Menjelang Hari Anti Penyiksaan International : Darurat Impunitas Aparat Penegakan Hukum

Dalam rangka menjelang hari anti penyiksaan internasional, kami Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas Aparat yang terdiri dari Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta), Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers), Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), dan Institute Criminal for Justice Reform (ICJR) menyesalkan prakatik penyiksaan terus terjadi. Kami masih menemukan praktik penyiksaan yang dilakukan aparat penegak hukum (APH) dalam mengejar pengakuan saat dilakukan pemeriksaan hingga sebagai bentuk penghukuman terhadap terduga pelaku pidana.

Berulangnya praktik penyiksaan yang dilakukan APH, diperparah dengan sulitnya menuntut para pelaku penyiksaan ke proses peradilan pidana. Hal itu tampak dari berbagai kasus yang kami tangani. Beberapa di antaranya:

 

1.Penyiksaan Terhadap Henry Alfree Bakari di Batam – KontraS (2020)

Pada 6 Agustus 2020, Henry dituduh terlibat atas kasus kejahatan narkotika. Dalam proses penangkapan yang dilakukan penyidik Polres Barelang, Henry mengalami sejumlah tindakan penyiksaan dan membekas pada tubuh korban. Pada 7 Agustus 2020, saat korban dibawa ke rumahnya oleh Polisi, keluarga melihat kondisi wajah korban yang sudah lebam-lebam. Bahkan warga setempat melihat korban sudah berjalan pincang, badannya lemas dan mengeluh kehausan meminta air. Keesokan harinya, pada 8 Agustus 2020, keluarga korban diinformasikan bahwa Henry meninggal dunia. Saat mendatangi Rumah Sakit, didapati korban dengan kondisi yang tidak wajar selain luka lebam, kepala korban dibungkus dengan plastik hitam.

Bahwa atas peristiwa ini, Komnas HAM menyatakan telah terjadi penangkapan sewenang-wenang dan terjadi kekerasan selama proses penagakan hukum. Sayangnya, Polresta Barelang hanya menghukum pelaku berpangkat Brigadir dengan hukuman disiplin dan tidak berlanjut ke proses pidana.

 

2.Kekerasan Terhadap Tri Kurnia Yunianto, Jurnalis KataData – LBH Pers (2019)

Korban merupakan Jurnalis KataData yang mengalami kekerasan saat sedang melakukan peliputan di halaman belakang Gedung DPR/MPR. Pada 24 September 2019, korban ditugaskan oleh Pimpinan Redaksi KataData untuk meliput aksi demonstrasi di sekitaran gedung DPR/MPR. Korban ditugaskan sejak saat aksi dimulai di siang hari. Saat korban meliput dengan cara merekam video kericuhan, tiba-tiba ada beberapa aparat kepolisian menghampiri korban sambil menanyakan tujuan merekam video kericuhan tersebut. Korban sudah mengatakan kalo dirinya adalah Jurnalis sambil menunjukkan kartu pers. Namun beberapa aparat kepolisian justru melarang korban untuk meliput sekaligus mengeroyok korban hingga luka bagian wajah dan mata.

Bahwa atas tindak kekerasan yang dialami korban, pada 4 Oktober 2019, pendamping hukum dan korban sudah mengajukan pengaduan ke Polda Metro Jaya. Namun hingga saat ini tidak ada perkembangan dari pihak kepolisian atas pengaduan tersebut.

 

3. Korban Salah Tangkap Andro dan Nurdin – LBH Jakarta (2015)

Andro dan Nurdin merupakan pengamen yang kebetulan melihat mayat korban pembunuhan di kolong jembatan Cipulir, Jakarta Selatan. Kemudian, Polisi membawa mereka dan mengalami penyiksaan berupa pemukulan, penyetruman, hingga pemasangan lakban pada wajah mereka dengan motif memaksa mereka untuk mengaku. Kepastian mereka merupakan korban salah tangkap terbukti dari Putusan Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa Andro dan kawan lainnya tidak terbukti bersalah dalam peristiwa pembunuhan.

 

4.Penyiksaan terhadap Abbas dan Aji – LBHM (2017)

Pada Oktober, 2017, LBHM menerima pengaduan dari 2 orang asal Bogor yang bekerja di Jakarta Selatan sebagai asisten rumah tangga. Perjalanan ke tempat pekerjaan dilakukan oleh kedua orang ini pada subuh hari setiap hari Minggu. Dalam perjalanan menggunakan sepeda motor bewarna merah, kedua orang ini sempat diduga sebagai begal oleh seorang perempuan pengendara motor yang melintas. Beberapa warga di daerah Kemang, Bogor, langsung mengeroyok mereka. Sempat dibawa ke kantor polisi dengan alasan mengamankan dari keroyokan warga, ternyata kedua orang ini justru mengalami penyiksaan. Bukan hanya anggota polisi yang melakukan, bahkan salah seorang pekerja lepas di kantor kepolisian tersebut juga diizinkan untuk melakukan pemukulan terhadap korban. Salah satu dari mereka sempat ada yang ditempatkan di dalam sel tahanan tanpa proses penyidikan.

