Pelantikan Komponen Cadangan: Produk Orde Baru Gaya Baru

Pada hari Kamis (7/10/2021), Presiden Jokowi menghadiri upacara penetapan 3.103 orang sebagai Komponen Cadangan (Komcad) di Pusdiklat Kopassus Batujajar, Jawa Barat. Sebelum ditetapkan menjadi anggota Komcad, para peserta telah dididik, dilatih dan kemudian dilantik di Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Kopassus dalam kurun waktu tiga bulan. Adapun beberapa poin yang disampaikan Presiden Jokowi dalam pidatonya yakni masa aktif Komcad tidak setiap hari, masa aktif Komcad hanya pada saat latihan dan mobilisasi, Komcad harus selalu siaga jika dipanggil Negara, Komcad dimobilisasi oleh presiden dengan persetujuan DPR, dengan komando dan kendali berada di bawah Panglima TNI, Komcad diperuntukkan hanya untuk kepentingan pertahanan, ​​Komcad dikerahkan bila negara dalam keadaan darurat militer/perang. 

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai pelantikan komcad tersebut sebagai langkah yang terburu-buru dan tidak mendesak, bahkan Pemerintah seolah tidak memiliki sense of crisis (rasa kepekaan terhadap situasi krisis) ditengah situasi Pandemi Covid-19 yang belum mereda. Selain itu, saat ini permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional (UU PSDN) tengah berlangsung di Mahkamah Konstitusi. Koalisi menilai bahwa beberapa substansi pasal UU PSDN bermasalah secara hukum, bertentangan dengan konstitusi dan melanggar prinsip dan nilai dasar HAM. Pembentukan Komcad juga memiliki sejumlah permasalahan serius bagi tata kelola negara demokrasi dan sistem pertahanan-keamanan negara. 

Berpijak pada hal tersebut, Koalisi kembali mengkritisi beberapa poin penting yang disampaikan oleh Presiden dalam kesempatan pelantikan Komcad:

Pertama, dalam pidatonya, Presiden Jokowi mengatakan bahwa komcad hanya digunakan untuk kepentingan darurat militer atau perang. Namun faktanya, UU PSDN sebagai dasar hukum pembentukan komcad mengatur penggunaan Komcad tidak hanya untuk menghadapi ancaman perang melainkan untuk menghadapi ancaman hibrida yang definisinya tidak dijelaskan dalam UU PSDN. Hal ini sekaligus memperlihatkan Presiden tidak memahami substansi dari UU PSDN. Adapun pengaturan ancaman yang dimaksud dalam UU PSDN ruang lingkupnya terlalu luas. Kami mengkhawatirkan bahwa Komcad akan dengan mudah dimobilisasi untuk kepentingan yang tidak mendesak.

Selain itu, pernyataan ini juga akan kontradiktif dengan situasi dan kondisi pertahanan. Indonesia memiliki sejumlah aktor pertahanan dan keamanan negara yang masih jauh dari kata ideal seperti TNI, Polisi, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Intelijen Negara (BIN), dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang jauh lebih perlu mendapatkan penguatan anggaran ketimbang pembentukan Komcad yang menghabiskan anggaran yang tidak sedikit. Pembentukan Komcad sejatinya menunjukkan adanya ketidakteraturan dalam menentukan prioritas agenda reformasi sektor keamanan.

Kedua, Koalisi menilai Komcad merupakan upaya militerisasi terhadap warga sipil yang mana berpotensi membahayakan kehidupan warga sipil di Indonesia. Pemerintah semestinya belajar bahwa militerisasi terhadap warga sipil berpotensi menimbulkan konflik bernuansa kekerasan antar sesama warga negara sebagaimana terjadi pada konflik Timor-timur dimana milisi sipil bentukan pemerintah berhadap-hadapan dengan warga sipil dan Pamswakarsa pada tahun 1998 berhadap-hadapan dengan masyarakat sipil pro demokrasi.

