Usut Tuntas Peristiwa Paniai 2014: Jaksa Agung Perlu Memeriksa Keterlibatan Panglima TNI dalam Peristiwa Paniai

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyoroti beberapa hal tentang dimulainya penyidikan pelanggaran HAM berat di Paniai, Papua yang terjadi pada 7 – 8 Desember 2014 oleh Kejaksaan Agung. 

Jaksa Agung Republik Indonesia Sanitiar Burhanuddin selaku Penyidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Yang Berat telah menandatangani Keputusan Jaksa Agung Nomor 267 Tahun 2021 tentang Pembentukan Tim Penyidik Dugaan Pelanggaran HAM Yang Berat Di Paniai Provinsi Papua Tahun 2014. Langkah ini juga dilandasi Surat Perintah Penyidikan Nomor: Print-79/A/JA/12/2021 tanggal 3 Desember 2021. Tim ini terdiri dari 22 orang Jaksa senior dan diketuai oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus yang dibentuk secara khusus dengan memperhatikan Surat Ketua Komnas HAM Nomor 153/PM.03/0.1.0/IX/2021 tanggal 27 September 2021 perihal tanggapan atas pengembalian berkas perkara terhadap hasil penyelidikan pelanggaran HAM berat Peristiwa Paniai 2014 di Papua untuk dilengkapi.

Berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM disimpulkan anggota TNI yang bertugas pada medio peristiwa itu, baik dalam struktur komando Kodam XVII/ Cenderawasih sampai komando lapangan di Enarotali diduga sebagai pelaku yang bertanggung jawab. Tindakan yang dilakukan anggota TNI pada Peristiwa Paniai telah menyebabkan 11 orang menjadi korban penganiayaan pada tanggal 7 Desember 2014 berlanjut 4 orang meninggal dunia dan 10 orang luka-luka sehari berselang. Selain itu, Komnas HAM juga mencatat telah terjadi pelanggaran terhadap hak-hak anak, hak-hak perempuan, hak atas rasa aman dan hak untuk hidup yang terjadi dalam peristiwa tersebut. Terlebih lagi, jelang 7 tahun Peristiwa Paniai berlalu, publik dan terutama korban terus menanyakan kelanjutan penuntasan Peristiwa Paniai.

Penuntasan Peristiwa Paniai menjadi penting sebagai salah satu indikator keberpihakan Negara terhadap HAM dan demokrasi di wilayah Papua. Rangkaian peristiwa pelanggaran HAM berupa kekerasan aparat negara terhadap warga Papua terjadi dalam skala yang mengerikan dari periode ke periode termasuk dalam konflik yang terus berlangsung di hari ini. Berkali-kali Presiden Jokowi mengklaim bahwa pendekatan humanis yang akan ditempuh untuk isu Papua yang juga diamini oleh Panglima TNI Andika Perkasa. Proses hukum yang berpihak kepada korban dan kepentingan publik dalam hal pengungkapan kebenaran, perwujudan rasa keadilan, pemenuhan hak dan pemulihan hingga jaminan ketidak berulangan harus jadi tujuan dari agenda penyidikan ini.

Untuk itu, KontraS mendesak agar:

Pertama, Tim Penyidik ini haruslah bekerja secara profesional, transparan serta independen dan mempercepat pemenuhan hak atas kebenaran, keadilan dan pemulihan bagi korban dalam kasus Paniai. Selain itu komposisi tim Penyidik juga perlu melibatkan unsur masyarakat sipil yang memang telah terbukti bekerja dan memiliki kepedulian HAM agar independensi penyidikan terjaga, sebagaimana Pasal 21 ayat (3) UU Pengadilan HAM. Pasalnya, Peristiwa Paniai yang terjadi 7 – 8 Desember 2014 ini banyak melibatkan aparat gabungan TNI/POLRI.

Kedua, Tim Penyidik harus memeriksa Panglima TNI dan Kapolri, dan serta Polda Papua dan Kodam XVII/Cenderawasih yang diduga memiliki keterlibatan dalam Peristiwa Paniai 7 – 8 Desember 2014. Pasal 42 UU 26/2000 Tentang Pengadilan HAM telah mengatur mengenai pertanggungjawaban komando. Patut digaris bawahi bahwa Peristiwa Paniai ini terjadi di bawah masa Panglima TNI Moeldoko. Namun, Presiden Jokowi justru mengangkat Moeldoko menjadi Kepala Staf Kepresidenan (KSP) sejak 17 Januari 2018. Padahal Peristiwa Paniai terjadi saat Jokowi belum genap dua bulan menjadi Presiden.

Ketiga, Kejaksaan Agung perlu membuat laporan berkala terbuka tentang kegiatan yang dilakukan oleh Tim Penyidikan guna memastikan kerja tim tersebut transparan dan akuntabel, serta dalam proses penyidikan. Tim Penyidikan Kejaksaan Agung juga harus melibatkan partisipasi korban dalam pencarian alat bukti guna memastikan proses diselenggarakan secara transparan, akuntabel dan berkeadilan.

Keempat, Kejaksaan Agung tidak berhenti hanya melakukan penyidikan terhadap Kasus Paniai melainkan segera melakukan penyidikan terhadap kasus Wasior-Wamena dan berbagai kasus pelanggaran HAM berat di Papua maupun di daerah lainnya. Kejaksaan Agung memiliki kewenangan lebih kuat untuk melengkapi kekurangan hasil berkas laporan penyelidikan Komnas HAM. Tidak ada alasan bagi Kejaksaan Agung untuk terus menerus mengembalikan berkas laporan kepada Komnas HAM. Tindakan penyidikan oleh Kejaksaan Agung dan proses hukum di Pengadilan HAM merupakan indikator untuk membuktikan komitmen Pemerintah Indonesia.

 

Jakarta, 04 Desember 2021

Badan Pekerja KontraS

 

Fatia Maulidiyanti

Koordinator