16 Tahun Damai Aceh, Apa Kabar MOU Helsinki?

Sudah 16 Tahun pasca penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), namun hingga saat ini penerapan MoU tersebut belum terealisasikan. Hal ini bisa terlihat dari stagnasinya proses penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Aceh sejak tahun 1976 – 2005 seperti: 

1.Belum ada tindak lanjut dari penyelidikan terpisah yang dilakukan Komnas HAM ke proses penyelidikan pro justisia terhadap kasus:

  • Peristiwa-peristiwa kekerasan yang terjadi selama penetapan status Daerah Operasi Militer (DOM) diberlakukan di Aceh tahun 1990-1998
  • Peristiwa Bumi Flora 9 Agustus 2001
  • Penghilangan Orang Secara Paksa di Bener Meriah sepanjang tahun 1990-2004

2. Stagnasi proses penyidikan Jaksa Agung atas peristiwa dugaan pelanggaran HAM berat di Aceh yang telah direkomendasikan oleh Komnas HAM seperti:

  • Tragedi Simpang Kertas Kraft Aceh di Lhokseumawe tahun 1999
  • Tragedi Jambo Keupok di Aceh Selatan tahun 2003
  • Tragedi Rumoh Geudong di Kabupaten Pidie sepanjang tahun 1989-1998

3. Proses pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi, meskipun pemerintah Aceh telah membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, namun badan tersebut kurang mendapatkan dukungan baik dari pemerintah pusat maupun daerah, hal ini bisa terlihat dari kewenangan yang terbatas yang dimiliki oleh KKR Aceh, serta ketiadaan payung hukum sebagai acuan mekanisme pengungkapan kebenaran pasca dibatalkannya Undang-Undang KKR Nomor 27 Tahun 2004 oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2006

Sejatinya MoU Helsinki ini muncul sebagai bentuk jalan keluar guna menyelesaikan konflik yang  tak berkesudahan antara Pemerintah Indonesia dan GAM yang mana dalam proses perundingan tersebut menghasilkan 71 poin yang mencakup pembahasan mengenai pembangunan ekonomi, bendera lambang Aceh, dan pengungkapan pelanggaran HAM yang lahir sebagai bentuk komitmen antara Pemerintah Indonesia dan GAM terkait penyelesaian konflik Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat. Faktanya sudah 16 Tahun berlalu sejak ditandatanganinya MoU Helsinki, pemerintah pun tak kunjung melaksanakan kewajibannya dalam pemenuhan hak-hak korban yang meliputi hak atas kebenaran, keadilan, reparasi dan jaminan tidak berulangnya kejahatan pada masa konflik Aceh.

Dalam MoU tersebut khususnya yang terkait dengan  proses penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Aceh tertuang secara jelas pada butir 2.2 yang menyatakan bahwa “Sebuah Pengadilan HAM akan dibentuk untuk Aceh”, kemudian pada butir 2.3 KKR Aceh akan dibentuk dengan tugas merumuskan dan menentukan upaya rekonsiliasi. Terkait poin kesepakatan sudah ada yang mulai direalisasikan oleh Pemerintah, yaitu pembentukan KKR Aceh, dimana Pemerintah Aceh juga telah mengeluarkan Qanun No. 17 Tahun 2013 tentang KKR Aceh sebagai landasan hukum pembentukan KKR Aceh, dan juga sudah diintegrasikan ke dalam Undang-Undang No.11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh (UUPA) pada pasal 229. Namun, proses pelaksanaannya belum juga menghadirkan keadilan dan pemulihan dari Negara.

Di sisi lain tepat dibulan yang sama yakni pada bulan Agustus, namun di tahun yang berbeda yakni 4 (empat) tahun sebelum ditandatanganinya MoU Helsinki, telah terjadi peristiwa Tragedi Bumi Flora, yang mana peristiwa tersebut sempat mendapatkan sorotan dari dunia internasional. Peristiwa ini merupakan sebuah peristiwa pembantaian tragis yang terjadi pada tanggal 9 Agustus 2001, di Aceh Timur yang diduga disebabkan oleh aksi balasan pihak aparat keamanan karena lebih dari 70 (tujuh puluh) anggota TNI meninggal dunia akibat ditembak oleh pasukan yang diduga gerilyawan GAM pada dini hari. 

