22 Tahun Tragedi Semanggi II: Negara Bukan Menghadirkan Keadilan Justru Keberulangan Pelanggaran Kemanusiaan

Tragedi Semanggi II (24 September 1999) menjadi salah satu pelanggaran HAM berat yang relevan dengan kondisi kebebasan berekspresi hari ini. Peristiwa ini terjadi saat maraknya aksi mahasiswa dan masyarakat yang menentang Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB) pada tahun 1999. Penyusunan regulasi tersebut mengancam keberlangsungan agenda reformasi utamanya tentang poin penghapusan agenda dwifungsi ABRI. Peristiwa tersebut menyebabkan 11 (sebelas) korban meninggal dunia dan 217 korban luka-luka sebagaimana hasil penyelidikan Komnas HAM. Setelah 22 tahun berlalu, belum ada upaya penuntasan dengan maksimal baik dari segi hukum, pengungkapan fakta, pemulihan keluarga korban maupun jaminan ketidakberulangan.
Jaminan ketidakberulangan bahkan gagal dipenuhi oleh Negara dengan terjadinya sejumlah peristiwa serupa Tragedi Semanggi II, seperti aksi #ReformasiDikorupsi (24 – 30 September 2019) yang sedikitnya menyebabkan 5 orang tewas, juga pada aksi untuk menentang Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja yang eskalasinya meningkat pesat pada Oktober 2020. Serangkaian peristiwa tersebut menunjukkan aparat negara masih represif, tidak memperhatikan HAM, dan tidak belajar pada penanganan aksi massa pada Tragedi Semanggi II. 

Terlebih lagi, proses hukum yang menjadi syarat terpenuhinya rasa keadilan bagi para keluarga korban juga terus menjumpai kendala. Bolak-balik berkas antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung dan membuat proses penyelesaian terus terkatung-katung. Negara yang diwakili oleh Kejaksaan Agung tak kunjung menuntut pelaku ke pengadilan. Bahkan dalam kesempatan rapat kerja bersama Komisi III DPR RI di 16 Januari 2020, Jaksa Agung mengeluarkan pernyataan kontroversial seputar Tragedi Semanggi I dan II. Pernyataan keliru ini digugat oleh perwakilan keluarga korban dan organisasi masyarakat sipil yang terhimpun dalam Koalisi Keadilan Untuk Semanggi I dan II lewat mekanisme peradilan tata usaha negara. Meski sempat dimenangkan oleh PTUN Jakarta, keluarga korban justru diberikan kekecewaan sebab proses banding dan kasasi yang berlangsung hingga September 2021 justru memenangkan pihak Jaksa Agung.

Keadilan yang tak kunjung dipenuhi oleh Negara yang juga beriringan dengan masih berlangsungnya pelanggaran terhadap kemanusiaan dalam situasi penanganan aksi massa menjadi indikator buruk perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM di Indonesia. Terjadi pelanggaran tapi tidak ada penyelesaian hingga pemulihan para keluarga korban dan seluruh warga negara. Untuk tidak semakin panjangnya berbagai dampak buruk dari situasi ini, kami mendesak Presiden Joko Widodo untuk:

  1. Segera menempuh proses hukum pelanggaran HAM berat Tragedi Trisakti, Semanggi I dan II sebagaimana yang dinyatakan dalam Laporan Penyelidikan Komnas HAM.
  2. Memenuhi rasa keadilan kepada para keluarga korban Tragedi Trisakti, Semanggi I dan II serta seluruh Warga Negara Indonesia.
  3. Mengevaluasi Kepolisian dan aparat negara yang bertugas menangani aksi massa guna mencegah berulangnya tindak kekerasan dan pelanggaran HAM secara sewenang-wenang.

 

Jakarta, 24 September 2021

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)