Catatan Hari HAM KontraS 2021: HAM Dikikis Habis

Dalam rangka memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional yang jatuh pada 10 Desember, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyusun catatan tahunan mengenai situasi dan kondisi HAM di Indonesia. Catatan ini memberikan gambaran mengenai situasi perlindungan, pemenuhan, penghormatan hak asasi manusia dalam kurun satu tahun belakang yakni Desember 2020 – November 2021. Data dalam catatan ini kami dasarkan pada hasil pemantauan atas situasi dan peristiwa hak asasi manusia yang dihimpun dari sejumlah sumber informasi, pemantauan media, pengelolaan informasi dan pengaduan serta kasus-kasus yang kami dampingi secara langsung.

Pada catatan kali ini, kami mengambil judul besar “HAM Dikikis Habis” untuk merangkum situasi dan kondisi HAM selama satu tahun terakhir. Kami melihat pola-pola pelanggaran HAM yang terus berulang sehingga kondisi HAM di Indonesia terus mengalami regresivitas. Selama bertahun-tahun, terutama di era Presiden Joko Widodo, kami menilai HAM tak kunjung menjadi prioritas dan pertimbangan utama dalam pengambilan kebijakan. Semangat perlindungan, pemenuhan dan penghormatan HAM kerap kali harus dihadap-hadapkan dengan misi pertumbuhan ekonomi serta pembukaan keran investasi seluas-luasnya. Demi menjaga stabilitas politik dan pembangunan, nilai-nilai HAM pun ditiadakan.  Kondisi ini juga serupa dengan yang terjadi di masa otoritarianisme orde baru.

Dalam catatan ini, kami mengulas dan menjabarkan situasi hak asasi manusia berdasarkan beberapa klasifikasi, yakni hak sipil dan politik, hak ekonomi, sosial, dan budaya, kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua, penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu, dan komitmen HAM di level internasional. Kami juga menambahkan proyeksi situasi dan kondisi penegakan HAM ke depan dengan mendasari pada pola-pola yang terus terjadi belakangan ini.

Dalam sektor hak-hak sipil politik, kami menyoroti pengekangan kebebasan sipil (civic liberties) semakin masif dilakukan. Hal tersebut ditandai dengan maraknya represi yang ditujukan kepada ekspresi masyarakat khususnya yang sedang menyeimbangkan diskursus negara seperti isu Papua dan lingkungan hidup. Sementara itu, dalam hal sektor ekonomi dan sosial budaya, kami menyoroti tanggung jawab negara dan perusahaan yang sangat minim dalam mengedepankan nilai-nilai HAM. Kami juga menyoroti represi yang terus terjadi terhadap pembela HAM di sektor SDA. Belum adanya peraturan yang secara komprehensif melindungi pembela HAM baik secara umum maupun khusus di sektor SDA, keberpihakan pemerintah terhadap korporasi atas dasar kepentingan investasi, ditambah peraturan perundang-undangan bermasalah akan membuat pembela HAM di sektor SDA semakin terancam.

Permasalahan lainnya yakni berkaitan dengan kekerasan dan konflik bersenjata di Papua yang semakin masif seiring dengan pendekatan keamanan yang terus dipertahankan. Politik hukum pendekatan tersebut akhirnya membuat kondisi Papua semakin mencekam, ditandai dengan munculnya ribuan pengungsi internal. Keputusan untuk menurukan aparat dengan jumlah besar juga pada akhirnya tidak menyelesaikan masalah dan hanya melanggengkan konflik yang terjadi.

Dalam hal penuntasan pelanggaran HAM berat, pemerintah tak kunjung menjadikan agenda tersebut sebagai langkah serius dalam setahun terakhir. Rencana Peraturan Presiden UKP-PPHB dan upaya penuntasan hanya dengan jalur non-yudisial semakin mempertegas bahwa Negara berniat menyelenggarakan penuntasan dan pemulihan yang berpijak terhadap versi yang tak sesuai dan malah berpihak terhadap kepentingan para pelanggar HAM. Presiden Jokowi masih memproduksi kontroversi yang tak sensitif akan kepentingan korban dan publik.

Begitupun pada level Internasional, pemerintah Indonesia masih terus menutup mata terhadap berbagai konvensi internasional yang bersifat progresif terhadap penegakkan HAM. Padahal, Indonesia memiliki daftar panjang pelanggaran HAM, utamanya yang terjadi di Papua. Ketidakseriusan pemerintah ini tercermin dari ditolaknya prinsip R2P yang dapat mencegah kejahatan kekejaman massal. Di sisi lain, Indonesia juga belum menangani permasalahan iklim dengan serius. Pakta The Glasgow Climate Pact yang tidak diimplementasikan secara serius membuat laju deforestasi terus bergerak cepat dan semakin meningkatkan angka kekerasan terhadap orang-orang yang menggantungkan hidupnya pada hutan.

Berbagai permasalahan HAM di tahun ini tidak menunjukan adanya perbaikan signifikan terhadap kondisi perlindungan, pemenuhan dan penghormatan hak asasi manusia. Atas dasar tersebut, di tahun 2022, dengan pola pelanggaran HAM yang terus terjadi, kami justru memproyeksikan situasi justru makin parah, baik di sektor sipil politik, ekonomi sosial budaya, pelanggaran HAM di Papua, penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu, dan komitmen di level internasional.

 

Selasa, 10 Desember 2021
Badan Pekerja KontraS

 

 

 

Fatia Maulidiyanti
Koordinator