37 Tahun Peristiwa Tanjung Priok dan 7 Tahun Janji Presiden yang Belum Terbukti

Tragedi Tanjung Priok (12 September 1984) menjadi salah satu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat yang terjadi di era totalitarianisme Orde Baru. Kejahatan kemanusiaan ini dilatarbelakangi supremasi ideologi sebagai kamuflase berbagai pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden Soeharto dan kroninya. Supremasi ideologi itu bernama “Asas Tunggal Pancasila” yang kemudian merepresi sejumlah komunitas yang mengimplementasikan ideologi lain seperti Islam.

Suara penolakan dari komunitas umat Islam di Tanjung Priok yang direspons dengan tindakan sewenang-wenang seorang anggota Babinsa bernama Hermanu di Mushola As-Sa’adah. Aksi-reaksi yang muncul setelahnya juga kemudian disikapi dengan berbagai pelanggaran HAM seperti penangkapan dan penahanan sewenang-wenang. Hingga ada inisiatif untuk menjemput ulama dan warga korban kriminalisasi yang justru menjadi momen dan arena pertumpahan darah. Berdasarkan data Komnas HAM ditemukan setidaknya terdapat 79 orang menjadi korban, 23 orang dinyatakan meninggal dunia dan 55 orang mengalami luka-luka dan, sementara ratusan orang ditangkap dan ditahan tanpa melalui proses hukum yang jelas serta beberapa orang dinyatakan hilang. 

Tragedi Tanjung Priok memang pernah dibawa dalam proses hukum. Pengadilan HAM ad hoc berlangsung di Jakarta dimulai pada tahun 2003. Di tingkat pertama, vonis bersalah kepada 12 orang terdakwa dan menginstruksikan Negara supaya memberikan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi kepada korban maupun keluarga korban. Namun sayangnya putusan tersebut dianulir dalam tingkat kasasi dan menyatakan ke-12 orang terdakwa dinyatakan bebas.

Potret gelap proses hukum bagi para korban dan tidak kunjung dihukumnya para pelaku yang dalam kasus ini masih menggantung bagi para penyintas dan keluarga korban sampai hari ini. Permasalahan yang menjadi rentetan dari buruknya proses pengadilan HAM ad-hoc untuk Tragedi Tanjung Priok diantaranya ialah soal tidak adanya proses pemulihan. UU 26/2000 menyandarkan mekanisme pemulihan korban seperti restitusi atau kompensasi pada putusan pengadilan, dengan demikian menutup hak pemulihan korban sampai ada pelaku yang diputus bersalah atas kasus Tanjung Priok 1984 oleh Pengadilan HAM.

Sudah 37 tahun berlalu, tak ada pemenuhan hak atas keadilan, kebenaran maupun pemulihan. Ini menjadi salah satu bukti bahwa janji politik Presiden Jokowi terkait penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu tidak kunjung direalisasikan oleh Negara. Friksi antara Negara, kelompok nasionalis dan komunitas Islam pun kian sengit dan menunjukkan gejolak dalam beberapa kesempatan. Salah satu penyebabnya adalah karena belum dituntaskannya Kasus Tanjung Priok 1984.

Oleh karenanya, dalam peringatan 37 tahun kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di Tanjung Priok, kami mendesak Presiden untuk:

  1. Memberikan pemenuhan terhadap hak-hak korban, penyintas dan keluarga korban berupa keadilan, pengungkapan kebenaran, pemenuhan kompensasi, rehabilitasi dan restitusi akibat kejahatan yang dilakukan oleh Negara dalam peristiwa Tanjung Priok;
  2. Membangun memorialisasi di ruang publik sebagai sebuah upaya pengungkapan fakta dan pencegahan keberulangan.
  3. Negara wajib memberikan kejelasan terkait status para korban yang hingga saat ini masih dinyatakan hilang, serta untuk segera meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa.

Jakarta, 12 September 2021

KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan)

IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia)