Proses Hukum Bukan Hanya Milik Pejabat Publik

Tim Advokasi Bersihkan Indonesia mengkritik pernyataan pihak Luhut Binsar Panjaitan sebagai Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi yang mengklaim secara sepihak atas gagalnya mediasi hari ini dan menyesalkan rencana gugatan yang akan dilayangkan oleh pihak Luhut kepada Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar. Rencana tersebut disampaikan dengan dalih pihak Fatia dan Haris tidak hadir dan tidak adanya titik temu antara Luhut dengan Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar dalam upaya mediasi.[1] Kami menilai langkah tersebut merupakan bentuk arogansi pejabat publik yang tidak membuka ruang diskusi ataupun menghormati mekanisme kepolisian terkait keadilan restoratif (restorative justice). Narasi tersebut juga justru mengesankan pihak Luhut berkuasa mengatur proses mediasi.

Sebelumnya Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar menerima 3 (tiga) kali undangan untuk melakukan mediasi, kemudian dari 3 (tiga) undangan tersebut, Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar sudah 2 (dua) kali siap datang untuk menghadiri mediasi, masing-masing pada tanggal 21 Oktober 2021 dan 1 November 2021. Bahkan pada tanggal 21 Oktober 2021, pihak terlapor yakni Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar bersama Tim Advokasi Bersihkan Indonesia telah datang langsung ke Polda Metro Jaya, namun mediasi tidak dilakukan dengan berbagai alasan, antara lain karena Luhut Binsar Panjaitan sedang berada di luar negeri. Hal ini sudah diterima oleh pihak terlapor atas ketidakhadiran pihak pelapor, dan pada jadwal mediasi pertama pada tanggal 21 Oktober 2021 sudah terjadi kesepakatan antara pihak terlapor dengan pihak penyidik Polda Metro Jaya untuk membentuk sebuah kesepakatan jadwal terlebih dahulu antara kedua belah pihak sebelum menentukan jadwal mediasi agar mediasi dapat berjalan dengan semestinya antara kedua belah pihak. Akan tetapi, alih-alih pihak penyidik meminta kesepakatan dan kesediaan dari pihak terlapor untuk melakukan mediasi pada tanggal 15 November 2021, pihak terlapor justru langsung menerima undangan dari penyidik dengan jadwal yang hanya disesuaikan dengan pihak pelapor.

Adapun berdasarkan pemberitaan yang kami terima, penyidik menyatakan bahwa penundaan mediasi tanpa laporan/pemberitahuan kepada penyidik. Padahal, lewat SK/05/TA-BI/XI/2021 tertanggal 13 November 2021, kami sudah menyampaikan surat jawaban yang pada intinya meminta penundaan mediasi karena Fatia Maulidiyanti berhalangan untuk hadir pada tanggal 15 November 2021. Selain melalui surat jawaban yang kami sampaikan, sebelumya Fatia Maulidiyanti juga telah melakukan komunikasi melalui telepon dengan Kompol. Welman Feri yang menyatakan bahwa dirinya berhalangan hadir karena sedang berada di luar provinsi.

Pada dasarnya, mediasi penal dapat dilakukan jika para pihak terlibat dalam perundingan saling menyadari dan terhadap hasil yang diperoleh dalam mediasi, sehingga prinsip yang terpenting dalam mediasi penal adalah kehadiran para pihak agar memberikan akses dan kesempatan yang sama dan seluas mungkin kepada para pihak yang bersengketa untuk memperoleh keadilan. Akan tetapi, dalam hal ini pihak Luhut telah menyimpulkan terlebih dahulu bahwa mediasi tidak berhasil dilakukan karena ketidakhadiran pihak terlapor, sehingga pihaknya akan menempuh upaya hukum selanjutnya.

Dalam keterangannya, Luhut juga menyatakan bahwa kasus ini lebih baik diteruskan ke mekanisme Pengadilan.[2] Kami melihat bahwa hal ini dapat berimplikasi positif, sebab bukti-bukti yang kami miliki dapat menjadi dokumen pembuktian resmi di Pengadilan. Lewat mekanisme peradilan yang terbuka untuk umum, publik dapat mengetahui situasi riil yang terjadi di Papua.

Pelapor sampai saat ini tidak pernah menjawab secara resmi data-data yang kami paparkan pada kajian cepat Laporan Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua. Pelapor juga belum memberikan pembuktian mengenai tuduhan pencemaran nama baik yang dilakukan oleh Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar. Padahal penjelasan itu harus dilakukan demi pendidikan hukum dan politik, bukan hanya bagi warga negara, tetapi juga untuk pejabat publik. Langkah pejabat publik yang berhadap-hadapan dengan masyarakat sipil di pengadilan karena masalah kritik tentu merupakan preseden buruk bagi budaya demokrasi.

Berdasarkan uraian di atas, Tim Advokasi Bersihkan Indonesia mendesak:

Pertama, Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya untuk kembali menjadwalkan mediasi dengan waktu yang disepakati oleh kedua belah pihak;

Kedua, mengalihkan proses mediasi dilakukan oleh Komnas HAM antara Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar dengan Luhut Binsar Panjaitan.

 

Jakarta, 15 November 2021
Tim Advokasi Bersihkan Indonesia

[1] https://megapolitan.kompas.com/read/2021/11/15/12363351/mediasi-kasus-pencemaran-nama-baik-gagal-luhut-bakal-gugat-haris-azhar?page=2

[2] ​​https://news.detik.com/berita/d-5811791/haris-fatia-tak-hadiri-mediasi-luhut-lebih-bagus-ketemu-di-pengadilan