Pasca 2 Tahun Reformasi Dikorupsi: Aktor Kekerasan Berlindung Dibalik Jubah Kekuasaan

Dua tahun lalu di bulan September 2019, tentunya masih segar dalam ingatan kita, aksi nasional #ReformasiDikorupsi #RakyatBergerak #TuntaskanReformasi yang dimulai sejak 23 September 2019 di berbagai kota besar di Indonesia antara lain, Malang, Surabaya, Yogyakarta, Makassar, Palembang, Medan, Semarang, Bandung, Denpasar, Kendari, Tarakan, Samarinda, Banda Aceh, Palu dan Jakarta. Mosi tidak percaya mahasiswa disampaikan dengan lantang kepada Dewan Perwakilan Rakyat lantaran parlemen menutup mata dan telinga atas seluruh kritik aspirasi masyarakat serta terus melakukan tindakan yang sangat merugikan rakyat Indonesia. Dalam aksi demonstrasi tersebut, DPR bahkan menolak untuk menemui mahasiswa.

Aksi nasional dengan 7 Desakan yang mempersatukan berbagai macam elemen mulai dari mahasiswa, buruh, tani, nelayan, dan pelajar dilawan dengan aksi brutal dan kekerasan oleh aparat keamanan dengan penggunaan kekuatan yang tidak perlu atau berlebihan (unnecessary or excessive use of force). Ketika masyarakat sebagai pemilik kedaulatan menunjukkan ketidaksetujuannya secara terbuka justru dibalas oleh negara melalui aparat penegak hukumnya dengan tindakan yang brutal. Agar perlawanan warga padam sehingga negara dapat dengan leluasa mengeluarkan aturan dan kebijakan yang bertentangan dengan nalar publik tersebut.

Selanjutnya, aksi demonstrasi berakhir dengan diwarnai kekerasan yang dilakukan aparat dengan menggunakan kekuatan yang berlebihan hingga penangkapan sewenang-wenang terhadap massa aksi. Tidak sedikit beredar video tindakan represif yang dilakukan oleh aparat penegak hukum terhadap mahasiswa di media sosial. Atas peristiwa tersebut, terdapat 5 masa aksi yang meninggal dunia, yaitu Immawan Randi dan Yusuf Kardawi yang merupakan mahasiswa Universita Halu Oleo; seorang pemuda asal Tanah Abang yang bernama Maulana Suryadi; serta dua orang pelajar bernama Akbar Alamsyah dan Bagus Mahendra. Berangkat dari Kasus-kasus tersebut, hingga saat ini aparat penegak hukum belum mampu mengungkap secara tuntas baik aktor lapangan hingga aktor intelektual. Tim Advokasi untuk Demokrasi juga sempat menerima setidaknya 390 aduan terkait adanya tindak kekerasan yang dilakukan aparat dalam aksi tersebut.

Berdasarkan catatan dari Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) Aksi menolak Revisi KUHP dan Revisi UU KPK di Jakarta menyebabkan 88 orang luka dan dilarikan ke Rumah Sakit Pusat Pertamina dan 2 orang menderita luka pada bagian kepala, ditambah 390 pengaduan korban kekerasan aparat Kepolisian antara lain 201 korban merupakan mahasiswa, 50 korban merupakan pelajar, 13 korban berasal dari karyawan, 3 korban pedagang, 2 aduan pegawai lepas 2, dan 1 aduan dari pengemudi ojek daring.

