Surat Terbuka Dugaan Praktik Penyiksaan terhadap Anak di Polsek Sampuabalo

Perihal : Surat Terbuka Dugaan Praktik Penyiksaan terhadap Anak di Polsek Sampuabalo

Kepada Yang Terhormat,
Irjen Pol Drs Yan Sultra Indrajaya
Kapolda Sulawesi Tenggara

Di Tempat

Dengan Hormat,

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) sebelumnya telah menerima informasi, bahwa diduga telah terjadi penyiksaan yang diduga dilakukan oleh anggota Polsek Sampuabalo terhadap anak dibawah umur yakni LA (12 tahun), RN (14 tahun), dan seorang pemuda bernama Muslimin (22 tahun), ketiganya merupakan warga Desa Manuru, Kecamatan Siontapina, Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara, yang selanjutnya akan disebut sebagai korban anak dan korban.

Adapun informasi yang telah kami terima adalah sebagai berikut :

  1. Bahwa pada tanggal 2 Januari 2021,  korban anak atas nama LA ditangkap oleh Polisi dari kesatuan Polsek Sampuabalo atas dugaan melakukan pencurian handphone, laptop, dan uang tunai sebesar 100 Juta Rupiah;
  2. Bahwa pada malam hari korban anak LA dilakukan pemeriksaan dan dibawa ke  Jalan Tani Desa Kuraa oleh anggota Polsek Sampuabalo Aipda Edi Setiawan;
  3. Bahwa korban anak LA diduga mengalami penyiksaan yang dilakukan oleh Idarvi Sulation saat proses pemeriksaan. Hal ini tampak dari pengakuan korban yang menjelaskan, bahwa saat diperiksa korban mengalami tindakan penyiksaan berupa dipukul berkali-kali, ditampar, bibirnya dilempar dengan asbak besi, dan ditempelkan sebilah parang di lehernya, serta diancam akan dibunuh apabila tidak mengakui perbuatan;
  4. Bahwa Aipda Edi Setiawan memaksa korban anak LA untuk memberikan keterangan bahwa korban atas nama Muslimin terlibat dalam pencurian dalam hal memberikan handphone kepada korban anak RN, dimana RN merupakan kakak dari korban anak LA;
  5. Bahwa pada akhirnya korban anak LA terpaksa memberikan pengakuan bahwa memang benar yang memberikan handphone kepada korban anak RN adalah korban Muslimin. Pengakuan tersebut dibuat didasari karena ketakutan atas ancaman yang diterima; 
  6. Bahwa atas pengakuan yang diberikan oleh korban anak LA, kemudian korban anak atas nama RN dijemput ke Kantor Polsek Sampuabalo, dan ketika sampai disana diduga mengalami penyiksaan berupa ditampar pipi kiri dan pipi kanan menggunakan sandal jepit oleh  anggota Polsek Sampuabalo yakni Idarvi Sulastion;
  7. Bahwa kemudian korban anak RN diduga mengalami tindakan penyiksaan lainnya., yakni berupa ditendang dua kali pada bagian perut dan diancam dengan menodongkan senjata di bagian paha dan telapak tangannya, serta kepala oleh anggota Polsek Sampuabalo yakni Idarvi Sulastion dan Marwan;
  8. Bahwa korban anak RN pada akhirnya dengan terpaksa dan rasa takut atas ancaman yang diterima, kemudian memberikan pengakuan bahwa memang korban Muslimin menyerahkan handphone kepadanya;
  9. Bahwa kemudian atas pengakuan korban anak LA dan RN, korban Muslimin ditangkap oleh Polsek Sampuabalo;
  10. Bahwa korban anak LA dan RN, serta korban Muslimin terpaksa mengakui kesalahan yang tidak pernah diperbuat;
  11. Bahwa atas peristiwa ini, pada hari Jumat, tLAl 16 April 2021, pihak keluarga korban dan pendamping hukumnya telah mengajukan pengaduan ke Propam Polda dengan nomor laporan : SP2/26/IV/2021/aduan. 

