Usut Tuntas Penembakan Terhadap 19 Warga Desa Tamilouw

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam keras aksi penembakan yang terjadi di Desa Tamilouw, Kecamatan Amahai, Kabupaten Maluku Tengah pada hari Selasa, 7 Desember 2021 yang menyebabkan kurang lebih 19 (sembilan belas) korban (termasuk perempuan dan anak-anak dibawah umur) mengalami luka-luka akibat tembakan peluru karet yang dilakukan oleh pihak Kepolisian Resort (Polres) Maluku Tengah.

Berdasarkan informasi yang kami dapatkan, pada tanggal 7 Desember 2021 pukul 05.20 pagi, puluhan personil dari satuan Brimob datang dengan menggunakan senjata lengkap yaitu 2 unit barakuda, 1 unit Water Canon, 6 Truck Perintis, dan total kendaraan sebanyak 24 unit. Kedatangan pihak kepolisian Polres Maluku Tengah tersebut merupakan imbas dari konflik berkepanjangan antara suku Nualu Dusun Rohua dan Warga Tamilouw, konflik tersebut dipantik oleh lahan yang berada di tapal batas kedua desa yang menyebabkan satu orang meninggal dan dilanjutkan dengan pembakaran kantor desa. Selanjutnya, kedatangan tersebut bertujuan untuk melakukan penangkapan terhadap beberapa pihak yang dimintai keterangan terkait kasus pembakaran Kantor Negeri Tamilouw. Kedatangan pihak kepolisian tersebut didasari tidak digubrisnya dua kali surat pemanggilan yang dilakukan oleh pihak kepolisian kepada terduga pelaku. Kedatangan pihak kepolisian tersebut menyebabkan warga desa panik, terlebih lagi dengan penggunaan kekuatan secara berlebihan yang dilakukan oleh pihak kepolisian untuk melakukan penangkapan terhadap terduga pelaku pembakaran. Penembakan peluru karet yang dilakukan oleh pihak kepolisian tersebut bukan sekadar merupakan tembakan peringatan, tetapi penembakan langsung diarahkan ke bagian tubuh dari masyarakat.

Kami menilai bahwa upaya paksa yang dilakukan oleh Kepolisian melanggar prinsip due process of law. Penangkapan terhadap pelaku kejahatan juga semestinya mengikuti ketentuan yang ada dalam KUHAP. Selain itu, pihak kepolisian juga tidak mengindahkan Perkap No. 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, hal mana menyebutkan bahwa dalam melakukan penyelidikan dan/atau penyidikan, pihak kepolisian harus dilengkapi dengan surat perintah yang didalamnya setidaknya memuat dasar dilakukan penyelidikan dan/atau penyidikan. Akan tetapi, kejadian di lapangan justru menunjukkan watak aparat yang represif.

Brutalitas pihak kepolisian dalam menyikapi penolakan oleh warga dengan langsung menggunakan senjata api jelas telah mencederai peraturan Pasal 8 ayat (2) Perkap No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian. Kemudian hal tersebut juga diatur dalam Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 34/169 tentang Etika Berperilaku Bagi Penegak Hukum (UN Resolution on Code of Conduct for Law Enforcement) yang juga menyebutkan bahwa aparat penegak hukum boleh menggunakan tindakan keras hanya bilamana benar-benar diperlukan dan hanya sejauh yang diperlukan bagi pelaksanaan kewajiban mereka, termasuk dalam hal ini penggunaan senjata api dianggap merupakan langkah yang ekstrim, serta perlu dilakukan segala upaya untuk menutup kemungkinan bagi penggunaan senjata api.

Berdasarkan tindakan tersebut, KontraS mencermati bahwa pihak kepolisian dari Polres Maluku Tengah telah melakukan tindakan diluar prosedur. Pasalnya melihat kesiapan pihak kepolisian dalam peristiwa ini, senjata api yang digunakan telah alpa memperhatikan prinsip nesesitas, legalitas, dan proporsionalitas sebagaimana yang diatur baik dalam UN Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Official maupun peraturan internal kepolisian. Pihak kepolisian pun sama sekali tidak mengukur bahwa tindakan tersebut tidak hanya berhenti pada terdapatnya sejumlah warga termasuk di dalamnya perempuan yang mengalami luka-luka, akan tetapi telah menyebarluaskan rasa takut bagi penduduk sekitar yang turut menyaksikan secara langsung tindakan brutal aparat kepolisian.

Peristiwa ini juga menandakan bahwa aparat masih jauh dari prinsip akuntabilitas dalam melakukan kerja-kerja kepolisian. Sebab penembakan ini juga melanggar Perkap No 9 Tahun 2009 tentang Implementasi HAM pasal 11 huruf J yang menjelaskan bahwa setiap petugas/anggota Polri dilarang untuk menggunakan kekerasan dan/atau senjata api yang berlebihan. Sayangnya, mekanisme tersebut jarang diikuti oleh aparat yang bertugas di lapangan sehingga melahirkan penggunaan kekuatan secara eksesif dan tidak terukur.

Atas dasar tersebut, KontraS mendesak beberapa pihak:

  1. Kapolda Maluku untuk melakukan pengusutan terhadap penembakan yang dilakukan oleh anggota Polres Maluku Tengah dan melakukan penindakan secara pidana, etik maupun disiplin;
  2. Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan Kompolnas RI selaku lembaga pengawas eksternal institusi Kepolisian untuk segera melakukan penyelidikan dan investigasi secara independen terhadap kasus penembakan tersebut;
  3. LPSK mengambil langkah cepat untuk melakukan perlindungan serta pemulihan terhadap para korban yang menjadi sasaran penembakan.

Jakarta, 8 Desember 2021
Badan Pekerja KontraS,

Fatia Maulidiyanti
Koordinator

 Narahubung: 081259269754