Peristiwa tragedi Bumi Flora, merupakan salah satu dari sekian banyak kasus pelanggaran HAM Berat masa lalu yang terjadi di Aceh yang hingga kini belum terselesaikan, pasca 16 tahun ditandatanganinya MoU Helsinki. Penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM telah  menyimpulkan bahwa ada dugaan pelanggaran HAM berat berupa penangkapan, penyiksaan, penembakan sewenang-wenang yang menimbulkan banyaknya korban jiwa, sehingga terbitlah rekomendasi pembentukan tim ad hoc untuk melakukan penyelidikan pro-justicia. Namun, penyelidikan belum dapat diselesaikan hingga 2007 dan kasusnya terkesan mandek. Setidaknya ada 60 persen butir di dalam MoU Helsinki yang belum terealisasikan sehingga pembangunan di Aceh juga masih relatif stagnan. 

Terkait masih belum terealisasinya butir-butir pada MoU Helsinki, sudah ada beberapa pihak yang melakukan desakan kepada Pemerintah Pusat dan pihak lainnya yaitu seperti pada pada 29 Maret 2021 kemarin, dimana Juru bicara KPA Pusat (Komite Peuralihan Atjeh), Azhari Cage membacakan pernyataan sikap yang mendesak para Pemerintah untuk segera merealisasikan sejumlah butir MoU Helsinki yang masih belum terealisasikan. Hingga, ada juga desakan dari Ketua Komite Muallimin Aceh, Tengku Zulkarnaini Hamzah pada saat kongres Muallimin Aceh Sumatera tanggal 5 April 2021, yang turut dihadiri oleh Panglima GAM dan eks GAM Tripoli, yang menyampaikan pernyataan bahwa mereka mendesak pemerintah pusat untuk dapat menuntaskan visi damai antara GAM dan RI yang tertuang dalam butir-butir MoU Helsinki, agar perjanjian damai ini dapat terjaga dengan baik. Penyelesaian kasus yang berlarut-larut dan tidak kunjung menemui titik terang tentunya juga membuat para korban masih terkatung-katung menghadapi kesulitan hidupnya masing-masing mulai dari ekonomi, pendidikan, hingga pemulihan trauma.

 

Melihat masih belum adanya perkembangan terkait realisasi butir MoU Helsinki, maka kami menyerukan agar :

  1. Mendesak Pemerintah Pusat untuk melaksanakan poin-poin MoU Helsinki yang menjadi tanggung jawab Pemerintah dalam pemberian keadilan bagi korban pelanggaran HAM di Aceh.
  2. Mendesak Pemerintah Pusat untuk segera membuat instrumen hukum untuk memperkuat keberadaan KKR Nasional, serta Pemerintah Aceh untuk memperkuat kelembagaan KKR Aceh.
  3. Mendesak Jaksa Agung untuk segera melakukan penyidikan atas peristiwa-peristiwa dugaan pelanggaran HAM berat di Aceh yang telah direkomendasikan oleh Komnas HAM di antaranya adalah Tragedi Simpang Kertas Kraft Aceh, Tragedi Jambo Keupok, dan Rumoh Geudong.
  4. Komnas HAM untuk segera melanjutkan penyelidikan pro justisia terhadap peristiwa-peristiwa dugaan pelanggaran HAM berat selama kurun waktu operasi militer di Aceh, seperti peristiwa Bumi Flora, Penghilangan Orang Secara Paksa di Bener Meriah, dan peristiwa-peristiwa kekerasan yang terjadi selama penerapan status DOM diberlakukan di Aceh.

 

Jakarta. 13 Agustus 2021

 

KontraS

KontraS Aceh