Bahwa terkait dengan informasi penyiksaan yang terjadi terhadap para korban tersebut, kami menilai telah terjadi penyalahgunaan wewenang, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan maupun peraturan internal di Kepolisian sebagai berikut:

  1. Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia, Pasal 12 “Setiap Negara Pihak harus menjamin agar instansi – instansi yang berwenang melakukan suatu penyidikan dengan cepat dan tidak memihak, setiap ada alasan yang cukup kuat untuk mempercayai bahwa suatu tindak penyiksaan telah dilakukan di wilayah hukumnya”;
  2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik dalam Pasal 7: “Bahwa tidak seorang pun dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman lain yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Pada khususnya, tidak seorang pun dpaat dijadikan obyek eksperimen medis atau ilmiah tanpa persetujuan yang diberikan secara bebas.
  3. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 351 ayat (1) “Penganiyaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
  4. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP):
  • Pasal 18 Ayat (1) “Pelaksanaan tugas penangkapan, dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersnagka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa.”
  • Pasal 33 Ayat (1) “Dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat penyidik dalam melakukan penyidikan dapat mengadakan penggeledahan yang diperlukan.”

5. Peraturan Kapolri (Perkap) No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, diantaranya:

  • Pasal 5 ayat (1) “Instrumen perlindungan HAM yang perlu diperhatikan oleh setiap anggota Polri dalam melaksanakan tugas berdasarkan Pasal 27, Pasal 28 dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, meliputi: v. hak untuk tidak disiksa” Ayat (2) “Bagian dari HAM yang tidak dapat dikurang oleh siapapun dan dalam keadaan apapun (non-derogable rights) adalah: b. hak untuk tidak disiksa”;
  • Pasal 7 “Setiap anggota Polri wajib memahami instrument internasional tentang standar minimal perlindungan warga negara yang mengatur secara langsung dan tidak langsung tentang hubungan anggota Polri dengan HAM, antara lain: e. Konvensi Menentang Penyiksaan, Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat (CAT) Tahun 1984”;
  • Pasal 8 ayat (2) “Sesuai dengan prinsip menghargai dan menghormati HAM, setiap anggota Polri dalam melaksanakan tugas atau dalam kehidupan sehari-hari wajib untuk menerapkan perlindungan dan penghargaan HAM”;
  • Pasal 11 ayat (1) “Setiap petugas/anggota Polri dilarang melakukan: d. penghukuman dan/atau perlakuan tidak manusiawi yang merendahkan martabat manusia; g. penghukuman dan tindakan fisik yang tidak berdasarkan hukum (corporal punishment); j. menggunakan kekerasan/atau senjata api yang berlebihan”;

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, kami mendesak Kapolda Sulawesi Tenggara untuk segera melakukan proses hukum secara transparan dan akuntabel terhadap anggota Kepolisian yang melakukan penyiksaan serta intimidasi terhadap korban. Tidak terkecuali, apabila perbuatan pelaku tersebut terjadi atas sepengetahuan dan dalam rangka menjalankan perintah atasan sebagai anggota Polisi, maka atasan Polisi juga harus bertanggung jawab secara komando sesuai dengan hukum yang berlaku baik secara disiplin dan/atau etik, maupun pidana. Selain itu, kami juga mendesak agar dilakukan evaluasi secara menyeluruh mengenai tiadanya implementasi prinsip hak asasi manusia dalam menjalankan tugasnya sebagai anggota Kepolisian, khususnya dalam hal ini di bawah jajaran Polda Sulawesi Tenggara. Pengawasan dan evaluasi ini menjadi penting untuk diperketat, guna menghindari terulang kembali peristiwa yang sama dengan jumlah korban yang lebih banyak pada kemudian hari.

Demikian surat desakan ini kami sampaikan. Atas perhatian dan kerjasamanya, kami menyampaikan terima kasih.

Jakarta, 27 April 2021

Badan Pekerja KontraS,

Arif Nur Fikri, S.H.

Wakil Koordinator Bidang Advokasi

Tembusan:

  1. Kepala Irwasum Mabes Polri;
  2. Ketua Komnas HAM;
  3. Ketua Kompolnas RI;
  4. Ketua LPSK;
  5. Ombudsman Republik Indonesia;
  6. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). 

Klik disini nutuk melihat Kronologis selengkapnya