Peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP) Rantai Kerentanan Tak Kunjung Putus: Kekerasan Terhadap Perempuan Harus Diberangus!

Memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyoroti beberapa hal berkaitan dengan kerentanan perempuan dalam menghadapi kekerasan dan diskriminasi sejak terjadinya pelanggaran HAM berat masa lalu hingga dihadapkan pada situasi riil hari ini. Kami melihat sejumlah persoalan yang berkaitan dengan perampasan hak-hak perempuan belum berhasil sepenuhnya dituntaskan oleh negara atau bahkan negara belum berhasil memberikan perlindungan dalam bentuk jaminan keamanan dan perlindungan secara spesifik.

Jika ditarik jauh ke belakang dalam sejarah perjalanan bangsa, kekerasan dan ketimpangan terhadap perempuan tidak hanya terjadi di masa sekarang. Jauh dari sebelum era reformasi, bangsa Indonesia sendiri telah dihadapkan oleh pelbagai macam pelanggaran HAM berat masa lalu dan perempuan menjadi korban kekerasan yang tak luput dari kekerasan seksual dalam setiap konfliknya. Misalnya pada peristiwa 1965, konflik Aceh, Timor-Timur, Mei 1998, dan berbagai pelanggaran HAM berat di tanah Papua yang menyebabkan ratusan hingga ribuan perempuan dan anak menjadi korban berbagai kejahatan kemanusiaan. Perempuan dan anak tak luput jadi korban kekerasan berujung kematian, pemerkosaan, penyiksaan, tindakan dan kebijakan diskriminatif, hingga stigmatisasi baik dari aparat atau dari sesama warga yang terprovokasi.

Kekerasan dan ketimpangan terhadap perempuan dalam pelanggaran HAM berat masa lalu ini tak hanya dirasakan saat konflik terjadi. Bahkan, pasca situasi konflik perempuan juga masih mengalami kekerasan psikis berupa trauma yang ditandai dengan sikap menutup diri dengan lingkungan sekitar, yang mana ini tentu berdampak pada tidak adanya pemulihan yang didapatkan oleh para korban. Hingga kini, penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat yang dilandaskan pada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia masih stagnan, ditambah proses pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi belum dilakukan sehingga menyebabkan korban dan keluarga korban juga belum mendapatkan keadilan dan pemulihan dari Negara.

Seiring belum terselesaikannya kasus kekerasan terhadap perempuan dalam pelanggaran HAM berat masa lalu, hingga hari ini angka kekerasan terhadap perempuan justru tidak kunjung landai. Berdasarkan catatan tahunan Komnas Perempuan pada tahun 2021, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2020 sebesar 299.911 kasus.[1] Data tersebut menunjukkan kekerasan terhadap perempuan terjadi dalam berbagai bentuk di segala ruang, mulai dari lingkup domestik hingga ruang publik seperti kampus, tempat bekerja, dan merambah ke ruang digital atau siber. Selanjutnya kami juga menyoroti bahwa semasa pandemi Covid-19, terdapat lonjakan angka kasus kekerasan seksual. Hal tersebut terlihat dari data milik Komnas Perempuan, yang menunjukkan bahwa per Juli 2021 terdapat 2.592 kasus kekerasan seksual.[2] Angka ini melebihi total kasus yang diterima pada Oktober tahun 2020 lalu.

Selain itu kekerasan berbasis gender ini tidak hanya dialami oleh masyarakat yang menjadi korbannya, melainkan kekerasan dan stigmatisasi juga dialami oleh perempuan pembela HAM dalam melakukan tugas pendampingan dan advokasi dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat dan keadilan untuk korban. Kekerasan yang dialami oleh perempuan pembela HAM di Indonesia umumnya ditujukan kepada moralitas, ketubuhan, dan seksualitas perempuan, meliputi berbagai serangan, ancaman, teror, intimidasi hingga bentuk pelecehan seksual yang dilakukan oleh para pelaku pelanggar HAM seperti korporasi, negara, maupun Aparat Penegak Hukum (APH). Ironisnya, jika kerentanan dan kekerasan yang dialami oleh manusia secara umum dapat diakui sebagai pelanggaran HAM, maka sampai saat ini kerentanan dan kekerasan yang dialami oleh perempuan pembela HAM justru dianggap sebagai hal yang lumrah karena dianggap sebagai bagian dari konsekuensi yang harus diterima karena kerja-kerjanya dalam memperjuangkan penegakan, perlindungan, dan pemenuhan HAM. Sehingga menjadi penting bagi Pemerintah untuk segera membentuk regulasi dan protokol perlindungan untuk pendamping dan pembela HAM di semua lembaga layanan.

