Jakarta, 27 September 2021 – Terkait dengan pelaporan Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti dan Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan. Kami, organisasi masyarakat sipil di Indonesia menuntut:
1. Polda Metro Jaya untuk menghentikan proses pemidanaan terhadap Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar.
2. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan untuk mencabut pelaporan pada Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar.
Keduanya dilaporkan secara pidana dan perdata pada 22 September 2021 ke Polda Metro Jaya.
Pejabat Publik memiliki fungsi untuk menyejahterakan, melindungi dan mempromosikan hak-hak warga negaranya. Pelaporan yang dilakukan oleh Menko Marves Luhut jelas bertentangan dengan fungsi tersebut. Pelaporan ini justru menjadi bentuk kriminalisasi terhadap Pembela HAM.
Fatia merupakan perempuan pembela HAM yang telah bekerja untuk membela hak-hak kelompok rentan di masyarakat. Begitu juga Haris yang telah memiliki rekam jejak yang panjang sebagai pembela masyarakat yang hak-haknya dilanggar. Sebelumnya, mereka mendapatkan dua kali somasi atas dialog di kanal Youtube NgeHAMtam milik Haris Azhar yang mendiskusikan mengenai kajian “Ekonomi Politik Penempatan Militer di Papua Kasus Intan Jaya” yang dibuat oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil. Sehingga tindakan yang dilakukan oleh Fatia dan Haris merupakan bentuk pengawasan dan kontrol masyarakat sipil kepada pejabat publik yang didasari pada temuan riset.
Penggunaan UU ITE untuk Membungkam Kritik
Penggunaan pasal karet dalam UU ITE menjadi senjata yang terus digunakan oleh penguasa untuk mengkriminalkan dan membungkam kritik masyarakat sipil. Kondisi ini tidak sejalan dengan seruan Presiden pada bulan Februari 2021 yang mengatakan bahwa UU ITE sarat dengan substansi yang dapat merampas rasa keadilan masyarakat sehingga perlu direvisi. Sangat disayangkan, ternyata UU ini digunakan oleh Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan untuk melaporkan dua aktivis HAM. Selain itu, Fatia dan Haris juga digugat secara perdata sebesar Rp 100 miliar.
Dalam proses pelaporan Fatia dan Haris, Menko Marves Luhut menyampaikan ia paham bahwa kebebasan berpendapat dihargai di negara demokrasi seperti Indonesia. Namun, sebagai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, seharusnya Luhut adalah orang yang paling mengerti bahwa tidak pernah mudah untuk menyoal tentang politik investasi di Republik Indonesia, apalagi ketika menyangkut tentang Papua. Kejadian ini juga mengulang bagaimana kritik tidak dihiraukan oleh pemangku kepentingan dalam proses pengesahan Undang Undang Cipta Kerja yang sarat dengan kepentingan investasi. Padahal jutaan masyarakat Indonesia telah menyampaikan kritik terhadap proses dan substansi Undang-Undang tersebut.
Sehingga, alih-alih mempraktekkan kebebasan absolut seperti yang Menko Luhut sampaikan dalam pelaporan, masyarakat di Republik ini masih harus terus berjuang untuk meraih kebebasannya, termasuk dalam hal ini adalah Fatia dan Haris.
Apa yang menimpa Fatia dan Haris, sekaligus menambah daftar panjang kriminalisasi terhadap aktivis dan pejuang rakyat. Sebelumnya juga ada pejabat publik yang melaporkan 2 (dua) orang peneliti ICW atas hasil risetnya. Apabila hal seperti ini terus dibiarkan, maka dikhawatirkan memperburuk situasi HAM di Indonesia. Sulit untuk menjamin warga terhindar dari ancaman kriminalisasi kedepannya. Jika proses demokrasi berlangsung tanpa kritik, Bangsa Indonesia akan mengalami kemunduran dari apa yang sudah diraih di masa reformasi. Padahal masih banyak cita – cita reformasi yang belum digapai. Peristiwa getir ini mempertegas bahwa reformasi sejatinya telah dikorupsi.
Menko Marves Luhut juga menyampaikan bahwa alasan pelaporan Fatia dan Haris adalah untuk mempertahankan nama baiknya ke anak dan cucu. Sebagai Menteri yang terpilih melalui sistem demokrasi di Indonesia ini, Menko Marves Luhut sangat penting untuk mengerti bahwa terdapat tanggung jawab yang lebih besar untuk disampaikan pada generasi muda termasuk anak dan cucu Menko Marves Luhut, bahwa demokrasi di Indonesia bukanlah imaji. Salah satu indikatornya adalah ketika terdapat jaminan perlindungan untuk menyampaikan pendapat dan kritik dari seluruh lapisan masyarakat.
Kami Bersama Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar:
Dukungan Individu
Kontak Narahubung : 0813-8872-5150