Tahan dan Adili Segera Terduga Pelaku Penembakan Enam Anggota FPI

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mempertanyakan keputusan Kejaksaan yang tidak melakukan penahanan terhadap Briptu FR dan Ipda MYO yang merupakan tersangka kasus dugaan penembakan, yang mengakibatkan tewasnya Laskar Front Pembela Islam (FPI) di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek. 

Kami menduga keputusan Jaksa tersebut merupakan praktik lanjutan atas upaya “pengistimewaan” terhadap aparat keamanan yang terlibat dalam pelanggaran tindak pidana. Sebelum adanya keputusan Kejaksaan ini, diketahui kedua terduga pelaku tersebut juga tidak ditahan oleh Direktorat Tindak Pidana Umum (Dit Tipidum) Bareskrim Polri.

Berdasarkan informasi yang kami himpun, Kejaksaan tidak melakukan penahanan kepada kedua anggota tersebut karena beberapa alasan yang dianggap objektif diantaranya; Pertama, tersangka berstatus sebagai anggota Polri. Kedua, mendapatkan jaminan dari atasannya karena tidak akan melarikan diri serta akan kooperatif saat persidangan nanti.

Kami berpendapat, alasan Kejaksaan tersebut tidak memiliki alasan yang kuat dan justru alasan tersebut sesungguhnya dapat dijadikan pertimbangan untuk melakukan penahanan. Mengingat keduanya ialah anggota Polri aktif maka bukan tidak mungkin kekhawatiran adanya penghilangan atau pengkondisian barang bukti dapat terjadi.

Bahwa selain itu, perlu dicermati dugaan tindak pidana yang dilakukan terduga pelaku terjadi pada saat keduanya melakukan kerja-kerja pemolisian. Kami khawatir oleh karena para terduga pelaku masih aktif menjadi anggota Polri, perbuatan serupa dapat kembali terjadi.

Didasari pada penjelasan tersebut, kami menduga tidak ditahannya para terduga pelaku, semata-mata bukan karena pertimbangan objektif, melainkan pertimbangan subjektif dari aparat penegak hukum itu sendiri, yang mendasarkan keputusannya dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP.

Jika merujuk pada Pasal 21 ayat (4) KUHAP, yang merupakan alasan objektif terkait penahanan, pada intinya menyatakan penahanan dapat dilakukan apabila tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. Sedangkan dalam kasus ini, diduga memenuhi pertimbangan objektif tersebut, sebab para terduga pelaku dikenakan Pasal 338 KUHP Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 351 ayat (3) KUHP Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, yang secara keseluruhan pidana penjaranya lima tahun atau lebih.

Bahwa rupanya dugaan praktik “pengistimewaan” terhadap anggota Polri yang diduga melakukan tindak pidana, juga terjadi kepada dua anggota Polri yang diduga melakukan penganiayaan terhadap jurnalis Tempo, Nurhadi. Hal-hal seperti ini tentu tidak boleh dibiarkan terus terjadi karena mencederai rasa keadilan bagi korban/keluarga korban tindak pidana.

Berdasarkan catatan kami praktik-praktik semacam ini kerap terjadi di institusi kepolisian, sebagai contoh kasus dugaan penyiksaan terhadap Henry Alfree Bakari di Batam dan Sahbudin di Bengkulu. Atas peristiwa penyiksaan tersebut, anggota Polri yang diduga melakukan penyiksaan hanya diproses secara internal dan diberi hukum disiplin/etik, kemudian tidak berlanjut pada proses pemidanaan.

Berdasarkan uraian dan penjelasan di atas, kami mendesak:

  1. Kapolri melakukan evaluasi internal dan menghentikan dugaan praktik-praktik pengistimewaan terhadap anggota Polri yang sedang berhadapan dengan hukum;
  2. Kejaksaan Jakarta Timur untuk segera melakukan penahanan terhadap kedua anggota Polri aktif yang diduga melakukan  penembakan, yang mengakibatkan tewasnya Laskar Front Pembela Islam (FPI) di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek;
  3. Pengadilan Negeri Jakarta Timur segera mengadili para terduga pelaku dan membuka akses proses persidangan seluas-luasnya bagi publik sehingga dapat dilakukan pengawasan atas jalannya proses persidangan.

 

Jakarta, 02 Oktober 2021

Badan Pekerja KontraS

 

Fatia Maulidiyanti

Koordinator

 

Natahubung:

Andi Muhammad Rezaldy – 087785553228