Maraknya kasus kekerasan berbasis gender tersebut telah memberikan isyarat bahwa pembuatan regulasi yang responsif terhadap kebutuhan perlindungan perempuan harus menjadi muara, sebab ini merupakan kewajiban negara dalam melindungi hak asasi manusia dan salah satu upaya dalam mewujudkan kesejahteraan bagi warganya. Peraturan yang cukup progresif dalam hal pemajuan dan perlindungan perempuan dari kekerasan berbasis gender telah tercermin dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi (Permendikbud Ristek PPKS). Disahkan dan diberlakukannya Permendikbud Ristek PPKS merupakan angin segar dalam perjuangan penghapusan kekerasan seksual di lingkup perguruan tinggi/kampus. Sasaran Permendikbud Ristek PPKS ini dapat mencegah dan menangani setidaknya sebelas kemungkinan kejadian kekerasan seksual yang menimpa hubungan antar mahasiswa, pendidik, tenaga kependidikan, warga kampus, dan masyarakat umum yang berinteraksi dengan mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan.

Pengesahan Permendikbud tersebut menjadi momentum penting bagi regulasi lainnya agar lebih memiliki keberpihakan dan perspektif terhadap korban dan perempuan. Peraturan tersebut memang belum secara penuh melindungi warga negara dari kekerasan seksual secara keseluruhan. Maka dari itu, perlu peraturan yang lebih tinggi lagi yaitu dengan bentuk undang-undang yang dapat memberikan perlindungan dari kekerasan seksual secara menyeluruh.

Kemudian, keberadaan Permendikbud sudah seharusnya menjadi pemantik bagi DPR RI untuk mengambil langkah progresif dengan segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Sudah kurang lebih 7 tahun lamanya sejak RUU ini pertama kali disusun namun hingga kini statusnya mangkrak dan tak kunjung disahkan. Padahal, RUU TPKS dapat menjadi solusi bagi situasi darurat kekerasan seksual di Indonesia yang angkanya konsisten tinggi setiap tahunnya. Absennya payung hukum dan tidak berpihaknya instrumen hukum yang ada terhadap korban menjadi penghambat besar penanganan kekerasan seksual di Indonesia. Survei yang dilaksanakan pada tahun 2020 menunjukkan bahwa mayoritas kasus kekerasan seksual berakhir tanpa kepastian.[3] Belum lagi, fenomena gunung es dalam kasus ini yang menunjukkan bahwa jumlah laporan kasus kekerasan seksual hanya merepresentasikan sejumlah kecil fakta yang sesungguhnya terjadi di lapangan. Tidak segera disahkannya RUU TPKS menunjukkan minimnya keberpihakan DPR terhadap perempuan dan korban kekerasan seksual di Indonesia.

Masalah lainnya yakni pemerintah saat ini belum terlalu serius dalam mengimplementasi Convention on Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) dalam setiap langkah kebijakan dan regulasi yang dibuat. Hal tersebut misalnya tercermin dalam substansi klaster ketenagakerjaan dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja yang memperbesar resiko perempuan kehilangan hak-hak sebagai pekerja, termasukĀ  cuti dan tunjangan lainnya terkait fungsi reproduksinya.[4] Padahal CEDAW mengamanatkan negara untuk mengambil tindakan legislatif yang tepat dan menyediakan perlindungan hukum bagi perempuan.[5]

Dalam rangka mendukung upaya penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan atas dasar tersebut, kami mendesak:

  1. Pemerintah untuk segera menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang beberapa diantaranya terdapat kekerasan berbasis gender di dalamnya dan segera memenuhi hak para korban yakni memperoleh kebenaran, keadilan, pemulihan, dan jaminan ketidak berulangan;
  2. Negara untuk konsisten melaksanakan amanat dari CEDAW untuk menghapus segala kebijakan diskriminatif dan menghadirkan kesetaraan bagi Perempuan.
  3. DPR RI untuk segera mengesahkan RUU Tindak Pidana Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU TPKS) yang memprioritaskan keberpihakan terhadap korban;
  4. Seluruh pimpinan perguruan tinggi untuk segera mengimplementasikan Permendikbud-Ristek PPKS dan membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual, serta memberikan pemulihan hak-hak civitas akademika yang menjadi korban kekerasan seksual
  5. Segera membentuk regulasi dan protokol perlindungan untuk pendamping dan pembela HAM yang berperspektif gender di semua lembaga layanan.

[1] Lihat Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2021 dapat diakses melalui https://komnasperempuan.go.id/uploadedFiles/1466.1614933645.pdf

[2] Lihat CNN, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20211004140357-20-703115/komnas-perempuan-kekerasan-seksual-meningkat-selama-pandemi

[3] Lihat Laporan Studi Kuantitatif Barometer Kesetaraan Gender 2020 dapat diakses melalui http://ijrs.or.id/laporan-studi-kuantitatif-barometer-kesetaraan-gender/

[4] Lihat https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/siaran-pers-komnas-perempuan-uu-cipta-kerja-and-risiko-kemunduran-perlindungan-substantif-perempuan-pekerja-9-oktober-2020

[5] Pasal 2 CEDAW