Warga lokal Aceh kembali menunjukan nilai-nilai adatnya dalam mewujudkan respon kemanusiaan secara konkrit bagi pengungsi Rohingya yang terdampar. Meski nelayan tidak melaut karena hari Jumat, warga lokal di Desa Kuala Simpang Ulim, Aceh memberi mereka makanan dan minuman dari jarak jauh. Masyarakat sipil sepenuhnya mengapresiasi tindakan solidaritas ini dan mengajak berbagai pihak untuk turut serta ambil bagian dalam upaya perlindungan pengungsi bersama dengan warga Aceh.
Pada hari Jumat, 4 Juni 2021, 81 pengungsi Rohingya ditemukan terdampar di Pulau Idaman, Desa Kuala Simpang Ulim, Kabupaten Aceh Timur. Pendataan awal menunjukan terdapat 59 perempuan dalam rombongan tersebut dan setidaknya 11 anak-anak. Data ini perlu diverifikasi seiring dengan identifikasi dan verifikasi yang harus segera dilakukan. Kapal mereka rusak selama beberapa hari, dan setidaknya 8 orang diketahui meninggal di perjalanan.
Kondisi pengungsi Rohingya di manapun semakin memprihatinkan, termasuk di kamp pengungsian. Berdasarkan informasi yang diterima, 81 orang yang mayoritas adalah perempuan tersebut berasal dari kamp pengungsian di Bangladesh. Mereka mulai berlayar sejak 11 Februari 2021 yang kemudian ditolak oleh beberapa negara termasuk India dan Bangladesh saat mereka mencoba kembali ke sana. Setelah berbulan-bulan, akhirnya mereka berlabuh di Indonesia. Perjalanan yang ditempuh pengungsi kerap bersinggungan dengan bahaya termasuk penipuan oleh penyelundup manusia, perdagangan manusia, kekerasan, cuaca ekstrim, dan kelaparan. Tak jarang, anak-anak pun turut serta dalam perjalanan ini.
Keputusasaan terkait masa depan dan hilangnya martabat pengungsi sebagai manusia kerap menjadi alasan bagi mereka untuk menempuh perjalanan yang berbahaya dan menjadi korban dari tindakan para penyelundup manusia. Sayangnya, jalur melalui penyelundupan manusia kerap menjadi opsi satu-satunya yang tersedia bagi para pengungsi. Belum ada jalur aman yang dapat ditempuh.
Pulau Idaman di Aceh cukup terpencil dan tidak berpenghuni sehingga akses terbatas termasuk makanan, listrik, dan fasilitas kesehatan. Hingga saat ini mereka belum diizinkan untuk mendarat di daratan terdekat.
Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri secara jelas mengatur mengenai penyelamatan pengungsi yang ditemukan di laut. Perhatian khusus juga diberikan kepada perempuan dan anak-anak. Penanganan pengungsi adalah penanganan kolaboratif. Para warga Aceh yang merupakan bagian dari koalisi masyarakat sipil telah memiliki beragam pengalaman dalam penyelamatan. Pembelajaran dan praktik baik ini menjadi modal bagi penyelamatan pengungsi saat ini. Kondisi saat ini telah kembali memanggil kita semua.
Dengan kondisi pandemi Covid-19 koalisi organisasi masyarakat sipil mengapresiasi penyelenggaraan tes Covid-19 kepada pengungsi yang diselenggarakan secara koordinatif dan kolaboratif antara lembaga internasional dan Dinas Kesehatan setempat.
Sejalan dengan pernyataan pemerintah Indonesia dalam KTT ASEAN bahwa Indonesia memiliki pendekatan kemanusiaan dalam penanganan pengungsi dan kedudukan Indonesia sebagai anggota Dewan Hak Asasi Manusia PBB, maka Koalisi Masyarakat Sipil memberikan rekomendasi kepada Pemerintah Indonesia sebagai berikut:
pemanfaatan fasilitas penampungan yang sudah tersedia serta memadai, setidaknya pada dua lokasi di Aceh. Salah satunya adalah di BLK Lhokseumawe.