61 Tahun Hari Bhakti Adhyaksa: Berkarya untuk Bangsa atau Berkarya untuk Pelaku Pelanggar HAM?

“Berkarya untuk Bangsa” menjadi pilihan tema Hari Bhakti Adhyaksa ke-61 tahun. Tema ini sungguh sangat jauh dari realita bahwa tidak ada karya yang signifikan bagi penegakan hukum maupun bagi penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia. Terlebih, masih kerap kita jumpai fenomena pelbagai tuntutan jaksa yang memihak para pelaku dan mencederai rasa keadilan. Lantas, timbulah bias makna dalam tema Hari Bhakti Adhyaksa kali ini. Lalu untuk siapa Kejaksaan RI berkarya? Untuk bangsa atau untuk pelaku pelanggar HAM? 

Pertama, Jaksa Agung sebagai pimpinan dan penanggung jawab tertinggi yang mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan, sekaligus adalah penyidik kasus pelanggaran HAM yang berat. Namun hingga kini drama bolak-balik berkas masih tidak juga dihentikan. Pantauan KontraS mencatat terakhir Komnas HAM telah mengembalikan berkas kembali pada awal Januari 2019 dan belum ada respon lebih lanjut dari Kejaksaan Agung. Kejaksaan Agung masih tidak menindaklanjuti berkas penyelidikan Komnas HAM ke tingkat penyidikan dengan alasan tidak cukup bukti, namun Kejaksaan Agung masih juga tidak memberikan perintah sebagai penyidik kepada penyelidik untuk melakukan upaya paksa (Pasal 19 ayat (1) huruf g UU 26/2000). Tentunya satu alasan tidak cukup. Alasan lain yang digunakan ialah belum adanya Pengadilan HAM ad hoc, serta (sebagaimana disampaikan Jaksa Agung di Raker dengan Komisi III 16 Januari 2020) menyatakan kasus yang sudah diselidiki Komnas HAM sebagai bukan pelanggaran berat HAM hanya berdasarkan voting Pansus DPR 2001, meskipun Jaksa Agung sendiri belum pernah melakukan penyidikan atas kasus-kasus tersebut. 

Alasan dan pernyataan tersebut diputar berulang kali, membosankan serta mengecewakan korban dan masyarakat sipil karena tidak ada niat Jaksa Agung untuk mengikuti Putusan MK No. 18/PUU-V/2007, atau menindaklanjuti berbagai petunjuk kasus mulai dari Kivlan Zen (pada 2014) hingga Agum Gumelar (pada 2019) yang menyatakan tahu nasib para korban penghilangan paksa 97/98. Alih-alih membawa kasus pelanggaran berat HAM ke Pengadilan HAM, Jaksa Agung justru melawan keluarga korban sendiri di meja hijau hingga tingkat kasasi saat ini (Jaksa Agung vs. Sumarsih, Ho Kim Ngo atas kasus Semanggi I-II). 

Fakta mengecewakan lainnya dapat kita cermati pada momen politik pada Desember 2020 lalu, Presiden Jokowi telah menekankan Kejaksaan adalah aktor kunci dalam penuntasan pelanggaran HAM masa lalu. Dalam Raker dengan Komisi III 26 Januari 2021, Jaksa Agung kemudian membentuk satgas bagi kasus masa lalu. Tentu satgas demikian bukan hal baru karena hal serupa pernah dibentuk pada 2004. Namun sama saja hingga saat ini tidak juga ada perkembangan dari Satgas-satgas yang terbentuk. Bahkan, penyelesaian kasus masa lalu tidak sedikitpun disinggung apalagi menjadi prioritas dalam RANHAM 2021-2025. Selain itu dengan banyaknya wacana alternatif non-yudisial bagi penyelesaian kasus masa lalu yang diambil Pemerintah termasuk Menkopolhukam, Kemenkumham dan Kejaksaan didalamnya, kami kembali menegaskan bahwa korban berhak atas penuntutan, kebenaran, pemulihan dan jaminan ketidak-berulangan. Keempatnya adalah kumulatif dan tidak bisa ditiadakan satu sama lain. 

Jaksa Agung tidak dapat memilah-milah kasus yang diselesaikan secara yudisial jika telah memenuhi prosedur saja. Justru menjadi tugas Kejaksaan sebagai penyidik untuk mendukung penyelidikan Komnas HAM sebagaimana diatur dalam Peraturan Jaksa Agung (Perja) No.  039/A/JA/10/2010 seperti memberi surat perintah, membentuk tim pra-penyidikan dsb, hingga berkas kasus matang dan siap diajukan ke Pengadilan, demi melaksanakan fungsi Kejaksaan Agung sebagai penegak hukum dan membela kepentingan korban dari suatu perkara pidana, serta memberikan bangsa Indonesia keadilan proses pidana (criminal justice) bukan keadilan politik.

Kedua, selain kasus pelanggaran ham berat, Jaksa Agung juga memiliki kewajiban yang belum ditunaikan hingga saat ini. Hal itu berkaitan dengan pencarian dokumen asli Laporan Akhir TPF Munir. Sebelumnya, pada 12 Oktober 2016, Presiden telah memerintahkan Jaksa Agung untuk menelusuri keberadaan dokumen tersebut. Kemudian, atas perintah Presiden itu,  Jaksa Agung menindaklanjutinya dengan memerintahkan Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel) Kejagung untuk mencari dokumen asli TPF Munir. Namun demikian, sudah hampir 5 (lima) tahun berlalu, tidak ada perkembangan yang begitu signifikan, bahkan publik tidak mengetahui sudah sejauh mana upaya yang sudah dilakukan oleh Jamintel Kejagung.  

 

Kami menilai, 4 (empat) tahun lebih, merupakan waktu yang cukup lama untuk mencari keberadaan sebuah dokumen. Padahal sebelumnya sudah ada petunjuk dari Jaksa Agung periode 2004-2007, Abdul Rahman Saleh, yang mengungkapkan bahwa dokumen asli TPF Munir diyakini juga ada di Kejagung. Tidak adanya kemajuan atas pencarian dokumen tersebut, menunjukan bahwa Jaksa Agung  tidak benar-benar serius menjalankan perintah Presiden. Apabila merujuk pada kewenangan yang dimiliki, kejagung sesungguhnya dapat dengan mudah menemukan dokumen tersebut.  

Oleh karena itu, pada momen hari Adhyaksa ini Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan terus mengingatkan dan mendesak Jaksa Agung untuk:

  1. Segera hentikan bolak balik berkas dan tindak lanjuti seluruh berkas pelanggaran berat HAM ke penyidikan;
  2. Menjalankan perintah Presiden secara sungguh-sungguh dengan mencari dan menemukan dokumen asli TPF Munir. Serta membuka informasi seluas-luasnya kepada publik terkait perkembangan pencarian dokumen tersebut.

 

Jakarta, 22 Juli 2021

Badan Pekerja KontraS,

 

Fatia Maulidiyanti
Koordinator