22 Tahun Peristiwa Tengku Bantaqiah: Penuhi Hak Korban dan Hentikan Segala Upaya Pengrusakan Situs Budaya dan Lingkungan di Beutong Ateuh

Dua puluh dua tahun silam, telah terjadi peristiwa mengerikan dan juga merupakan satu dari sekian banyak pembantaian selama operasi militer yang dilaksanakan di Aceh, yakni Peristiwa Beutong Ateuh atau juga dikenal sebagai Peristiwa Tengku Bantaqiah. Peristiwa ini bermula dari tuduhan tidak berdasar pihak TNI terhadap Tengku Bantaqiah (seorang pimpinan Pesantren Babul Al Nurillah) bahwa dirinya adalah pendukung Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan menyimpan logistik berupa senjata untuk GAM di pesantrennya. Tuduhan ini tidak terbukti, namun imbasnya Pesantren Babul Al Nurillah menjadi salah satu target pembantaian TNI dalam operasi militer 23 Juli 1999 di bawah komando Korem 011/Lilawangsa bersama dengan Batalyon 328 Kostrad yang menyebabkan Tengku Bantaqiah dan putranya (Usman Bantaqiah), serta 54 santri meninggal dunia. 

Secara formal kasus ini telah diselesaikan melalui mekanisme pengadilan koneksitas pada tahun 2000. Namun, penyelesaiannya belum mampu memberikan keadilan kepada korban dan keluarganya serta hanya digelar sebagai formalitas untuk menunjukkan kepada khalayak bahwa “pengadilan telah terlaksana”. Kasus ini dinilai mandek dan tidak ada atensi khusus dari pemerintah pusat maupun daerah. Padahal, melalui pihak KKR Aceh yang pada tahun 2020 telah menyatakan akan berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait seperti Pemerintah Kabupaten Nagan Raya, keluarga korban, serta pimpinan Dayah untuk bersama-sama mewujudkan pembangunan memorialisasi kasus Tengku Bantaqiah sebagai bentuk penghormatan dan pengakuan agar hak keluarga korban dipenuhi oleh negara.

Bahkan di tengah penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang tidak kunjung tuntas, masyarakat Beutong Ateuh harus senantiasa bertarung dengan upaya pengrusakan situs budaya dan sejarah serta lingkungan yang terancam perusahaan tambang. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengeluarkan surat keterangan bernomor 66/1/UP/PMA/2017 tertanggal 19 Desember 2017 dan SK ini meningkatkan status izin usaha pertambangan eksplorasi milik PT Emas Mineral Murni (EMM) menjadi izin usaha produksi untuk komoditas emas di atas areal seluas 10.000 hektare. Perizinan tersebut patut diduga melanggar hukum karena sejak awal telah menyalahi beberapa prosedur, diantaranya adalah izin tidak dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang (diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 2009 dan Pasal 165 ayat (11) UU Nomor 11 Tahun 2006). Areal pertambangan juga mencakup sebelas cagar budaya berupa makam-makam yang disakralkan masyarakat setempat sehingga keberadaannya wajib dilindungi oleh pemerintah mengacu pada UU Nomor 11 Tahun 2010. Berdasarkan kronologi ini secara umum pemerintah dalam menjalankan kewenangannya telah mengabaikan dua dari delapan asas umum pemerintahan yang baik menurut UU Nomor 30 Tahun 2014 yakni asas kecermatan dan asas kepentingan umum. 

Izin pertambangan yang diberikan kepada PT EMM tentu menuai berbagai macam penolakan dari masyarakat baik disuarakan secara langsung melalui aksi massa maupun gugatan hukum di pengadilan. Pada tahun 2018, masyarakat Beutong Ateuh bersama dengan Walhi Aceh menggugat Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi PT EMM yang diterbitkan oleh BKPM RI ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Timur. Upaya tingkat pertama pun kalah, kemudian Walhi bersama dengan warga melanjutkan upaya banding yang juga kalah. Namun, pada tingkat kasasi gugatan ini kemudian dimenangkan oleh masyarakat Beutong Ateuh, yang kemudian BKPM merasa keberatan dan mengajukan peninjauan kembali (PK) terhadap putusan PT.TUN Jakarta Nomor 192/B/LH/2019/PT.TUN.JKT pada tanggal 14 Desember 2020. Beruntungnya, keadilan masih berpihak pada masyarakat Beutong Ateuh. Mahkamah Agung kemudian menolak PK BKPM RI terkait izin tambang PT EMM di Beutong Ateuh.

Mahkamah Agung memenangkan gugatan ini dengan beberapa pertimbangan salah satunya karena areal izin mengenai lokasi-lokasi paling bersejarah di Provinsi Aceh seperti kuburan massal pasukan Cut Nyak Dhien, kuburan Tengku Alue Panah, dan merupakan lokasi pembuangan mayat murid Tengku Bantaqiah yang merupakan kasus pelanggaran HAM berat yang diakui dunia. Meskipun, secerca keadilan telah berpihak pada masyarakat Beutong Ateuh namun tentu perlu pengawalan bersama untuk memastikan BKPM RI mengeksekusi putusan Mahkamah Agung dan menghentikan segala bentuk aktivitas penambangan yang dapat merusak situs budaya dan sejarah serta lingkungan di Beutong Ateuh

Berdasarkan uraian tersebut, kami mendesak sejumlah pihak untuk:

  1. Pemerintah pusat dan daerah agar berkoordinasi dengan KKR Aceh untuk membangun memorialisasi peristiwa Tengku Bantaqiah sebagai bentuk pengakuan dan jaminan ketidak berulangan ke depannya;
  2. Pemerintah pusat dan daerah memberikan perhatian khusus untuk melakukan pengungkapan kebenaran peristiwa Tengku Bantaqiah dan memenuhi hak-hak reparasi bagi keluarga korban;
  3. Menghentikan segala bentuk aktivitas penambangan yang dapat merusak situs budaya dan sejarah serta lingkungan di Beutong Ateuh.