25 Tahun Peristiwa Kudatuli: Mula-mula Melawan, Lama-lama Diam

Credit Foto: (Kompas/Eddy Hasby)

Tepat pada hari ini 27 Juli 2021, kita kembali diingatkan pada memori kelam yang terjadi selama perjalanan bangsa. Dua puluh lima tahun silam, terjadi bentrokan secara besar-besaran yang dipicu dari adanya konflik dualisme kepemimpinan dalam tubuh Partai Demokrasi Indonesia. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan Peristiwa Kudatuli atau kudeta dua puluh tujuh Juli. Peristiwa ini bermula dari adanya pengepungan kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro, Jakarta, yang dilakukan oleh kelompok pendukung Soerjadi yaitu Ketua PDI terpilih melalui Kongres Medan tahun 1996 yang tidak sepakat dengan hasil dari Musyawarah Nasional PDI di Surabaya yang mengesahkan Megawati Soekarnoputri sebagai ketua umum partai pada tahun 1993.

Konflik internal dua kubu partai ini diindikasikan adanya pelanggaran HAM berat. Hal ini diungkap melalui catatan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melalui upaya investigasi dan penyelidikan lanjutan pada tahun 2003. Hasilnya, ditemukan fakta bahwa terdapat lima orang meninggal, 149 mengalami luka serta 23 orang hilang. Peristiwa ini juga menyebabkan kerugian materiil mencapai 100 miliar rupiah. Komnas HAM juga menyatakan bahwa ada setidaknya enam bentuk pelanggaran HAM yang terjadi, yaitu pelanggaran terhadap asas kebebasan berserikat dan berkumpul, pelanggaran terhadap asas kebebasan dari rasa takut, pelanggaran terhadap asas kebebasan dari perilaku keji serta tidak manusiawi, pelanggaran terhadap perlindungan jiwa manusia, dan pelanggaran terhadap asas perlindungan harta benda.

Banyak kalangan merasakan ada keganjilan terkait apa penyebab utama dari bentrokan tersebut. Peristiwa ini turut diduga merupakan bagian dari rekayasa politik yang dilakukan rezim orde baru untuk membungkam demokrasi dengan menggunakan kekerasan. Hal ini disampaikan juga oleh Hasto Kristiyanto selaku sekretaris jenderal PDI Perjuangan pada peringatan Peristiwa Kudatuli tahun 2018. Sejumlah perwira turut andil dalam peristiwa ini, diantaranya Kassospol ABRI Letnan TNI Syarwan Hamid pada saat konflik terjadi memerintahkan untuk langsung menindak para perusuh, bahkan Ketua Bakorstanasda Jaya Mayjen TNI Sutiyoso memerintahkan untuk langsung menembak perusuh di tempat. Hingga saat ini para perwira militer tersebut belum diadili dan korban pun belum mendapatkan keadilan. 

Patut disayangkan pula, Megawati Soekarnoputri yang pada tahun 2001-2004 menjabat sebagai Presiden Indonesia belum menyelesaikan kasus ini melalui pengadilan padahal Komnas HAM telah merekomendasikan agar kasus ini diproses hukum. Ketimbang memberikan rasa keadilan bagi korban, Megawati Soekarnoputri malah merekomendasikan agar membangun Monumen 27 Juli di Kantor DPP PDI Perjuangan tempat peristiwa terjadi. Proses penegakan kasus ini kemudian hanya sampai ke pengadilan koneksitas yang membebaskan semua tersangka dari unsur TNI. Hingga kini, kasus Kudatuli mandek dan hanya sampai pada tahap pemantauan biasa.

Meski ruang eksekutif dan legislatif kini dikuasai oleh Presiden Joko Widodo dan PDI Perjuangan, penegakan hukum Peristiwa Kudatuli dan pemenuhan hak para korban juga tak kunjung dipenuhi. Hal ini tentu akan menjadi preseden buruk bagi penegakkan hukum atas kekerasan yang dilakukan oleh aparat Negara dimasa yang akan datang, dimana polisi/militer/pejabat Negara yang melakukan berbagai kekerasan terhadap masyarakat sipil tidak diproses dan diberi sanksi sesuai dengan hukum yang berlaku. Jika kejahatan Negara tidak diungkapkan, maka secara terang-terangan memberi afirmasi bahwa kejahatan masa lalu adalah tindakan yang dibenarkan dan tentunya sikap ini telah mencoreng cita-cita Reformasi.

Berdasarkan uraian tersebut, kami mendesak sejumlah pihak untuk:

  1. Presiden Jokowi untuk segera menindaklanjuti komitmennya pada pidato Hari HAM Internasional tahun lalu untuk segera menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu secara menyeluruh, berkualitas dan memulihkan harkat martabat korban, tentunya dengan partisipasi aktif dan kritis dari korban pelanggaran HAM berat masa lalu
  2. Presiden Jokowi untuk segera memerintahkan jajaran aparat penegak hukum, khususnya Kejaksaan Agung untuk lebih kooperatif dengan Komnas HAM serta membuka dokumen terkait Peristiwa Kudatuli dan bekerjasama dengan Komnas HAM
  3. Komnas HAM untuk segera melakukan penyelidikan pro justisia terhadap kasus Kudatuli 1996 berdasarkan hasil investigasi dan penyelidikan dari Komnas HAM

Jakarta 28, Juli 2021

Badan Pekerja KontraS

Fatia Maulidiyanti
Koordinator