Negara Jangan Peralat Korban dan Negara Harus Selesaikan Kasus Talangsari Secara Berkualitas

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung (PK2TL) mengecam sikap Tim Balitbang Kemenkumham yang melakukan pertemuan mengatasnamakan Korban Peristiwa Talangsari tanpa berkoordinasi ataupun pernah mengundang Paguyuban secara layak. Padahal PK2TL adalah satu-satunya komunitas korban yang ada dan diakui bersama oleh Korban Talangsari 1989. Pertemuan ini dilakukan pada Kamis, 27 Mei 2021 di Aula Atas Setdakab Lampung Timur dan dihadiri oleh 16 orang, yang terdiri dari Tim Balitbang Kemenkumham, Setkab, Kodim 0429/Lamtim, Kepala Desa Rajabasa Lama, Sekretaris Desa Sidorejo, Kesbangpol Kabupaten Lampung Timur dan hanya 1 orang korban – yang mengetahui dan menyadari bahwa ia tidak bertindak mewakili PK2TL, sehingga beliau hanya menuliskan warga “Bandar Agung” dalam pertemuan tersebut.

Kami melihat bahwa drama “kucing-kucingan” yang dilakukan oleh Pemerintah ini tidak menunjukkan itikad baik untuk menyelesaikan kasus masa lalu secara bermartabat, berkeadilan dan menyeluruh. Selain memecah belah solidaritas di antara korban, Pemerintah juga seolah-olah mengklaim pertemuan yang hanya dihadiri oleh 1 orang korban tersebut telah mewakili Korban pelanggaran HAM berat talangsari Lampung 1989. Padahal kenyataannya, ia tidak diberitahu inti acara dari pertemuan tersebut dan hanya diminta untuk bercerita tentang apa yang ia alami pada saat peristiwa Talangsari 1989 hingga pemerintah memberikan sejumlah uang menggantikan gaji dan uang pensiunnya sebagai PNS.

Tindakan pemerintah yang tidak transparan dan tidak melibatkan partisipasi aktif dari korban, namun hanya mempergunakan korban untuk melegitimasi cara-cara bernyali kecil hanya demi formalitas “penyelesaian” di permukaan saja tanpa sungguh-sungguh mempedulikan substansi penyelesaian kasus masa lalu yang sebenarnya juga terlihat pada Surat Komitmen Bersama pada 16 Desember 2020 yang ditandatangani Tim Terpadu Penanganan Dugaan Pelanggaran HAM yang Berat bentukan Menkopolhukam, Pemda Provinsi Lampung dan Kabupaten Lampung Timur, serta PK2TL. Surat ini menekankan proses penyelesaian kasus dengan adanya pemulihan terhadap infrastruktur, yang mana sebenarnya menjadi hak seluruh warga Indonesia terlepas korban pelanggaran HAM atau tidak. Surat tersebut diberikan kepada korban untuk ditandatangani dalam situasi terburu-buru, dan tidak menghendaki pelibatan korban dalam menyusun kesepakatan. Bahkan, perubahan draft Surat yang disampaikan korban mengenai poin penting soal permintaan kepada Tim Terpadu untuk melakukan penyelesaian kasus Talangsari melalui mekanisme yudisial atau pengadilan HAM berdasarkan UU Pengadilan HAM justru ditolak oleh Tim Terpadu, dengan demikian tidak ada dalam Surat finalnya. Padahal kemudian praktik pemulihan dalam Surat Komitmen Bersama inilah yang kita ketahui saat ini digadang-gadang oleh Kemenkumham sebagai pilot project dari Rperpres UKP-PPHB bermasalah yang saat ini telah berada di meja Sekretariat Negara.

Tindakan-tindakan tidak transparan dan hanya memperalat korban ini harus segera dihentikan, baik bagi komunitas korban Talangsari maupun seluruh komunitas korban pelanggaran HAM berat lain dari Aceh hingga Papua. Kami memandang tindakan-tindakan terselubung memuluskan UKP-PPHB ini sangat bertentangan dengan komitmen Presiden sendiri dalam pidato Hari HAM Internasional 2020 untuk segera menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu secara menyeluruh, berkualitas dan memulihkan harkat martabat korban. Dengan demikian, tentu saja mustahil partisipasi aktif dan kritis dari korban pelanggaran HAM berat masa lalu tidak dilibatkan.

Sejenak melihat kebelakang, kami melihat bahwa tindakan-tindakan pemerintah selama ini di Talangsari sebagaimana disebut diatas dan jaminan atas ketidak berulangan peristiwa Talangsari yang dibuat Tim Terpadu dan disebutkan dalam poin 5 Surat Komitmen Bersama dengan Tim Terpadu 2020 seyogyanya telah menunjukkan bahwa Negara sebenarnya sudah mengakui Peristiwa Talangsari merupakan pelanggaran HAM berat masa lalu. Namun Direktur Instrumen HAM Kemenkumham Timbul Sinaga (dalam diskusi publik membahas UKP-PPHB yang diadakan KontraS) menyatakan tidak akan ada klausul “maaf” dari Pemerintah, namun “menyesali”. Dengan demikian jelas terlihat bahwa Pemerintah mengakui ada pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Negara tapi tidak mau mengakui dan bertanggung jawab atas kesalahan yang pernah dibuatnya.

Oleh karena itu kami mendesak :  

  1. Menkumham dan Menkopolhukam hentikan tindakan-tindakan tidak transparan dan minim partisipasi korban apalagi memperalat korban hanya untuk melegitimasi formalitas “penyelesaian” kasus yang sebenarnya semu karena bersifat dangkal dan tidak menyeluruh;  
  2. Presiden memerintahkan Jaksa Agung untuk segera melakukan penyidikan dan penuntutan kasus Talangsari 1989 melalui pengadilan HAM ad hoc. Melalui Tim Terpadu tersebut Negara telah mengakui Peristiwa Talangsari merupakan pelanggaran HAM berat masa lalu, oleh karena itu mestinya ditindaklanjuti secara yudisial sesuai dengan UU Pengadilan HAM. Bukan malah melakukan tindakan pengelabuan dengan membuat sejumlah kebijakan pemulihan yang berujung pada terjadinya impunitas terhadap kasus-kasus HAM di Indonesia;

 

Jakarta, 31 Mei 2020

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)

Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung (PK2TL)

Narahubung: +62 812-8585-7871 Syahar Banu (KontraS)

          +62 853-6641-8500 Edi Arsadad  (PK2TL)