Tindak Tegas Aksi Brutal Aparat di Depan Kantor Bupati Kabupaten Tangerang

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam keras aksi represif yang dilakukan oleh anggota Polresta Tangerang pada tanggal 13 Oktober 2021 saat melakukan pengamanan aksi unjuk rasa sekelompok mahasiswa di depan Kantor Bupati Kabupaten Tangerang. Dari video yang beredar telah menampilkan tindak kekerasan yang melibatkan seorang anggota Kepolisian saat melakukan pengamanan aksi massa. Dalam video tersebut, seorang mahasiswa ditangkap, kemudian dibanting ke trotoar jalan. Adapun mahasiswa tersebut sempat  mengalami kejang-kejang dan sempat tidak sadarkan diri.[1] Aksi kekerasan yang dilakukan oleh anggota kepolisian tersebut tentu mencerminkan brutalitas kepolisian dan bentuk penggunaan kekuatan secara berlebihan dalam penanganan aksi masa.

Sejatinya proses penggunaan kekuatan oleh pihak kepolisian dapat diperbolehkan, hanya saja harus mengacu pada Peraturan Kapolri No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian. Di dalam Perkap tersebut penggunaan kekuatan oleh pihak kepolisian harus seusi dengan prinsip-prinsip necesitas, legalitas, dan proporsionalitas, serta masuk akal (reasonable).

Berkaca pada peristiwa penanganan masa aksi tersebut, kami melihat bahwa tindakan yang dilakukan oleh anggota kepolisian dalam video tersebut tentu tidak berdasar asas necesitas, dimana dalam video tersebut, terlihat jelas bahwa mahasiswa yang ditangkap sudah dalam kondisi tak berdaya, sehingga tidak perlu dilakukan tindakan kekerasan sebagaimana yang ditampilkan dalam video tersebut. Selain itu, tindakan tersebut juga tidak proporsional, sebab penggunaan kekuatan tidak seimbang dengan ancaman yang dihadapi oleh anggota kepolisian tersebut. Tindakan tersebut akhirnya menimbulkan kerugian/penderitaan bagi korban yakni kejang-kejang dan sempat tidak sadarkan diri.

Adapun tindakan yang diambil di lapangan juga tidak masuk akal (reasonable). Sebab perbuatan kepolisian tidak memikirkan situasi dan kondisi ancaman atau perlawanan pelaku. Terlebih perbuatan tersebut ditujukan kepada seorang massa aksi yang sedang menyampaikan pendapat. Demonstrasi merupakan tindakan sah dan konstitusional sebagaimana dijamin oleh instrumen hukum dan HAM nasional maupun Internasional. Polisi seharusnya dapat melindungi hak asasi manusia dan melakukan pengamanan sebagaimana diatur dalam UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Kami melihat tindakan brutalitas aparat yang ditujukan terhadap massa aksi tidak terlepas dari kultur kekerasan yang langgeng di tubuh kepolisian. Selain itu, tindakan kekerasan yang dilakukan oleh anggota kepolisian dalam mengamankan aksi tidak pernah diusut secara tuntas dan berkeadilan. Hal tersebut akhirnya membuat tindakan serupa dinormalisasi sehingga terus terjadi  keberulangan dan bertolak belakang dengan prinsip-prinsip penggunaan kekuatan yang humanis.

Kami juga melihat bahwa tindakan anggota kepolisian pada saat pengamanan aksi massa tersebut merupakan tindakan diluar prosedur dalam melakukan pengendalian terhadap massa, merujuk pada Pasal 7 Ayat (1) Peraturan Kapolri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa, dinyatakan bahwa “Larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d adalah: a. bersikap arogan dan terpancing oleh perilaku massa, d. membawa senjata tajam dan peluru tajam, dan h. melakukan perbuatan lainnya yang melanggar peraturan perundang-undangan.” Adapun dalam hal terjadi kekerasan pada pengamanan aksi, setidaknya ada empat aktor yang harus diminta pertanggungjawaban. Pertama, anggota Polisi yang melakukan tindak kekerasan. Kedua, anggota pengendali lapangan (komandan kompi atau komandan batalyon). Ketiga, komandan kesatuan sebagai pengendali teknis. Keempat, Kapolda selaku  penanggungjawab pengendalian taktis, sebagaimana Pasal 14 (2) Perkap nomor 2 tahun 2019 penindakan huru-hara.

Atas dasar tersebut, kami mendesak :

  1. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan pengawasan dan evaluasi bagi aparatnya terkait dengan penggunaan kekuatan dalam melaksanakan tugas;
  2. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia memerintahkan Kapolresta Tangerang memproses Penegakan Hukum terhadap anggota polisi yang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan kepada peserta yang menyampaikan pendapat secara damai atau bahkan menghalang-halangi warga dalam menyampaikan pendapat dimuka  sebagaimana Pasal 18 ayat (1) UU 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum;
  3. Kapolresta Tangerang Mengusut dengan menyeluruh dan menindak tegas aparat keamanan yang melakukan tindakan represif dalam kasus ini, dengan proses hukum yang dilakukan secara transparan dan akuntabel. Serta bertanggung jawab terhadap korban dengan memberikan fasilitas pelayanan kesehatan atau pemulihan yang layak.

Jakarta, 13 Oktober 2021
Badan Pekerja KontraS,

Arif Nur Fikri
Wakil Koordinator Bidang Advokasi

[1] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20211013135719-12-707210/mahasiswa-tangerang-pingsan-kena-smackdown-polisi-saat-demo