Dua tahun berlalu, 7 Desakan yang dikumandangkan belum terpenuhi, bahkan demokrasi hari ini semakin parah. Turunnya Indeks Demokrasi Indonesia selaras praktik kebebasan sipil yang menyusut.  Catatan buruk kebebasan sipil ditandai dengan kriminalisasi terhadap ekspresi dan pendapat publik, hingga tindakan represi penuh kekerasan. Pada 2019-2020, menurut catatan Tim Advokasi Untuk Demokrasi terjadi kriminalisasi aktivis, seperti 6 Aktivis Papua, Dandhy Dwi Laksono, Robertus Robet, Ananda Badudu, Pengacara Aliansi Mahasiswa Papua, Veronica Koman, dan Ravio Patra. Tidak berhenti pada penanganan aksi yang represif pada tahun 2019 lalu, saat aksi demonstrasi menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja pada Oktober 2020 juga aparat keamanan juga tidak lepas dari melakukan tindakan represif dan penangkapan sewenang-wenang  kepada massa aksi. Selain itu, kriminalisasi atas penolakan Omnibus Law Cipta Kerja juga tidak luput terjadi. 

Ketiadaannya upaya yang dilakukan oleh negara dalam menuntaskan tindakan represif tersebut mencerminkan lemahnya perlindungan bagi masyarakat dalam menyampaikan suara dan aspirasinya. Padahal konstitusi Indonesia sendiri memberikan perlindungan  atas hak kebebasan berpendapat melalui rumusan Pasal 28E ayat (3) UUD NRI 1945 sebagai salah satu hak konstitusional warga negara. Berbagai tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam penanganan aksi demonstrasi menimbulkan ketakutan besar bagi masyarakat sehingga banyak diantaranya memilih untuk bungkam dan membiarkan Pemerintah bertindak sewenang-wenang di atas haknya. Pada akhirnya, negara yang seharusnya menjadi wakil dan pelayan rakyat hanya semakin memperkuat mosi tidak percaya rakyat terhadap pemerintah dan semakin mengkorupsi reformasi. Adalah yang memilukan ketika  negara yang menganut demokrasi, pemerintahnya memilih untuk bersikap apatis, menutup suara akan aspirasi rakyatnya, bahkan membungkam keadilan. Semakin mengecewakan lagi bahwa hingga saat ini, pemerintah masih absen dalam memenuhi tanggung jawabnya untuk mengusut tuntas peristiwa tersebut.

Berdasarkan hal tersebut, Tim Advokasi untuk Demokrasi mendesak :

  1. Presiden Republik Indonesia memerintahkan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia agar menghormati kebebasan berekspresi dan berpendapat dan menghentikan segala bentuk kriminalisasi dan/atau ancaman kriminalisasi terhadap masyarakat sipil dan memastikan jaminan ketidak berulangan;
  2. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia agar melaksanakan fungsi pengawasan dan mengevaluasi kinerja kepolisian yang melakukan pelanggaran HAM berdasarkan Peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  3. Kepala Kepolisian Republik Indonesia memerintahkan kepada seluruh jajaran dibawahnya untuk menghentikan segala bentuk kekerasan, penangkapan, dan/atau kriminalisasi terhadap masyarakat yang menyampaikan ekspresi dan pendapat dan menyeret semua anggota kepolisian yang diduga melakukan tindak pidana dalam pengamanan aksi demonstrasi;
  4. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia memerintahkan jajarannya untuk mengungkap dan menuntaskan berbagai kasus kekerasan yang terjadi dalam penanganan aksi demonstrasi termasuk  upaya Paksa Penangkapan, Penahanan, Penyitaan dan Pemeriksaan yang tidak berdasarkan peraturan perundang-undangan. Bahwa pengungkapan dan penindakan tidak hanya terbatas pada aktor lapangan melainkan harus juga menyasar pada anggota pengendali lapangan (komandan kompi atau komandan batalyon),  komandan kesatuan sebagai pengendali teknis dan yang terakhir ialah Kapolda selaku  penanggungjawab pengendalian taktis;
  5. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia segera melakukan pemantauan hingga penyelidikan terkait kasus kekerasan dalam penanganan aksi demonstrasi yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir;

 

Jakarta, 26 September 2021

Tim Advokasi untuk Demokrasi

 

Narahubung :

  1. Adelita Kasih (KontraS);
  2. Oky Wiratama Siagian (LBH Jakarta).