Pada siang harinya, mereka dilepaskan tanpa informasi yang jelas. Korban langsung pergi ke klinik untuk melakukan pemeriksaan medis. Hasil medis menunjukan bahwa korban mengalami luka di dalam telinga dan sekitaran leher belakang. Beberapa hari berikutnya, LBHM dan korban membuat pengaduan langsung ke Propam Polres Bogor. Sempat menjalani pemeriksaan, memberikan beberapa bukti pendukung, dan membeberkan identitas terduga pelaku penyiksaan, namun hasil pemeriksaan menyatakan pengaduan korban tidak memiliki bukti yang kuat, sehingga penyiksaan yang dialami korban dianggap tidak pernah ada.

Bahwa kasus-kasus di atas, hanya sebagian dari berbagai kasus penyiksaan yang kami tangani. Seringkali saat kami berupaya mengadukan para pelaku, pengaduan yang diajukan ditolak, dengan alasan yang tidak jelas. Kalau pun diterima, kasusnya mengalami stagnansi atau kemandekan. Dan ketika diproses, hanya sebatas pada proses disiplin/etik. Apabila berlanjut melaui mekanisme peradilan pidana, vonis yang dijatuhkan kepada para pelaku tergolong ringan. Dalam kasus penyiksaan yang berujung pada kematian terhadap Zaenal Abidin di Lombok Timur, 9 (sembilan) orang anggota kepolisian hanya divonis 10 (sepuluh) bulan hingga 1 (satu) tahun penjara.

Situasi semacam ini, menggambarkan bahwa kita mengalami darurat impunitas. Kondisi dimana negara memberikan pembebasan atau pengecualian dari tuntutan atau hukuman atau kerugian kepada seseorang yang melakukan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia (HAM).

Kondisi ini juga jelas dikarenakan pengaturan hukum acara pidana yang tidak memadai dalam ketentuan KUHAP saat ini. KUHAP dirumuskan tidak sesuai dengan standar HAM. Penyidik dapat melakukan penangkapan, bahkan dalam jangka waktu berhari-hari. Masa penahanan pun dapat ditentukan dengan mudah oleh penyidik kepolisian. Padahal dalam instrument HAM ICCPR yang sudah Indonesia ratifikasi, pengekakangan kebebasan seseorang dalam lingkup peradilan pidana hanya bisa dilakukan maksimal 48 jam, setelah 48 jam tersebut orang tersebut harus dihadapkan kepada pengadilan. Penahanan pun tidak dapat dilakukan pada institusi kepolisian, harus di tempat yang berbeda. Sayangnya ketentuan KUHAP masih mengatur kebolehan adanya tempat penahanan di kantor-kantor kepolisian, yang pada penerapannya menjadi sarang terjadinya penyiksaan. 

Bahwa dalam kasus ini, pelanggaran HAM terjadi bukan hanya ketika APH saat melakuan (by commission) penyiksaan, tetapi juga terjadi ketika aparat membiarkan (by omission) saat korban mengadukan namun tindak ditindaklanjuti secara patut. Dan keduanya terjadi pada kasus-kasus yang kami tangani di atas. 

Bahwa kami ingin menegaskan berdasarkan hukum dan instrumen HAM internasional, praktik penyiksaan dapat dikategorikan sebagai sebuah kejahatan absoulut karena melanggar prinsip yang disebut jus cogens. Mereka yang terlibat pada kejahatan ini adalah musuh dari umat manusia (hostis humani generis). Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi APH untuk tidak menindak tegas bagi anggotanya yang melakukan penyiksaan.

Berdasarkan uraian dan penjelasan kami di atas, kami mendesak:

  1. Kapolri untuk menerima pengaduan yang akan kami ajukan terkait kasus-kasus penyiksaan yang melibatkan aparat kepolsian, dan kemudian menindaklanjutinya dengan memerintahkan jajarannya untuk menuntaskan kasus tersebut. Sekaligus mendorong para Kapolda untuk tegas kepada anggotanya bilamana terlibat kasus penyiksaan dengan menggunakan pendekatan pemidanaan;
  2. Kapolri harus melaksanakan reformasi kepolisian dengan maksimal agar dapat menghentikan dan mencegah pelanggaran HAM yang terjadi demi mewujudkan kepolisian rakyat yang humanis, profesional dan demokratis, sebagaimana cita-cita reformasi;
  3. Presiden dan DPR merumuskan peraturan Undang-Undang khusus tentang Peghapusan Praktik Penyiksaan dan Tindakan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia dengan mengacu pada Konvensi Menentang Penyiksaan, sekaligus meratifikasi Optional Protocol Convention Against Tortutre (OPCAT).
  4. Presiden dan DPR menyegerakan reformasi hukum acara pidana dalam KUHAP dengan menjamin bahwa RKUHAP harus didasarkan pada standar HAM.

 

Jakarta, 23 Juni 2021

Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas Aparat

 

Narahubung:

Andi Muhammad RezaldyKontraS087785553228
Teo ReffelsenLBH Jakarta085273111161
MustafaLBH Pers081355345862
Yosua OctavianLBHM081297789301
Maidina R.ICJR085773825822