Delapan belas tahun lalu, 17 Mei 2003, aparat keamanan melakukan penyisiran dan penyerangan terhadap kampung-kampung dalam Kecamatan Bokongan. Peristiwa ini berawal saat Desa Jambo Keupok diduga menjadi basis Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dalam operasinya, anggota TNI Para Komando (PARAKO) bersama dengan Satuan Gabungan Intelijen (SGI) melakukan tindak kekerasan terhadap penduduk sipil; seperti penangkapan, penghilangan orang secara paksa, penyiksaan dan perampasan harta benda. Puncaknya terjadi pada 17 Mei 2003 sekitar pukul 7 pagi, ratusan pasukan militer membawa senjata laras panjang dan beberapa pucuk senapan mesin mendatangi desa Jambo Keupok. Semua orang dipaksa untuk keluar baik laki-laki, perempuan, tua, muda, dan anak-anak. Mereka diinterogasi sembari dipukuli dan dipopor senjata. Tidak jarang warga dipaksa mengaku sebagai anggota GAM. Akibatnya, 16 orang penduduk sipil meninggal setelah disiksa, ditembak, bahkan dibakar hidup-hidup, serta 5 orang lainnya turut mengalami kekerasan oleh aparat.
Dua hari setelahnya, Presiden Megawati mengeluarkan Keppres 28/2003 menetapkan Darurat Militer (DM) di Aceh. Keppres tersebut menjadi legitimasi bagi aparat keamanan untuk menjalankan kebijakan politik represif Negara terhadap masyarakat Aceh. KontraS Aceh mencatat terdapat sedikitnya 1.326 kasus kekerasan terhadap masyarakat sipil meliputi pembunuhan, penyiksaan, pelecehan seksual, hingga penghilangan orang secara paksa. Pada saat itu, lembaga masyarakat sipil di Aceh sempat dituduh militer berafiliasi dengan GAM dan dibungkam agar berhenti menginformasikan situasi Aceh ke dunia luar, sebagaimana hal yang sama dapat kita lihat kembali terjadi pada Papua saat ini. Meskipun status DM di Provinsi Aceh sudah dicabut, namun para korban dan keluarganya belum juga mendapatkan keadilan dan pemulihan dari Negara. Pemerintah masih gagal menghukum para pelaku dan memberi keadilan bagi para korban dan keluarganya.
Padahal penuntasan kasus adalah keniscayaan. penuntasan Tragedi Jambo Keupok bukan hanya untuk korban, tetapi juga bagi negara guna memberikan jaminan ketidakberulangan peristiwa. Namun, proses perkembangan perkara stagnan pada tahapan administratif. Berkas Jambo Keupok yang terakhir diserahkan kembali ke Jaksa Agung pada 8 Maret 2017 masih belum ada perkembangan. Lakon bolak-balik berkas penyelidikan yang dilakukan oleh Jaksa Agung dengan Komnas HAM mencerminkan nihilnya itikad untuk membantu dan memberikan arahan yang jelas dalam proses pengembalian berkas. Tindakan tersebut menunjukan tiadanya intensi negara untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Jambu Keupok.
Bertepatan dengan terjadinya Tragedi Jambu Keupok, KontraS menyerukan agar:
Jakarta, 17 Mei 2021
Badan Pekerja KontraS
Fatia Maulidiyanti
Koordinator
Narahubung: Jane Rosalina Rumpia (082175794518)