publik soal konsep rancangan peraturan presiden tentang pemulihan korban, mendorong keterbukaan pemerintah mengenai rancangan peraturan presiden tentang pemulihan korban, serta mendorong pertanggung jawaban negara untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM Berat Masa Lalu. Pada diskusi ini masyarakat mendorong keterbukaan pemerintah mengenai rperpres pemulihan korban yang hingga hari ini draft belum dapat diakses oleh masyarakat. Bahkan, KontraS sudah mengirimkan surat KIP ke Kemenkumham terkait draft rperpres ini. Namun, Kemenkumham menjawab bahwa Rperpres ini tidak disebarluaskan karena dikhawatirkan akan menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Disamping itu, pembahasan mengenai rperpres pemulihan korban ini tidak melibatkan partisipasi publik termasuk tidak melibatkan lembaga negara seperti halnya Komnas HAM.

Secara keseluruhan, Rperpres ini kurang berprespektif pada korban dan mencoreng rasa kemanusiaan dan keadilan. Pasalnya, dalam mewujudkan keadilan transisi baik dalam proses yudisial dan proses non-yudisial, penyelesaian kasus pelanggaran ham berat masa lalu tidak boleh bertolakbelakang pada hak atas kebenaran, hak atas keadilan, hak atas reparasi, dan jaminan ketidak berulangan kekerasan. Untuk mengakomodir pemulihan terhadap korban agar supaya integral dengan agenda penyelesaian di jalur pengadilan, maka dibutuhkan mekanisme pendamping yang bisa ditempuh melalui jalur non yudisial untuk melakukan kerja-kerja pemulihan terhadap korban yang diakui secara global yakni melalui pengungkapan kebenaran.

Pengungkapan dan juga penyingkapan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu memang kerap kali membawa konflik-konflik vertikal maupu horizontal di tengah masyarakat. Sehingga dibutuhkan satu keseriusan dan juga komitmen terlebih dari pemerintah sebagai bentuk pertanggungjawaban negara (state responsibility). Proses penyelesaian ini sudah jelas akan membongkar kembali memori kelam para korban, namun proses ini akan berdampak secara katarsis bagi korban untuk membantu dirajutnya jalan penyelesaian secara berkeadilan yang juga akan berdampak luas untuk jalan pengakuan (acknowledgement) negara terhadap kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang bermuara terhadap ketidak berulangan kasus.