Surat Terbuka Pernyataan Bambang Soesatyo mengenai Penurunan Pasukan tanpa Mempertimbangkan HAM di Papua

Perihal : Surat Terbuka
Lampiran : – 

Kepada Yang Terhormat,

  1. Bambang Soesatyo, S.E., M.B.A.

Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Di Tempat
Dengan Hormat,

Melalui surat ini, kami dari berbagai organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Papua menyesalkan sekaligus mengecam, pernyataan yang Bapak sampaikan di media mengenai dorongan kepada Pemerintah untuk menurunkan aparat keamanan dengan kekuatan penuh ke Papua, tanpa mempertimbangkan aspek hak asasi manusia.

Pernyataan yang Bapak sampaikan, tidaklah mencerminkan kepribadian dan etika yang baik selaku pimpinan anggota MPR RI. Padahal secara etik, berdasarkan Keputusan MPR 2/2010 tentang Peraturan Kode Etik MPR, setiap anggota dituntut untuk juga menjunjung tinggi nilai hak asasi manusia.

Selain peraturan internal, Undang-Undang Dasar 1945 sebagai pedoman bernegara kita, juga memuat Pasal-Pasal berkaitan dengan hak asasi manusia yakni memberikan kewajiban kepada negara untuk memberikan perlindungan, penghormatan dan pemenuhan hak asasi manusia bagi setiap orang. Sehingga tidak ada alasan bagi setiap pejabat publik untuk tidak mengimplementasikan nilai ini.

Lebih lanjut, kami berpendapat pernyataan Bapak tersebut justru akan memperburuk kondisi kemanusiaan di Papua dan dikhawatirkan akan dijadikan legitimasi bagi aparat keamanan di Papua untuk bertindak sewenang-wenang dan tidak manusiawi.

Perlu Bapak ketahui, akibat dari operasi keamanan bertahun-tahun di Papua, banyak sekali tragedi hak asasi manusia yang terjadi, seperti peristiwa Wasior dan pembunuhan ketua Presidium Dewan Papua Theys Eluay pada 2001 peristiwa Wamena tahun 2003, peristiwa Paniai 2014, Pembunuhan terhadap Luther Zanambani, Apinus Zanambani dan Pendeta Yeremia pada 2020. Kemudian berbagai tragedi hak asasi manusa lainnya yang mengancam keselamatan masyarakat sipil.

Kami juga memahami bahwa yang menjadi korban tidak hanya masyarakat sipil tetapi juga aparat keamanan, termasuk insiden penembakan Kepala Badan Intelijen Nasional Daerah (Kabinda) Papua, Brigjen TNI I Gusti Putu Danny Karya Nugraha. Atas peristiwa tersebut, tentu kami juga mengutuk keras dan mendorong pihak kepolisian untuk segera mengungkap dan menangkap pelaku yang bertanggungjawab.

Namun demikian tindakan yang dilakukan oleh negara, untuk mengungkap kasus tersebut, haruslah menggunakan pendekatan criminal justice system/sistem peradilan pidana. Proses penyelidikan/penyidikan yang dilakukan nantinya wajib mengedepankan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Kami juga menyayangkan pelabelan terhadap kelompok yang dituding menembak sebagai Kelompok Separatis dan Teroris (KST) Papua.

Kemudian masih berkaitan dengan operasi keamanan di Papua, khususnya pengerahan personil TNI, sesungguhnya operasi tersebut juga patut dipertanyakan, sebab tidak ada akuntablitas dan transparansi terkait pengerahan tersebut. Padahal didasari pada UU 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, pengerahan kekuatan harus berdasarkan Keputusan Presiden. 

Tetapi, Presiden tidak pernah mengumumkan dan tidak ada satupun dokumen yang dapat diakses oleh publik. Sebelumnya Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) pernah meminta keterbukaan informasi pengerahan kekuatan kepada TNI dan Polri, tetapi tidak dijawab sebagaimana mestinya.

Bahwa berbagai rentetan kekerasan yang terjadi di Papua, membuktikan pengerahan aparat keamanan dan menggunakan cara-cara kekerasan tidak menjawab akar persoalan. Negara harusnya membaca situasi di papua dengan melihat substansi masalah. 

Merujuk temuan tim kajian LIPI tentang Papua, terdapat 4 (empat) akar masalah yang menjadi pemicu teradinya konflik kekerasan di Kawasan Papua. Pertama, marjinalisasi terhadap masyarakat Papua. Kedua, kegagalan pembangunan. Ketiga, persoalan status politik Papua. Keempat, pelanggaran hak asasi manusia. 

Alih-alih mendorong Pemerintah untuk mengerahkan kekuatan penuh ke Papua, sebaiknya Bapak selaku pimpinan MPR, mendesak Pemerintah untuk menindaklanjuti temuan LIPI tersebut dan mengupayakan cara-cara damai berupa pendekatan dialog untuk menyelesaikan akar permasalahan yang terjadi.

Upaya-upaya tersebut juga harus dibarengi dengan mengevaluasi operasi keamanan di Kawasan Papua. Sebab jika sekuritisasi terus dilakukan dan kekerasan masih terjadi maka upaya dialog juga tidak akan berhasil. 

Selain evaluasi operasi keamanan, desakan terkait keterbukaan informasi di Kawasan Papua juga harus dilakukan, sebab selama ini masyarakat sipil termasuk jurnalis sulit mendapatkan informasi mengenai kondisi kemanusiaan yang terjadi di Kawasan Papua. 

Hal penting lainnya adalah meluasnya pengungsian penduduk keluar daerah setempat ke daerah lain dan atau mengungsi ke tempat pedalaman hutan yang tidak terjangkau dari fasilitas sosial, kesehatan dan rentan terhadap pangan yang berkualitas. Situasi kemanusiaan ini harus segera mendapat perhatian negara, untuk memberikan rasa aman dan pelayanan yang layak dan memadai.

Berdasarkan uraian dan penjelasan kami di atas, kami mendesak kepada Bapak H. Bambang Soesatyo, S.E., M.B.A. selaku Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia untuk menarik pernyataan Bapak tersebut, menyatakan permohonan maaf secara terbuka kepada publik dan mendorong Pemerintah menyelesaikan akar masalah di Papua dengan cara-cara damai.

Demikian surat terbuka ini kami sampaikan. Atas perhatiannya, kami mengucapkan terima kasih.

Jakarta, 28 April 2021

Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Papua

  1. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
  2. Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Jakarta
  3. WALHI Papua
  4. Greenpeace Indonesia
  5. Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
  6. Amnesty International Indonesia
  7. SAFEnet
  8. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
  9. Yayasan Satu Keadilan
  10. Perkumpulan JUBI
  11. Imparsial, Jakarta
  12. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 

klik disini untuk melihat Surat terbuka selengkapnya