Indonesia dan ASEAN Harus Menolak Kedatangan Rezim Junta Myanmar ke Jakarta

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) ingin mendesak pemerintah Republik Indonesia untuk menyatakan posisi yang kuat dalam menolak rezim militer junta Myanmar termasuk dengan kedatangan mereka ke KTT ASEAN di Jakarta yang akan dilaksanakan pada 24 April 2021. Hal ini dipercaya sebagai sebuah bentuk atas normalisasi dan menerima rezim militer Myanmar yang keji dan ancaman terhadap HAM secara keseluruhan. 

Kudeta militer yang terjadi terhadap pemerintah Myanmar yang terpilih secara demokratis, National League of Democracy (NLD) yang diduga memenangkan pemilu karena adanya pemalsuan hasil pemilu menurut rezim militer Myanmar (Tatmadaw), meskipun sedikitnya bukti yang ditemukan. Semenjak awal kudeta dilaksanakan, Tatmadaw sudah menangkap dan menahan beberapa figur politik Myanmar, termasuk Konselor Negara Aung San Suu Kyi dan Presiden Win Mwyint tanpa adanya alasan dan tuduhan yang jelas atas penangkapan dan penahanan mereka. Semenjak kudeta dilakukan, beberapa prinsip HAM telah dilanggar—penangkapan, penahanan, termasuk penyiksaan dan pembunuhan. Hal ini memperlihatkan situasi dan kondisi serius yang dihadapi oleh rakyat Myanmar. Beberapa fasilitas publik juga ikut dirusak dan dikuasi oleh militer Myanmar, dan masyarakat sipil yang ingin membelot dan tidak mematuhi aturan yang ada, dikenakan hukuman. Rezim junta Myanmar juga beberapa kali memutus koneksi internet dan arus informasi di sosial media sehingga masyarakat Myanmar tidak bisa mengakses dan bertukar informasi tentang apa yang terjadi di lapangan. Beberapa tekanan juga dilakukan rezim militer kepada orang-orang yang tidak mengikuti aturan yang ada, termasuk Perwakilan Myanmar untuk PBB.

Setelah pengumumuman tentang akan dilaksanakannya KTT ASEAN pada tanggal 24 April 2021 mendatang, ASEAN, termasuk Indonesia, mengatakan bahwa akan melakukan dialog terbuka yang akan mendiskusikan tentang situasi di Myanmar, termasuk datangnya pemimpin Tatmadaw, Min Aung Hlaing ke KTT. Hal ini menaikkan perhatian kami karena hal ini dianggap sebagai sebuah aksi implisit atas meligitimasi rezim junta militer. Padahal, aksi kolektif sejauh ini belum dicapai oleh negara anggota dikarenakan adanya perbedaan opini dan posisi diantara masing-masing anggota. Perbedaan pandangan politik atas kudeta ini juga menyebabkan belum adanya konsensus dalam menyelesaikan krisis ini. Kegagalan ASEAN dalam menanggulangi kejadian ini sangatlah jelas terlihat terhadap komitmen mereka untuk mencapai kawasan yang stabil dan damai. Kami sangat khawatir akan hasil dari KTT ini belum bisa mencapai tindakan bersama dengan segera, termasuk tindakan intervensi yang bermakna untuk membawa stabilitas bagi Myanmar.  Tindakan yang lambat ini dapat berdampak pada adanya kemungkinan ancaman bagi tidak hanya tiap negara anggota ASEAN, tetapi juga ASEAN secara keseluruhan. Ini juga dapat berdampak pada ancaman bagi demokrasi dan hak asasi manusia di kawasan. Dengan itu, kursi perwakilan Myanmar dalam KTT harus diwakilkan oleh pemerintah yang terpilih secara demokratis, dan bukan pemimpin dari kudeta militer. Kami percaya hal ini adalah langkah yang penting dan bijak bagi tiap negara anggota untuk menyetujui hal ini.

