Kabut Gelap Penuntasan Kasus Pelanggaran HAM yang Berat, Presiden Mengafirmasi Impunitas

Orang-orang Pro Kemerdekaan harus dibunuh”- Eurico Guterres  

Malam hari 17 April 1999 saat Apel Akbar Peresmian PAM Swakarsa, pasukan Aitarak dan Pasukan Pejuang Integrasi yang dikomandoi Eurico Guterres hadir bersenjata lengkap di depan kantor Gubernur Provinsi Timor Timur. Mereka membawa panah, tombak, parang, golok, senjata penikam, senjata penusuk, senjata api, dan senjata api rakitan, sembari mendengarkan pidato Eurico Guterres yang dibacakan anak buahnya. Sehabis pidato komandannya selesai, massa kelompok Aitarak dan Pasukan Pejuang Integrasi bubar dari apel dan langsung pergi menyerang rumah Manuel Viegas Carrascalao, yang dihuni 136 orang pengungsi, dan rumah Leandro Isac. Setelah pidato dan melihat massa bergegas menyerang, Eurico Guterres hanya diam saja. Tak berusaha mencegah massa di bawah komando, perintah, dan kendalinya untuk menyerang rumah Manuel Viegas Carrascalao.

Hari ini, Kamis (12/08), Presiden Joko Widodo memberikan penghargaan Bintang Jasa Utama kepada Eurico Guterres, ibarat meneteskan cuka di atas luka korban. Lagi-lagi, ruang sempit upaya penyelesaian pelanggaran HAM yang berat terus mengalami tekanan dan resesi. Tahun 2002, Eurico Guterres divonis 10 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan HAM Ad Hoc untuk kasus Timor Timur. Putusan tersebut bahkan diperkuat sampai dengan tingkat kasasi di Mahkamah Agung (2006). Meski pada akhirnya dibebaskan melalui Peninjauan Kembali pada 2008, dalam pertimbangan hukum putusan sebelumnya Eurico Guterres dinyatakan terbukti melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) di Timor Timur. 

Putusan terhadap Eurico Guterres pun bukan tanpa cela. Dalam vonisnya, hakim menjatuhkan Eurico dengan delik pembiaran (by omission) padahal selama proses pemeriksaan di persidangan, keterangan-keterangan saksi, bukti-bukti, serta penjelasan dari jaksa dalam requisatoir jelas mengarahkan bahwa perbuatan Eurico Guterres merupakan perbuatan langsung (by commission). Selain itu, putusan peninjauan kembali yang membebaskan Eurico Guterres dari hukuman, sesungguhnya juga mengafirmasi kritik David Cohen (2003) terhadap persidangan kasus Timor Timur sebagai pengadilan yang dimaksudkan untuk gagal (intended to fail). Majelis Hakim Peninjauan Kembali menganggap penyerangan yang dilakukan setelah apel akbar dianggap sebagai huru-hara, sehingga dinilai terjadi tanpa ada perencanaan terlebih dahulu. Padahal aksi pidato dan berkumpulnya massa dengan senjata lengkap serta mobilisasi menuju rumah korban mestinya menggambarkan suatu niat jahat dan actus reus dalam kejadian tersebut. 

Dalam putusan tersebut disebutkan pula bahwa serangan terhadap penduduk sipil tidaklah terbukti, pertimbangan tersebut bertolak belakang dengan pembuktian di pengadilan sebelumnya, bahwa mereka adalah pengungsi. Terjadi simplifikasi dalam proses peninjauan kembali, yang nampak ketika salah satu anggota Majelis Hakim mengatakan bahwa putusan bebas cukup beralasan, karena Abilio Soares (Gubernur Timor Timur), yang diadili dalam perkara lain juga diputus bebas. Padahal dari awal proses pemeriksaan, perkara Eurico Guterres dan Abilio Soares sudah dipisah, dan tak ada hubungan subordinat antara Abilio Soares dengan Eurico Guterres, mereka bukan atasan dan bawahan. Jadi tidak benar jika dikatakan Abilio Soares Gubernur Timor Timur adalah atasan dari Eurico Guterres, dan berlaku rantai komando (chain of command) di antara keduanya. Putusan PK ini mempertontonkan pertimbangan-pertimbangan yang cenderung dipaksakan.

Lebih jauh, pemberian penghargaan kepada Eurico Guterres hari ini merupakan pengkhianatan serius terhadap kemanusiaan dan moralitas, serta mengesampingkan keadilan korban. Pilihan itu menunjukkan bahwa pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin telah kehilangan legitimasi sebagai pemerintah yang memiliki kehendak baik sekaligus kehendak bebas. Menyitir maksim Immanuel Kant ihwal moralitas imperatif kategoris – bahwa “tindakan harus dilandasi dengan tujuan-tujuan moral yang objektif”. Sementara pemberian penghargaan ini jelas-jelas telah menempatkan korban semata-mata sebagai alat kekuasaan, bukan tujuan apalagi raison d’étre (alasan beradanya) pemerintahan ini. Langkah Presiden secara gamblang mempertontonkan banalitas kekuasaan yang menafikan pengalaman, aspirasi, serta upaya advokasi yang dilakukan oleh masyarakat sipil dan korban dalam mewujudkan nilai-nilai keadilan dan usaha mencegah keberulangan. Penghargaan terhadap Eurico Guterres menjadi preseden buruk bagi proses demokratisasi di Indonesia pasca-keluar dari belenggu otoritarianisme. Alih-alih, penghargaan tersebut justru membuktikan betapa mengakarnya praktik impunitas, bahkan setelah lebih dari dua dekade Reformasi.

Berdasarkan pertimbangan di atas, kami Aliansi Masyarakat Sipil dari beberapa organisasi di Indonesia dan Timor Leste, juga sejumlah individu, mendesak agar Presiden Joko Widodo mencabut kembali keputusannya memberikan penghargaan Bintang Jasa Utama kepada Eurico Guterres. Sebaliknya, Presiden Joko Widodo seharusnya mendorong dan memastikan perangkat pemerintahannya untuk segera mengambil langkah strategis, mendesak dan penting untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat secara menyeluruh. Pemerintah harus segera melaksanakan kewajibannya untuk memenuhi hak-hak korban atas kebenaran (the right to know the truth), hak korban atas keadilan (the right to justice), dan hak korban atas reparasi (the right to reparation). 

 

Jakarta, 12 Agustus 2021

 

Organisasi: ELSAM, AJAR, IMPARSIAL, IKOHI, KontraS, Sekber ‘65, SKP-HAM, KontraS Aceh, SPKP HAM Aceh, KontraS Surabaya, Pamflet Generasi, Acbit, HAK, JSMP, Fokupers, NVA

 

Individu: Roichatul Aswidah, Miryam Nainggolan, Sri Lestari Wahyuningroem, Uchikowati 

Untuk informasi lebih lanjut silakan menghubungi:
Miftah Fadhli (ELSAM)
Ardi Manto (IMPARSIAL)
Zaenal Mutaqqien (IKOHI)
Inocencio Xavier (AJAR)
Fatia Maulidiyanti (KontraS)