23 Tahun Peringatan DOM Aceh: Status Dicabut, Kasus Tak Kunjung Diusut

Dua puluh tiga tahun dicabutnya status Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh sama saja mengingat lamanya kepedihan masyarakat Aceh akibat konflik yang terjadi pada tahun 1990-1998 antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di bawah pimpinan Tengku Hasan Di Tiro. Para aktor keamanan yang seharusnya menjalankan kebijakan represif, justru melakukan dugaan pelanggaran HAM berat terhadap pejuang GAM maupun rakyat sipil Aceh. Setidaknya terdapat ribuan orang hilang serta ditangkap secara sewenang-wenang tanpa adanya prosedur hukum yang jelas, selain itu banyak dari mereka yang dibunuh dengan cara eksekusi di depan umum. Ratusan perempuan bahkan anak di bawah umur juga mengalami tindak kekerasan seksual yang dilakukan oleh aktor keamanan. Tidak sedikit juga dari mereka sampai ada yang kehilangan tempat tinggal dan terpaksa menjadi pengungsi di negerinya sendiri karena rumah mereka dibakar. 

Operasi militer tersebut kemudian berakhir pasca rezim orde baru tumbang. Tepat pada 7 Agustus 1998 status DOM Aceh dicabut oleh Presiden B.J Habibie, namun bayang-bayang kekerasan dan trauma masih menyelimuti masyarakat Aceh. Terlebih, berbagai kebijakan yang diambil pasca pencabutan status DOM Aceh justru memperpanjang rentetan kekerasan yang dialami masyarakat Aceh. Langkah ‘Jeda Kemanusiaan’ pada tahun 2000 sebagai kebijakan untuk menghentikan konflik berkepanjangan antara pemerintah Indonesia dan GAM justru mengakibatkan banyaknya pelanggaran HAM yang dilakukan baik oleh TNI maupun GAM yang masih melakukan mobilitas pasukan, penyisiran dan kontak senjata sehingga mengakibatkan rakyat sipil harus mengungsi ke wilayah lain. 

Tak hanya itu, perundingan yang diadakan oleh Pemerintah RI dan GAM juga turut memperpanjang ancaman kekerasan yang dialami masyarakat Aceh. Perundingan antara Pemerintah RI dan GAM di Swiss pada 6-10 Januari 2001 menyepakati adanya masa moratorium kekerasan, yang kemudian mentransformasi perjuangan GAM yang tadinya melalui perjuangan bersenjata menjadi perjuangan politik di bawah hukum humaniter yang berlaku. Pemerintah Indonesia pun mengeluarkan kebijakan berupa Inpres No. 4 Tahun 2001 tentang Langkah-Langkah Komprehensif dalam Rangka Penyelesaian Aceh membawa dampak buruk bagi penyelesaian damai konflik Aceh. Kebijakan tersebut mengakibatkan terjadinya peningkatan intensitas peristiwa kekerasan karena digelarnya Operasi Militer Rajawali dan meningkatnya berbagai aksi kekerasan maupun perlawanan yang dilakukan oleh elemen-elemen bersenjata di Aceh. 

Hingga pada 13-16 April 2005, digelar kembali perundingan informal antara pemerintah Indonesia dan GAM yang diadakan di Helsinki, Finlandia. Rangkaian perundingan tersebut penting karena menjadi momentum kemanusiaan pasca terjadinya bencana alam tsunami di Aceh. Perundingan ini menghasilkan 71 poin yang mencakup pembahasan mengenai pembangunan ekonomi, bendera lambang Aceh, dan pengungkapan pelanggaran HAM. Namun 16 tahun pasca perundingan Helsinki terjadi, belum semua poin terpenuhi. Proses pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi, serta pengadilan belum dilakukan sehingga korban dan keluarga korban belum juga mendapatkan keadilan dan pemulihan dari Negara.

Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh (KKR Aceh) yang dibentuk sesuai dengan mandat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh sebagai upaya penyelesaian non-yudisial juga dinilai stagnan. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh yang bertugas mengumpulkan fakta kebenaran hanya dibentuk dan dijalankan setengah hati yakni dengan memberikan kewenangan yang terbatas. Begitu pula dengan kebijakan KKR Nasional, sejak Mahkamah Konstitusi membatalkan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi lebih dari 15 tahun silam, pemerintah dan DPR sejauh ini belum membuat dan mengesahkan UU KKR yang baru sebagai acuan mekanisme pengungkapan kebenaran. Dalam penanganan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu baik dalam proses non yudisial maupun yudisial merupakan hal yang senantiasa harus beriringan dan tidak boleh dijadikan sebuah mekanisme tunggal. Sebab, proses non yudisial merupakan pelengkap setelah pencarian, pengungkapan, dan pengakuan atas kebenaran dinyatakan oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum mengikat (proses yudisial). 

Di sisi lain dalam proses hukumnya, penyelidikan-penyelidikan terpisah yang dilakukan Komnas HAM belum ditindaklanjuti ke proses penyelidikan pro justisia terhadap peristiwa dugaan pelanggaran HAM berat selama kurun waktu operasi militer di Aceh, seperti peristiwa Bumi Flora, Penghilangan Orang Secara Paksa di Bener Meriah, dan peristiwa-peristiwa kekerasan yang terjadi selama penerapan status DOM diberlakukan di Aceh. Tak hanya itu, Jaksa Agung sebagai aktor kunci penyelesaian pelanggaran HAM berat secara yudisial juga tak kunjung melakukan penyidikan atas peristiwa dugaan pelanggaran HAM berat di Aceh yang telah direkomendasikan oleh Komnas HAM baik halnya Tragedi Simpang Kertas Kraft Aceh, Tragedi Jambo Keupok, maupun Rumoh Geudong.

Dalam hal ini, guna mewujudkan keadilan transisi baik dalam proses yudisial dan proses non-yudisial, penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tidak boleh bertolak belakang pada hak atas kebenaran, hak atas keadilan, hak atas reparasi, dan jaminan ketidakberulangan kekerasan. Banyaknya macam tindakan dugaan pelanggaran HAM berat tersebut, tidak lantas membuat Pemerintah menanggapi dan meresponnya dengan serius. Pemerintah gagal untuk menghukum pelaku dan memberi keadilan serta pemulihan yang layak kepada korban dan keluarganya. 

Melihat masih perlunya pengawalan terhadap peristiwa ini, maka kami menyerukan agar:

  1. Mendesak Pemerintah RI dan Pemerintah Aceh untuk segera mengimplementasikan amanat MoU Helsinki;
  2. Mendesak Pemerintah Aceh untuk memperkuat kelembagaan KKR Aceh dengan memberikan dukungan kesekretariatan secara mandiri, serta dukungan politik dalam menjalankan rekomendasi reparasi dari KKR Aceh.
  3. Mendesak Pemerintah Pusat untuk segera membuat instrumen hukum untuk memperkuat keberadaan KKR Nasional.
  4. Mendesak Jaksa Agung untuk segera melakukan penyidikan atas peristiwa-peristiwa dugaan pelanggaran HAM berat di Aceh yang telah direkomendasikan oleh Komnas HAM di antaranya adalah Tragedi Simpang Kertas Kraft Aceh, Tragedi Jambo Keupok, dan Rumoh Geudong;
  5. Komnas HAM untuk segera melanjutkan penyelidikan pro justisia terhadap peristiwa-peristiwa dugaan pelanggaran HAM berat selama kurun waktu operasi militer di Aceh, seperti peristiwa Bumi Flora, Penghilangan Orang Secara Paksa di Bener Meriah, dan peristiwa-peristiwa kekerasan yang terjadi selama penerapan status DOM diberlakukan di Aceh.

 

Jakarta. 7 Agustus 2021

 

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh