Respon KontraS atas Pemanggilan dan Peretasan Akun Fungsionaris BEM UI: Berlanjutnya Represi dan Teror di Ruang Akademis

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) memberi sorotan terhadap sikap Universitas Indonesia (UI) yang begitu represif terhadap mahasiswa Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI). Kami mengecam keras segala bentuk tindakan pembungkaman berekspresi dan berpendapat khususnya di ruang-ruang akademis seperti di kampus. 

Pada 27 Juni 2021, lewat Surat Undangan Nomor 915/UN2.RI.KMHS/PDP.00.04.00/2021 Universitas Indonesia memanggil 10 mahasiswa untuk datang menemui Direktur Kemahasiswaan UI. Surat undangan ini merupakan respon atas unggahan ulang BEM UI di akun sosial media mereka yang mengkritik Presiden Jokowi sebagai King of lip Service.  UI lewat Biro Humasnya menyatakan bahwa pemanggilan tersebut dilakukan karena postingan meme poster ‘Jokowi: The King of Lip Service’ tersebut bukan merupakan penyampaian pendapat yang benar dan dinilai melanggar aturan yang belaku. Akan tetapi tetapi tidak dirinci bentuk aturan yang dilanggar oleh dipublikasinya postingan tersebut. Pemanggilan ini pun ditujukan sebagai bentuk pembinaan kemahasiswaan yang ada di dalam kampus. 

Kami melihat bahwa upaya pemanggilan semacam ini merupakan indikasi pemberangusan kebebasan akademis dalam kampus. Hal ini juga menegaskan bahwa kampus tidak lagi menjadi tempat yang aman bagi mahasiswa untuk menyuarakan pendapat. Universitas seharusnya dapat melindungi kebebasan akademis, bukan justru mengatur ekspresi mahasiswanya. 

Kami beranggapan bahwa yang dilakukan oleh Rektorat UI lewat Direktur Kemahasiswaan telah melanggar prinsip-prinsip penyelenggaraan pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 dan 24 UU Sistem Pendidikan Nasional. Dalam Pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Sementara itu, pendidikan tinggi juga wajib menjujung kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 UU Sistem Pendidikan Nasional. 

Selain itu, tindakan Rektorat UI juga bahkan telah menyalahi 9 nilai UI yang salah satunya mencantumkan kebebasan akademik dan otonomi keilmuan (academic freedom dan scientific autonomy). Nilai tersebut mewajibkan seluruh civitas akademika UI untuk menjunjung kebebasan menyampaikan pikiran dan pendapat di dalam lingkungan UI maupun dalam forum akademik lainnya. Akan tetapi pemanggilan terhadap 10 mahasiswa UI yang berpendapat lewat akun sosial media BEM begitu jauh dari implementasi nilai-nilai ini. 

Kami menilai bahwa tindakan yang dilakukan oleh BEM UI lewat postingannya juga merupakan bentuk kemerdekaan penyampaian pendapat yang sah sebagaimana diatur dalam instrument hukum HAM nasional maupun Internasional. Penyampaian pendapat di muka umum baik itu di ruang publik maupun digital dijamin dalam Pasal 28 UUD 1945,  UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, International Convenan on Civil and Political Rights yang telah diratifikasi lewat UU No. 12 Tahun 2005.

Walaupun kasus ini belum menyentuh ranah pidana, kami menilai potensi kasus-kasus serupa sangat besar berlanjut ke tahap pemolisian. Sebab, masih ada UU ITE yang didalamnya terdapat delik pencemaran nama baik dan setiap waktu bisa menjerat mereka yang kritis di ruang digital. Belum lagi Rancangan KUHP saat ini kembali mengaktifkan delik penghinaan Presiden, meski sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Pasal karet tersebut akan dihidupkan kembali dan siap untuk mengkriminalisasi mereka yang aktif mengkritisi kebijakan maupun ucapan yang keluar dari mulut Presiden, utamanya lawan-lawan politik pemerintah.

Kasus pembungkaman kebebasan akademis UI merupakan rentetan panjang praktik-praktik pembungkaman ekspresi mahasiswa dalam kampus. Mahasiswa yang kritis kerapkali terbelenggu oleh sikap mental Rektorat yang anti kritik. Apa yang terjadi di UI juga sebelumnya pernah terjadi saat mereka mengeluarkan sikap serupa dalam merespon diskriminasi di Papua dan pembubaran Front Pembela Islam (FPI). Begitupun di kampus-kampus lainnya seperti di Unas, Unilak, Unkhair, UBL dan UGM. Mahasiswa seringkali dibungkam bahkan sampai di drop out dan dipolisikan oleh Rektor. Ragam kasus tersebut menunjukan kesewenang-wenangan kampus terhadap aktivisme mahasiswa yang berimplikasi pada menyusutnya ruang sipil. Hal ini juga kontraproduktf dengan wacana Kampus Merdeka yang selalu digembargemborkan oleh Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim.

Tidak sampai direpresi oleh pihak kampus saja, pasca dikelurakannya infografis kritik terhadap Presiden tersebut, akun media sosial beberapa fungsionaris BEM UI juga diretas. Tindakan tersebut menyebabkan mereka sulit untuk masuk dan mengakses akun sosial media pribadinya. Kami melihat peretasan merupakan salah satu bentuk teror digital yang bertujuan untuk memberikan rasa takut. Praktik ini bukan kali pertama, rentetan kasus peretasan seringkali terjadi khususnya bagi pihak-pihak yang lantang menyeimbangkan diskursus pemerintah. Beberapa kasus diantaranya misalnya peretasan yang dilakukan kepada panitia yang menyelenggarakan diskusi Papua dan diskusi terkait impeachment Presiden. 

Kami melihat dari beberapa praktik peretasan dan serangan digital yang pernah terjadi, pelaku tidak pernah diungkap secara jelas. Praktik pembiaran dilakukan oleh Negara secara terus menerus, hingga menimbulkan keberulangan. Padahal praktik teror digital ini merupakan pelangaran serius terhadap kebebasan berpendapat, sebab menimbulkan efek ketakutan. Kami mendesak pihak Kepolisian agar mengusut tuntas praktik peretasan ini demi mencegah terjadinya praktik-prakti serupa di masa mendatang. 

Jakarta, 28 Juni 2021

Badan Pekerja KontraS,

 

Fatia Maulidiyanti
Koordinator

 

Narahubung: Rozy Brilian 082122031647