Laporan Freedom in the World 2020, menempatkan Indonesia pada 61 poin dengan kategori “bebas sebagian”. Bersamaan dengan itu, The Economist Intelligence Unit (EIU) merilis Laporan Indeks Demokrasi yang menempatkan Indonesia pada peringkat ke-64 dunia dengan skor 6.3 (turun dari skor 6.48). Skor terendah dalam 14 (empat belas) tahun terakhir.
Turunnya Indeks Demokrasi Indonesia selaras dengan temuan-temuan TAUD di lapangan utamanya terkait praktik kebebasan sipil yang menyusut. TAUD mencatat faktor determinan penyebab menurunnya kualitas demokrasi Indonesia, sebagai berikut;
Pertama, aspek Kebebasan Sipil. Catatan buruk kebebasan sipil ditandai dengan kriminalisasi terhadap ekspresi dan pendapat publik, hingga tindakan represi penuh kekerasan.
Pada 2019-2020, TAUD mencatat kriminalisasi aktivis, seperti;
Sebagai tambahan, TAUD juga mencatat kriminalisasi lain pada 2021, yakni:
Kriminalisasi yang dialami masyarakat sipil sepanjang 2019-2020, TAUD mencatat beberapa aksi warga dan pelajar/mahasiswa berujung pada pembubaran paksa dengan tindakan kekerasan oleh aparat kepolisian. Misalnya:
Fenomena pelanggaran terhadap hak atas kebebasan berekspresi tidak hanya terjadi di ruang- ruang fisik, namun juga terjadi di ruang-ruang digital melalui berbagai kasus seperti peretasan, intimidasi, doxing sampai penyiksaan di ruang siber terhadap individu yang menyampaikan kritik, mengadakan diskusi, atau mempublikasikan berita yang memprotes atau mengkritisi kebijakan pemerintah. Beberapa diantaranya seperti kasus peretasan akun whatsapp Ravio Patra, peretsan website Tempo.co dan Tirto.id hingga cyber patrol yang dilegitimasi melalui Surat Kapolri.
Kedua, aspek Partisipasi Publik. Pembentukan kebijakan yang bercirikan 2 aspek, pertama tidak mengakomodasi kepentingan rakyat, kedua, terbengkalainya rancangan kebijakan pro- rakyat. Kebijakan minus kepentingan rakyat jelas terlihat pada Revisi UU KPK yang tidak menimbang KPK sendiri, lalu RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang menyingkirkan organisasi buruh dari proses dan substansi kebijakannya, serta pembatasan kegiatan selama pandemi Covid-19 (PPKM) yang tidak memikirkan kondisi ekonomi rakyat yang terdampak. selain itu terdapat UU No. 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional (UU PSDN) untuk Pertahanan Negara, Pembentukan UU ini bukan hanya tidak urgen, tetapi secara substansi juga memiliki sejumlah pengaturan yang problematik, seperti tidak mengadopsi secara penuh prinsip HAM dalam pembentukan Komponen Cadangan, potensial disalahgunakan untuk menguasai sumber daya alam termasuk yang dimiliki dan dikelola oleh perseorangan maupun sektor swasta, bertentangan dengan prinsip sentralisme anggaran, penguatan eksistensi milisi- milisi sipil di masyarakat, dan lain sebagainya. Regulasi lain adalah revisi UU Terorisme yang telah disahkan menjadi UU No. 5 tahun 2018 juga menghambat reformasi TNI, yakni terkait Pelibatan TNI dalam penanganan terorisme. Pelibatan TNI dalam penanganan terorisme sebenarnya belum diperlukan karena institusi penegak hukum masih mampu menangani aksi terorisme yang ada. Pelibatan TNI baru dapat dilakukan ketika kondisi ancaman sudah kritis dan institusi penegak hukum sudah tidak dapat menanganinya. Lebih dari itu, pelibatan TNI dalam UU terorisme yang baru ini berpotensi menggeser kebijakan penanganan terorisme menjadi eksesif serta keluar dari koridor penegakan hukum (criminal justice system). Sebaliknya, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU Masyarakat Adat, RUU Perlindungan Data Pribadi, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga tidak pernah masuk prioritas pembahasan bahkan kian dikebiri substansinya.
Ketiga, aspek Supremasi Hukum. Kondisi peradilan yang semakin korup, ditambah penindakan aparat hukum yang semakin timpang, menjadi bukti Supremasi Hukum berada pada titik nadir. Perbedaan perlakuan aparat kepolisian dan Satpol PP selama menindak pelanggar PPKM beberapa kali viral di media sosial, di mana pedagang kaki lima atau acara keluarga level bawah dibubarkan dengan kekerasan dan pengrusakan, sementara restoran dan acara keluarga di level atas (pejabat dan pengusaha) tidak ditindak. Selain itu, vonis ringan Terpidana Kasus Mega-Korupsi menjadi tren, seperti Jaksa Pinangki, Joko Chandra, Menteri Sosial dan Menteri Perikanan & Kelautan, dll.
