Bertambahnya Wewenang Kejaksaan Dalam Revisi UU Kejaksaan Justru Melanggar Hukum

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965-1966 (YPKP65) mengecam revisi Undang – Undang Kejaksaan yang saat ini tengah dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), khususnya terkait dengan penambahan tugas dan wewenang Kejaksaan untuk terlibat aktif dalam rekonsiliasi pelanggaran HAM yang berat.

Dalam Rapat Kerja dengan Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian PANRB, Kementerian Keuangan dan Kejaksaan Agung (15/11) disepakati untuk membahas dan membentuk Panitia Kerja (Panja) Revisi Undang – Undang (RUU) Kejaksaan, yang mana RUU ini akan mengamandemen UU Kejaksaan No. 16 Tahun 2004. Kami menilai dengan pembentukan Panja RUU Kejaksaan yang dilakukan oleh Pemerintah dan DPR terkesan sangat dipaksakan agar dapat segera diselesaikan dan disahkan. Alih – alih memperkuat proses penanganan penegakan hukum kasus pelanggaran HAM Berat, namun justru Revisi UU ini digunakan untuk membentengi impunitas yang selama ini telah berlangsung atas kasus – kasus pelanggaran HAM yang berat. Kami mencatat sejumlah bunyi pasal yang akan menghambat penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat, antara lain sebagai berikut:

Pertama, Pasal 30C huruf b menyatakan Kejaksaan memiliki tugas dan wewenang untuk turut serta dan aktif dalam proses pencarian kebenaran dan rekonsiliasi atas perkara Pelanggaran HAM yang Berat dan konflik sosial tertentu. Pasal tersebut jelas bertentangan dengan Hukum Acara Pengadilan HAM Berat yang diatur dalam Undang – Undang 26/2000 yang menyatakan Jaksa Agung bertindak sebagai Penyidik dan Penuntut Umum perkara pelanggaran HAM berat. Selain itu, Pasal 47 UU 26/2000 juga telah mengatur bahwasanya penyelesaian di luar Pengadilan HAM (non-yudisial) dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang akan dibentuk dengan satu UU tersendiri dan bukan menjadi kewenangan pihak Kejaksaan. Apabila Kejaksaan memiliki dua peran fungsi yang berbeda dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat baik itu berperan sebagai penegak hukum serta juga memiliki kewenangan untuk melakukan rekonsiliasi dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat, hal ini justru kontradiksi, sehingga dapat memunculkan kompromi politik dalam proses penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat ketimbang melakukan proses penegakan hukum melalui mekanisme proses peradilan. Pasal ini membuat Kejaksaan berpotensi memaknai hukum bukan sebagai alat untuk membuka “kebenaran”, melainkan hukum dijadikan alat memberikan “pembenaran” terhadap sesuatu yang tidak benar. Tentu kekhawatiran tersebut bisa saja terbukti, mengingat beberapa tahun kebelakang pihak kejaksaan bersama dengan kementerian lain telah beberapa kali membentuk Tim rekonsiliasi kasus pelanggaran HAM Berat masa lalu. Selain beberapa aturan diatas, kewenangan yang diberikan oleh Kejaksaan dalam revisi UU Kejaksaan juga jelas bertentangan dengan 28I ayat (4) UUD untuk melindungi, memajukan, menegakkan dan memenuhi HAM.

Kami ingin mengingatkan bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-V/2007 telah cukup jelas, bahwa yang menentukan terjadi/tidak terjadinya pelanggaran HAM berat dilakukan oleh Komnas HAM sebagai lembaga penyelidik dan Kejaksaan Agung sebagai lembaga penyidik. Kejaksaan seharusnya menjadi pelaksana asas pengharapan yang diberikan oleh negara kepada korban/keluarga korban pelanggaran HAM berat. Pengharapan itu ada dalam UU 39/1999 tentang HAM dan UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Namun, kini seiring dengan adanya wacana UKP-PPHB (Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran HAM yang Berat melalui Mekanisme Non-yudisial) untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat melalui “pemulihan” dan revisi UU Kejaksaan demikian, kami berpendapat jelas sudah niat dan rencana besar Pemerintah hari ini untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat ke arah kompromi politik yang bertujuan untuk melindungi kepentingan pelaku, serta menghasilkan impunitas.

Oleh karenanya, ketimbang pemerintah dan DPR menambahkan kewenangan kejaksaan yang cenderung berorientasi melanggengkan impunitas dalam proses penegakan hukum dalam kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat, ada baiknya Pemerintah dan DPR melakukan revisi terhadap UU Pengadilan HAM.

Kedua, catatan kami mengenai draf RUU Kejaksaan ini ialah adanya wewenang Kejaksaan untuk melakukan penyadapan di luar sistem peradilan pidana (SPP) seperti tercantum dalam Pasal 30C huruf k. Penyadapan adalah pembatasan terhadap hak konstitusional, oleh karena itu hanya boleh dilakukan dalam proses peradilan. Bahkan dalam proses peradilan pun, penyadapan hanya boleh dilakukan oleh Penyidik bukan sekedar Penyelidik, itu pun atas seizin Ketua Pengadilan Negeri sebagai mekanisme check and balance agar tidak ada penyalahgunaan wewenang. Sebagai contoh: dalam UU Narkotika penyadapan oleh BNN dilakukan setelah mendapat izin Ketua Pengadilan Negeri, dalam UU Intelijen penyadapan oleh BIN dilakukan dengan penetapan Ketua Pengadilan Negeri, dalam UU KPK 2019 penyadapan harus mendapatkan izin dari Dewan Pengawas dengan anggota yang dipilih Presiden. Oleh karena itu, penyadapan di luar SPP tidak dapat dibenarkan dan melanggar jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang diatur dalam Pasal 28D UUD.

Ketiga, Pasal 30B menguraikan wewenang Kejaksaan dalam intelijen penegakan hukum. Intelijen bukan fungsi yang bisa sekaligus melakukan eksekusi atau penegakan hukum. Pasal ini berulang kali menyebutkan kewenangan Jaksa untuk “mengamankan” pelaksanaan pembangunan dan “mengamankan” kebijakan hukum. Sebagai aparat penegak hukum, Kejaksaan seharusnya menegakan hukum dengan mengimplementasi hukum, bukan melakukan  pengamanan/penjagaan terhadap kebijakan/pembangunan. catatan

Selain itu “Pengamanan” dalam praktiknya selaku digunakan untuk menangkap dan menahan seseorang tanpa mewajibkan aparat tunduk kepada ketentuan penangkapan dan penahanan yang diatur oleh KUHAP. Tanpa alasan penangkapan, tanpa pemberitahuan keluarga/kuasa hukum dan tanpa mekanisme pengawasan pengadilan. Sehingga tanpa definisi yang ketat, “pengamanan” hanya akan menjadi ruang penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran hak asasi.

Berdasarkan hal-hal tersebut, kami mendesak agar DPR tidak mendukung impunitas yang direncanakan secara sistematis oleh Pemerintah ini dan tidak menyetujui revisi pasal-pasal tersebut di atas.

Jakarta, 22 November 2021

KontraS, YPKP 65