Posisi Indonesia sebagai anggota tidak tetap Dewan HAM PBB juga patut kami pertanyakan. Sebagai anggota dari Dewan ini, Indonesia sudah seharusnya mengedepankan nilai-nilai HAM atas segalanya. Karena hal ini merupakan tanggung jawab dan mandat yang harus diikuti. Indonesia harus mengikuti aturan ini dan menggunakan peran ini untuk meningkatkan atensi terhadap krisis ini. Merupakan sebuah privilej bagi Indonesia untuk memiliki kesempatan ini, karena itulah penting bagi Indonesia untuk mengambil setiap kesempatan untuk berkontribusi lebih. Tragedi di Myanmar bukan hanya persoalan domestik, tetapi juga kawasan dan internasional. Setiap pihak dan aktor harus ikut turut serta dalam menyelesaikan hal ini melalui cara apapun sampai tragedi ini berhenti. Kurangnya atensi Indonesia terhadap krisis di Myanmar baik dalam Dewan HAM, maupun ASEAN, terlihat melalui bagaimana ASEAN merespon terhadap hal ini dua bulan setelah kudeta terjadi. Respon ASEAN yang terlambat atas hal ini, memperlihatkan kepasifan ASEAN sebagai organisasi regional. Tidak hanya itu, tetapi hal ini juga seperti melupakan Deklarasi HAM ASEAN (AHRD) dan menjadikan deklarasi tersebut kurang relevan dalam implementasinya. AHRD pada dasarnya dibuat untuk memastikan keamanan di kawasan, termasuk juga setiap warna negara di dalamnya. ASEAN dapat semakin kehilangan kekuatan dan legitimasinya jika hal ini terus dilakukan.

Dalam memecahkan permasalahan di Myanmar, adalah suatu hal yang krusial bagi ASEAN untuk menunjukan kemampuan dan komitmen dalam demokrasi, HAM, dan perdamaian dan kemakmuran kawasan. Agar KTT ini menjadi wadah agar bermakna dan efektif, oleh karena itu kita meminta para pemimpin ASEAN untuk mengikuti hal – hal berikut:

  • Menolak kehadiran dari rezim junta militer yang tidak dilegitimasi sebagai perwakilan Myanmaar dalam KTT ini;
  • Memeberi tempat untuk Myanmar dalam Pertemuan Tingkat Tinggi ke pemerintah bayangan (NUG) sebagai pemerintah yang sah dan dipilih melalui demokrasi;
  • Mendirikan yang koordinasi yang baik diantara ASEAN sebagai organisasi regional dan Dewan Keamanan PBB dan Dewan HAM PBB sebagai aktor tertinggi dalam forum international untuk mengutus delegasi khusus ke Myanmar untuk secara independent mengawasi situasi dan menghentikan kekerasan serta menjadi mediator untuk menegosiasikan sebuah solusi yang menegakan demokrasi dan nilai – nilai HAM;
  • Mendukung penuh komunitas internasional untuk memberikan embargo senjata secara global ke Myanmar, Selain itu menargetkan sanksi ekonomi melawan rezim pemerintah dan mereka yang terkait dan mengacu situasi Myanmar di ICC;
  • Memastikan akses bantuan kemanusiaan dan bantuan kesehataan ke seluruh wilayah terdampak di Myanmar termasuk bantuan kemanusiaan lintas batas;
  • Menaruh keselamatan, keamanan, dan kesejahteraan masyarakat Myanmar, termasuk pencari suaka, pengungsi, dan juga Rohingya sebagai salah satu prioritasnya;
  • Mengambil tindakan yang paling substansial terhadap Myanmar, termasuk menghentikan sementara keanggotaannya di ASEAN karena gagal menegakkan prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. ASEAN hanya akan mencabut penangguhan sanksi jika rezim junta militer menerima otoritas NUG dan menempatkan dirinya di bawah NUG sebagai satu-satunya pemerintah Myanmar yang sah;
  • Bawa junta militer ke ICC sampai demokrasi pulih sepenuhnya;
  • Memperkuat kewenangan AICHR untuk menyelesaikan dan mengambil tindakan segera sesuai mandatnya. AICHR membutuhkan kekuatan yang lebih kuat untuk menangani masalah hak asasi manusia lebih lanjut.

Jakarta, April 19, 2021

Fatia Maulidiyanti
Koordinator

Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Auliya Rayyan (rae@kontras.org/+628998443242)