Pada 27 Mei 2021, Uni Eropa dan Indonesia mengadakan Human Rights Dialogues atau Dialog Hak Asasi Manusia yang ke-9 melalui konferensi video dengan Indonesia sebagai tuan rumah. Dialog ini muncul pada tahun 2009, ditujukan untuk meningkatkan pertukaran pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan kepentingan bersama, seperti hak asasi manusia. Kedua pihak menyadari bahwa situasi pandemic berdampak pada warga, terutama yang berada dalam situasi yang rentan. Berbagai macam topik hak asasi manusia pun dibahas dalam dialog ini.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan International Federation for Human Rights (FIDH) mengirimkan kertas informasi ke Uni Eropa sebelum dialog berlangsung. Kami menggarisbawahi bagaimana pelanggaran hak asasi manusia terus terjadi walaupun di kala pandemi, dan bagaimana hal tersebut menghasilkan pengkerdilan ruang untuk masyarakat sipil. Kehadiran militer terus meningkat di Papua, dan aparat menggunakan kekuatan yang berlebihan dan tidak diperlukan untuk membubarkan masyarakat yang berkumpul. Situasinya semakin diperparah ketika pemerintah membuat sebuah unit polisi siber untuk mengawasi media sosial dan gagal dalam memprioritaskan kelompok rentan dalam menangani pandemic.
Kami mengapresiasi inisiatif Uni Eropa untuk mengangkat isu kami dalam dialog, seperti hak atas kebebasan berekspresi, berasosiasi, berkumpul; hukuman mati; dan pembunuhan di luar hukum. Hak atas kebebasan berekspresi dipertaruhkan, terlebih mengenai kebebasan berekspresi secara daring. Warga yang mengkritik pemerintah di media sosial akan menjadi target polisi siber, yang adalah unit baru untuk mencegah kejahatan siber. Polisi siber akan memberikan peringatan kepada akun media sosial untuk menghapus unggahan mereka. Sampai pertengahan April 2021, polisi siber telah mengeluarkan peringatan untuk sebanyak 329 akun media sosial.
Dalam situasi pandemi, ruang sipil semakin sempit dengan penggunaan kekuatan yang tidak dibutuhkan oleh polisi. Mereka menangkap banyak orang dalam beberapa aksi belakangan untuk alasan pelanggaran protokol kesehatan Covid-19. Di aksi Hari Buruh di Jakarta, beberapa mahasiswa dipukuli dan ditangkap, sementara dalam aksi memperingati Hari Pendidikan Nasional, sembilan orang ditangkap dan dikenakan pasal karena tidak mematuhi protokol kesehatan Covid-19. Situasi pandemi juga tidak menghentikan negara untuk berhenti menggunakan hukuman mati. Sampai Januari 2021, ada 364 terpidana mati di Indonesia, dan tidak ada kemajuan dalam penghapusan hukuman mati. Pembunuhan di luar hukum yang terjadi di Papua juga tidak menunjukkan adanya komitmen hak asasi manusia dalam menyelesaikan konflik di Papua. Pelabelan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) sebagai teroris baru-baru ini akan berdampak pada penambahan angka pelanggaran HAM di Papua yang tidak bisa diselesaikan dengan kekerasan.
Indonesia menyatakan komitmennya dalam dialog tersebut untuk mengimplementasikan kebijakan publik yang memastikan hak-hak sipil, politik, dan ekonomi serta keadilan sosial dan di waktu yang sama juga mempertahankan ketertiban dan keamanan masyarakat dengan memperhatikan hak-hak sipil dan juga kebebasan fundamental. Perwakilan Indonesia dalam dialog juga berbagi mengenai program nasional untuk mengarusutamakan hak asasi manusia, seperti Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Generasi Kelima, Kota Hak Asasi Manusia, dan Forum Kerukunan Umat Beragama. Sebagai anggota Dewan HAM PBB, Indonesia juga mendorong masyarakat internasional untuk memastikan hak-hak kesehatan untuk semua, termasuk akses vaksin yang setara dan terjangkau.
Kami menyayangkan Indonesia tidak bisa lebih transparan dalam situasi hak asasi manusia dalam negara. Ketika mereka mendiskusikan perhatian mereka terkait peningkatan tren tindakan rasis, xenofobia, ujaran kebencian, diskriminasi agama atau kepercayaan, dalam kenyataannya, banyak orang dari kelompok agama minoritas dipaksa untuk meninggalkan rumah mereka, harus hidup dalam pengungsian, dan tidak bisa membangun rumah ibadah mereka sendiri. Di waktu yang sama, orang Papua distigmatisasi sebagai separatis dan mendapat ujaran kebencian dan melihat keluarga atau kerabat mereka meninggal dan rumah mereka terbakar sampai habis.
Penanganan Covid-19 belum cukup, apalagi mengenai proses vaksinasi. Pemerintah mengadopsi kebijakan vaksinasi mandiri yang membebankan biaya untuk mendaftar, dan hal ini dapat berakibat pada penyebaran vaksin yang tidak merata dan pengecualian untuk kelompok-kelompok rentan. Proses vaksinasi di Indonesia memakan waktu yang lama, khususnya untuk kelompok-kelompok rentan yang tidak tahu sampai kapan mereka harus menunggu vaksin sebelum mereka terjangkit Covid-19 terlebih dahulu.
Topik-topik di atas yang diangkat oleh Uni Eropa harus menjadi sebuah pelajaran untuk pemerintah Indonesia bahwasannya masih banyak ruang untuk peningkatan hak asasi manusia. Pertukaran di antara dua entitas dalam level internasional pasti penting untuk Indonesia untuk menjaga nama baiknya. Indonesia selalu dilihat sebagai negara yang besar dan beragam yang secara aktif berpartisipasi dan berkontribusi dalam situasi hak asasi manusia internasional. Namun, menjadi hal yang penting untuk pemerintah dalam mengimplementasikan nilai-nilai hak asasi manusia dalam setiap kebijakan yang mereka lakukan.
Dari dialog ini, kami berharap bahwa Indonesia dapat belajar lebih banyak dari Uni Eropa dalam perbaikan hak asasi manusia, dan kami juga berhadap Uni Eropa dapat menekan Indonesia lebih kuat lagi untuk mengimplementasikan komitmen hak asasi manusianya dengan lebih baik. Status keanggotaan Dewan HAM PBB menjadi tidak berarti jika Indonesia tidak bercermin dengan situasi hak asasi manusia dalam negeri dan menjadi akuntabel dan transparan untuk pelanggaran yang telah dilakukan di masa lalu dan di masa kini. Mempertahankan nama baik dan menegakkan hak asasi manusia haruslah berada di dalam daftar prioritas yang sama. Banyaknya dialog hak asasi manusia, status keanggotaan Dewan HAM PBB, dan kontribusi hak asasi manusia internasional lainnya memang akan berpengaruh untuk menjaga nama baik Indonesia, namun itu tidak dapat menihilkan fakta bahwa situasi hak asasi manusia di Indonesia belum benar-benar diperbaiki. Untuk melakukan hal tersebut, Indonesia harus mengakui bahwa komitmen hak asasi manusia datang dengan sebuah kewajiban yang besar untuk mengimplementasikan komitmen tersebut tidak hanya di level internasional, namun juga di level domestik.
Jakarta, 11 Juni 2021
Badan Pekerja KontraS
Koordinator