Ketiga, Presiden dalam pidatonya juga menyampaikan terima kasih kepada peserta Komcad yang telah mendaftar secara sukarela, dan mengikuti proses seleksi serta pelatihan dasar kemiliteran secara sukarela. Kami memandang pernyataan ini tidak sepenuhnya benar mengingat UU PSDN justru mengabaikan prinsip kesukarelaan itu sendiri dimana UU PSDN tidak menyebutkan mekanisme pengunduran diri dan penolakan terhadap mobilisasi yang bertentangan dengan hati nuraninya.

Alih-alih mengatur hal tersebut, dalam Pasal 18, Pasal 66 ayat (1), Pasal 77, Pasal 78, dan Pasal 79 UU PSDN justru memberikan sanksi pidana bagi setiap orang yang menjadi Komcad menghindari panggilan mobilisasi yang ancaman hukumannya mencapai 4 tahun. Selain itu, bagi setiap orang yang membuat Komcad tidak memenuhi panggilan mobilisasi juga terancam hukuman penjara dua tahun. Hal ini tentu menyalahi prinsip conscientious objection (hak untuk menolak atas dasar keyakinannya) yang merupakan prinsip utama dalam pelibatan warga sipil dalam pertahanan di berbagai negara yang sudah diakui dalam norma HAM internasional. Komcad harus memiliki hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan dan kebebasan berpikir sebagaimana dijamin di dalam konstitusi. 

Keempat, kami memandang pelantikan terhadap 3000an Komcad di tengah krisis multidimensi akibat pandemi Covid-19 seperti saat ini juga tidak tepat dan kontradiktif dengan kebijakan penanganan Covid-19 oleh pemerintah. Proses rekrutmen dan pelatihan Komcad di masa pandemi, sudah tentu berpotensi besar menyebabkan cluster baru yang dapat menambah jumlah angka positif Covid-19. Pemerintah seharusnya lebih peka, di tengah warga masyarakat diimbau untuk terus tinggal di rumah dan tidak berkerumun sehingga mempengaruhi ekonomi warga masyarakat, pemerintah justru menyelenggarakan kegiatan dengan peserta hingga ribuan orang seperti pelantikan Komcad beberapa waktu lalu. 

Kelima, Koalisi menilai pemerintah tidak konsisten dengan kebijakan refocusing anggaran kepada seluruh Kementerian dan Lembaga Negara untuk pengendalian wabah COVID-19. Di tengah pandemi yang tidak kunjung selesai dan sangat diperlukannya bantuan ekonomi dan kesehatan terhadap warga dari kelompok marjinal, rentan, dan tidak mampu. Pemerintah seharusnya memprioritaskan anggaran negara untuk mengatasi situasi pandemi alih-alih melakukan rekrutmen komcad. Dengan demikian, anggaran pelatihan komcad yang disebutkan sekitar 1% (satu persen) anggaran pertahanan atau sekitar Rp. 1,37 triliun untuk tahun anggaran 2021, lebih baik dialihkan pada usaha penanganan pandemi COVID-19 yang jauh lebih mendesak, seperti perkuatan sistem kesehatan nasional dan sistem jaminan kesehatan universal nasional, memperluas rekrutmen tenaga kesehatan profesional, menetapkan kebijakan tes PCR secara lebih masif, atau setidak-tidaknya menggratiskan tes guna mendeteksi sebaran COVID-19 secara lebih merata. Sebagaimana kebijakan negara-negara seperti Prancis, Denmark, Singapura, dimana tes PCR ditanggung oleh pemerintah.

Jakarta, 9 Oktober 2021

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan

 

Narahubung :

  1. Hussein Ahmad (Imparsial)
  2. Muhammad Busyrol Fuad (ELSAM)
  3. Chikita Edrini (PBHI)
  4. Ahmad Fathonah Haris  (LBH Pers) 
  5. Adelita Kasih (KontraS)