Selain itu, reformasi sistem peradilan militer hingga kini belum dijalankan melalui melalui perubahan UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Padahal, agenda ini merupakan salah satu jantung dari reformasi TNI. Selama reformasi peradilan militer belum dilakukan, maka selama itu pula bisa dikatakan bahwa reformasi TNI belum selesai. Dengan UU ini, TNI memiliki rezim hukum sendiri dimana anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum diadili di peradilan militer. Dalam praktiknya, peradilan militer menjadi sarana impunitas bagi anggota militer yang melakukan tindak pidana. Kalaupun ada hukuman terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana, sanksinya kadang kala tidak maksimal. Reformasi peradilan militer sesungguhnya adalah mandat dari UU No. 34/2004 tentang TNI. Pasal 65 Ayat (2) UU TNI menyebutkan bahwa “prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang”.
Selain itu, upaya mewujudkan reformasi peradilan militer merupakan sebuah kewajiban konstitusional yang harus dijalankan pemerintah dan parlemen. Upaya mengubah peradilan militer adalah suatu langkah konstitusional untuk menerapkan prinsip persamaan di hadapan hukum secara konsisten {Pasal 27 Ayat (1) juncto Pasal 28 Huruf d Ayat (1) UUD 1945}. Konsekuensi dari penerapan asas hukum tersebut adalah bahwa anggota militer yang melakukan tindak pidana umum perlu diadili dalam peradilan yang sama dengan warga negara lain yang melakukan tindak pidana umum, yakni melalui mekanisme peradilan umum.
Berdasarkan Pemantauan TAUD terdapat beberapa kasus Tindak Pidana yang dilakukan oleh Prajurit TNI; “kasus penyiksaan orang asli papua (OAP) dengan disabilitas oleh 2 Prajurit TNI AU, Penyiksaan anak yang dituduh mencuri oleh Prajurit TNI di NTT, Penganiayaan terhadap Lurah Asuhan Pematang Siantar oleh Prajurit TNI saat operasi Yustisi, Penganiayaan 2 wartawan media online oleh Prajurit TNI di, Banjar, Jawa Barat.”
Keempat, aspek Penuntasan Kasus Pelanggaran HAM. Pemerintah Indonesia tidak memiliki keseriusan untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Berdasarkan hasil penyelidikan pro-justisia Komnas HAM, terdapat 9 (sembilan) kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang masih menggantung di Kejaksaan Agung. Selain itu Pemerintah juga tidak memiliki komitmen yang serius untuk mengungkap dan menuntaskan kasus Pembunuhan Aktivis HAM Munir Said Thalib yang sudah 17 Tahun dibiarkan menggantung. Selain itu, KOMNAS HAM menemukan Pelanggaran HAM dalam proses TWK untuk Pegawai KPK yang mengakibatkan 57 orang pegawai KPK yang selama ini menangani kasus mega-korupsi harus diberhentikan pada Oktober 2021.
Uraian di atas menunjukkan bahwa Demokrasi di Indonesia sedang dalam fase yang buruk. Untuk itu TAUD mendesak;
(1). Pemerintah dan DPR RI membuka ruang partisipasi masyarakat sipil yang seluas- luasnya untuk mengembalikan kedaulatan di tangan rakyat;
(2). Pemerintah dan DPR RI menghapus pasal-pasal serta peraturan perundang-undangan yang menghambat kebebasan pers, kemerdekaan berpendapat dan berekspresi, serta kemerdekaan mimbar akademik;
(3). Pemerintah dan DPR RI segera membahas dan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU Masyarakat Adat, RUU Perlindungan Data Pribadi, RUU Perlindungan Pekerja Rumah dan memastikan keterlibatan masyarakat sipil seluas- luasnya;
(4). Presiden Republik Indonesia melalui Kejaksaan Agung Republik Indonesia segera melakukan penuntasan semua kasus-kasus Pelanggaran HAM;
(5). Presiden Republik Indonesia memerintahkan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia agar menghormati kebebasan berekspresi dan berpendapat dan menghentikan segala bentuk kriminalisasi dan/atau ancaman kriminalisasi terhadap masyarakat sipil;
(6). Presiden Republik Indonesia selaku pemegang kekuasaan tertinggi pemerintahan dan selaku pejabat pembina kepegawaian tertinggi untuk mengambil alih seluruh proses penyelenggaraan asesmen TWK pegawai KPK dan menghentikan segala upaya penyingkiran terhadap 57 Pegawai KPK;
(7). Presiden Republik Indonesia memerintahkan Moeldoko (Kepala Kantor Staf Presiden) dan Luhut Binsar Panjaitan (Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi) menghentikan segala bentuk kriminalisasi dan ancaman kriminalisasi terhadap partisipasi masyarakat sipil;
(8). Presiden Republik Indonesia memerintahkan semua menteri di kabinetnya untuk menghormati dan tidak bertindak represif terhadap kritik yang disampaikan oleh masyarakat sipil;
(9). Kepala Kepolisian Republik Indonesia memerintahkan kepada seluruh jajaran dibawahnya untuk menghentikan segala bentuk kekerasan, penangkapan, dan/atau kriminalisasi terhadap masyarakat yang menyampaikan ekspresi dan pendapat dan menyeret semua anggota kepolisian yang diduga melakukan tindak pidana dalam pengamanan aksi demonstrasi;
(10). Panglima TNI Republik Indonesia memerintahkan jajaran dibawahnya untuk menghentikan segala bentuk kekerasan yang dilakukan oleh prajurit TNI terhadap masyarakat dan menyeret prajurit TNI yang melakukan dugaan tindak pidana ke peradilan umum;
Hormat kami,
(LBH Jakarta, LBH Masyarakat, KontraS, IMPARSIAL, LBH Pers, PBHI)
Narahubung: